close
FeaturedTajuk

Catatan Rumah Cemara untuk 2020 (Bagian 2)

Wish_6_Twitter
Ilustrasi: Médecins Sans Frontières

Setiap tahun tentu memiliki peristiwa penting yang layak untuk dicatat. Tapi, khusus 2020 lalu, ada peristiwa yang luar biasa terjadi. Ya, apalagi kalau bukan wabah penyakit yang disebabkan infeksi virus korona baru, dikenal sebagai covid-19. Betapa tidak, dampaknya dirasakan seplanet ini, berkepanjangan, dan entah kapan ujungnya.

Di luar wabah korona, tentu ada sejumlah peristiwa yang juga menyita perhatian publik. Mulai dari dicabutnya ganja dari daftar narkoba berbahaya oleh PBB, kelangkaan ARV yang terjadi lagi, hingga komitmen Indonesia yang patut dipertanyakan dalam mencapai target mengakhiri epidemi HIV-AIDS pada 2030.

Mumpung masih awal tahun, tentu ingatan kita masih segar akan peristiwa tahun lalu untuk dipelajari bersama. Kami merangkumnya dalam sebuah tulisan. Selamat membaca!

Catatan Ketiga: Kelangkaan Obat ARV yang Berulang

Dalam teori kenegaraan, kita mengenal konsep negara kesejahteraan alias welfare state, yakni negara melalui aparatnya menjamin pemenuhan kesejahteraan rakyat. Konteks kesejahteraan memiliki banyak dimensi, salah satunya kesehatan. Indonesia dengan tegas menganut konsep ini.

Namun apa artinya negara kesejahteraan ketika ribuan orang dengan HIV-AIDS kesulitan mendapat obat yang sangat mereka perlukan? Ya, awal Maret 2020, stok obat ARV (antiretroviral) kembali langka di sejumlah fasilitas kesehatan beberapa kabupaten/ kota di Indonesia.

Kelangkaan ARV di negeri ini bukanlah yang pertama. Dalam dua tahun terakhir, setidaknya dua peristiwa macam ini terjadi. Namun kali ini kondisinya cukup pelik karena imbas wabah covid-19. Beberapa negara yang biasa mengekspor obat ARV ke Indonesia menerapkan lockdown, sehingga pengiriman terganggu. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang membatasi akses transportasi seperti kereta api dan pesawat terbang juga dinilai berperan atas kurangnya stok obat tersebut.

Menyikapi hal itu, Rumah Cemara bergabung dengan puluhan organisasi lainnya mendesak agar Kementerian Kesehatan RI segera mengatasinya. Dalam pernyataan yang disampaikan 6 Maret 2020 itu, gabungan organisasi ini menuntut Kementerian Kesehatan menyelesaikan masalah yang berdampak pada hidup-mati ribuan pasien HIV.

Baca juga:  Babak Belur Pengobatan HIV-AIDS dalam Pusaran Wabah Korona

Jauh sebelum pandemi covid-19, ketersediaan ARV sebenarnya pernah bermasalah. Silang sengkarut persoalannya adalah buah dari proses pengadaan obat yang sempat terkatung-katung. Pada awal 2018, terjadi gagal tender untuk ARV fixed-dose combination (FDC)  jenis tenofovir, lamivudin, dan efavirens. Informasi yang beredar menyebutkan, tidak terjadi kesepakatan harga antara dua perusahaan pemenang tender dengan kementerian.

Setahun kemudian, Kemkes RI menerbitkan kebijakan, pengadaan obat harus melalui e-katalog sektoral, tidak melalui e-katalog dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP). E-katalog sektoral berarti ditangani langsung oleh kementerian.

Mengulas hal ini, media seperti Tirto.id (10 Maret 2020) melaporkan, kebijakan itu dibatalkan ketika Terawan Agus Putranto menjabat Menkes pada akhir 2019. Ia ingin agar pengadaan obat-obatan dilakukan oleh LKPP. Sialnya, ARV dalam bentuk FDC yang banyak dikonsumsi belum tersedia dalam e-katalog LKPP. Dengan begitu, prosesnya jadi makin panjang.

Kelangkaan ARV menjadi isu hangat di tengah wabah covid-19. Jaringan Indonesia Positif (JIP) melakukan sebuah survei cepat kepada sekitar 1.000 responden dari 32 provinsi di Indonesia. Survei yang dilakukan pada masa awal pemberlakuan PSBB itu antara lain mengungkapkan, hanya sekitar 50 persen pasien yang memiliki stok ARV untuk satu bulan. Selebihnya, pasien hanya memiliki persediaan ARV untuk 2-3 pekan dan bahkan banyak yang untuk sepekan saja. Sangat sedikit yang memiliki stok untuk dua bulan.

ARV adalah obat yang harus dikonsumsi rutin agar pekembangbiakan HIV dalam tubuh pengidapnya bisa ditekan sehingga tidak mampu menggerogoti sistem imun mereka. Dengan begitu, kesehatan pasien bisa tetap terjaga. Mereka bisa produktif menjalani kehidupan sehari-hari.   

Lalu, saat pasien HIV di Indonesia ingin mendapat kepastian akan keberlangsungan pengobatannya, kepada siapa mereka harus meminta?

Tak berlebihan rasanya jika negara adalah jawabannya. Sebagai penganut negara kesejahteraan, Republik Indonesia wajib memastikan warganya hidup sehat. Ini bagian dari kesejahteraan yang dicita-citakan, karena bukankah Indonesia tidak ingin jadi sekadar “negara penjaga malam” alias nachtwachterstaat?

Catatan Keempat: Indonesia Gagal Capai Target 90-90-90 dalam Mengakhiri AIDS

Suramnya upaya pengendalian HIV-AIDS di Indonesia juga jadi penanda 2020. Seperti kita ketahui, Indonesia bersama sejumlah negara anggota PBB pada 2016 menyepakati untuk mengakhiri epidemi HIV-AIDS pada 2030. Salah satu dideklarasikan adalah komitmen yang harus dipenuhi pada 2020, yakni mencapai target 90-90-90.

Baca juga:  Memimpin Sepak Bola untuk Perubahan Sosial

Apa itu target 90-90-90?

Target ini menyebut 90 sebanyak tiga kali. Yang pertama, 90 persen orang dengan HIV mengetahui dirinya mengidap virus ini. Kedua, 90 persen yang sudah mengetahui dirinya mengidap HIV mendapatkan terapi atau pengobatan ARV (antiretroviral), dan target ketiga yakni, 90 persen pasien terapi ARV, jumlah virus HIV dalam darahnya tidak lagi terdeteksi. Ini bukan berarti bahwa HIV sudah tidak ada lagi di tubuhnya, melainkan perkembangbiakan virusnya berhasil ditekan sehingga tidak mampu menyerang sistem imun pasien.

Hari ini kita berada di tahun saat tenggat waktu untuk tercapainya target tadi sudah lewat setahun. Bagaimana hasilnya?

Hingga September 2020, Kementerian Kesehatan RI melaporkan sebanyak 409.857 orang Indonesia mengetahui mereka mengidap HIV. Perkiran yang pernah dilansir Program Gabungan PBB untuk Penanggulangan AIDS (UNAIDS) pada 2016 dan menjadi rujukan resmi kementerian, di Indonesia terdapat 640.443 pengidap HIV. Dengan demikian, capaiannya baru mencapai 63,99 persen dari target 90 persen yang pertama.

Sebagai salah satu penanda tangan deklarasi politik itu, Indonesia gagal mencapai target!

Soal perkiraan jumlah pengidap HIV di Indonesia ini cukup menarik. Dalam Laporan Tiga Bulanan Perkembangan HIV-AIDS & Penyakit Menular Seksual, Kementerian Kesehatan RI mengubah angka perkiraan tadi pada 2020 menjadi 543.100 kasus atau lebih sedikit dari jumlah yang sejak 2016 telah menjadi rujukan resmi estimasi pengidap HIV di Indonesia. Dengan perubahan tersebut, tentu persentase jumlah orang yang mengetahui dirinya mengidap HIV jadi lebih tinggi, yakni 75,46 persen.    

Baca juga:  Mau Bangun Dunia yang Lebih Adil dan Sehat? Sediakan dulu Tisu di WC Umum!

Namun terlepas dari estimasi mana yang digunakan, capaian target 90 persen yang pertama tetap tidak tercapai, setidaknya hingga September 2020. Sayangnya, laporan triwulan keempat yang hingga 31 Desember 2020 itu belum disampaikan Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P). Sehingga capaian sesungguhnya untuk 2020 belum bisa dinyatakan secara resmi gagal mencapai target, karena bisa saja dalam tiga bulan terakhir capaiannya meningkat tajam hingga menembus 90 persen.

Lalu bagaimana dengan target 90 kedua dan ketiga?

Berdasarkan laporan triwulan ketiga 2020 Ditjen P2P, hingga akhir September pengidap HIV yang aktif mengikuti terapi ARV sebanyak 139.585 pasien. Dari jumlah tersebut, yang memeriksakan jumlah virus di dalam darahnya (tes viral load) hanya 27.917 pasien. Dari perbandingan kedua angka tersebut saja, kita bisa melihat masih jauh lebih banyak pasien terapi ARV yang tidak pernah melakukan tes viral load ketimbang yang pernah tes.

Lalu untuk target 90 ketiga, masih dari laporan yang sama, yang jumlah virusnya berhasil ditekan sehingga tidak terdeteksi ketika melakukan tes viral load jumlahnya 24.246 pasien atau 17,37 persen.    

Data dan fakta di atas menunjukkan, masih suramnya program penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia. Ada setumpuk pekerjaan rumah yang harus diselesaikan untuk mencapai hasil yang diharapkan. Salah satunya, tentu saja keseriusan pemerintah. Terdengar klise memang, namun apa boleh buat? Bagaimanapun negaralah yang seharusnya berperan besar membuat kebijakan dan menyediakan layanan yang lebih efektif. Kita, rakyat, akan mendapat manfaatnya manakala pemerintah melaksanakan kewajibannya secara mumpuni.

Kita semua ingin melihat perubahan yang lebih baik. Jangan sampai keadaan yang sama terus berulang dalam waktu yang berbeda. Saya teringat cuplikan puisi lama WS Rendra, Sajak Kenalan Lamamu.  

Hidup macam apa ini!?
Orang-orang dipindah ke sana ke mari.
Bukan dari tujuan ke tujuan.
Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan.

Baca Catatan Pertama dan Kedua Rumah Cemara untuk 2020

Tri Irwanda

The author Tri Irwanda

Praktisi komunikasi. Mulai menekuni isu HIV dan AIDS ketika bekerja di KPA Provinsi Jawa Barat. Punya kebiasaan mendengarkan lagu The Who, “Baba O’Riley”, saat memulai hari dengan secangkir kopi.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.