close
portu

Demi mencapai tujuan pengambilalihan penguasaan ekonomi NAPZA, UU Narkotika harus lebih bersifat administratif bukan pemidanaan. Pengaturan hukum pidana dan hukum acara pidana dalam UU Narkotika sebagai lex specialis dari KUHP dan KUHAP akan banyak menimbulkan potensi pelanggaran HAM.

Melalui kebijakan yang bersifat administratif, maka pasal-pasal yang termuat di dalamnya akan mengatur seluruh aspek ekonomi NAPZA berupa penguasaan negara atas produksi, distribusi, penyimpanan, penyerahan, hingga pengawasan komoditas yang menjadi obyek pelarangan. Strategi ini ditujukan untuk meruntuhkan kerangka ekonomi pasar gelap – istilah yang digunakan UU Narkotika adalah “memberantas peredaran gelap”

Tujuan yang tertulis dalam Pasal 4 Huruf c UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dapat dicapai ketika negaralah yang mengambil alih penguasaan/kendali seluruh aspek ekonomi narkotika.

Strategi ini akan meningkatkan ketersediaan barang dengan mutu terjamin, harga terjangkau, dan penyerahannya terkendali, sehingga sindikat yang saat ini menguasai aspek perekonomian heroin ilegal misalnya, harus merelakan laba sebesar Rp 980 ribuan (160 kali lipat atau 16 ribu persen) untuk per gram heroin. Dari perhitungan kasar pengelolaan bisnis, menjual komoditas sesuai dengan harga pokoknya karena ingin bersaing dengan harga yang dipatok pemerintah menjadi sangat tidak masuk akal: rugi besar.

Terlebih bersifat transnasional, artinya sindikat tersebut harus menanggung beban biaya kompensasi untuk prekursor, buruh, persenjataan, suap, distribusi, dll. dari kocek sendiri, tidak lagi dari 16.000,00% laba fantastis yang dapat dihasilkan selama penerapan kebijakan pelarangan/perang terhadap narkoba.

Baca juga:  Kejahatan Kelamin, Hukuman Mati, dan Kebijakan NAPZA Indonesia

Heroin tidak berharga tinggi dengan sendirinya, karena opium mudah ditanam dan seseorang dapat menjadikannya heroin hanya dengan ikut kursus tiga langkah mudah menggunakan ilmu kimia tingkat sekolah menengah di dapur rumahnya (atau jika dia mau memilih, sebuah tempat bermukim yang berlumpur di pedalaman Afghanistan). Heroin menjadi mahal karena berbagai hal yang harus dihadapi sebagai barang terlarang untuk diproduksi dan diperdagangkan.

Heroin diproduksi dari opium dan sejumlah reagen, terutama acetic anhydride. Proporsi kasar untuk membuat 1 kg heroin adalah 7 kg opium ditambah 2 kg acetic anhydride. Satu kilogram heroin yang terdiri dari 7 kg dikali $80 harga opium = $560, di Afghanistan dihargai $1.500 sd. $3.000. Artinya bahwa pertanian konvensional menyumbang sekitar 25 persen ($560 per Median $1.500-$3.000 dikali 100%) dari harga heroin di Afghanistan. 75 persen sisanya tidak murni keuntungan; ini termasuk kompensasi untuk zat-zat kimia prekursor, buruh, persenjataan, suap, dll.

Bagaimanapun, dari keseluruhan 75 persen pada dasarnya memotivasi atau memberikan imbalan pada para penjahat dan tindakan kejahatannya, sepanjang kita memasukkan aktor-aktor politik korup dan penuh kekerasan ke dalam definisi para penjahat.  

 

Jika di jalanan Jakarta harganya mencapai Rp1 juta per gram (sekitar $100 [$1 = Rp10.000]), maka secara sederhana, dibanding dengan harga jual di Afghanistan, untuk satu kilogram heroin sudah terdapat selisih $97 ribu (Rp970 juta), yaitu $100.000 harga di Jakarta dikurangi $3.000 harga di Afghanistan untuk per kg heroin – sangat cukup untuk laba produsen, transport, dan kompensasi-kompensasi sebagaimana dijabarkan di paragraf sebelumnya.

Baca juga:  Jutaan Pengidap Hepatitis C di Indonesia Berharap pada BPJS

Memperhitungkan terlalu berlebihnya selisih harga produksi dengan harga jual zat yang dilarang (mengambil contoh heroin yang telah dijabarkan kalkulasinya), maka demi melindungi masyarakat dari eksploitasi laba sindikat penguasa narkoba global termasuk di dalamnya biaya sosial ekonomi konsumsi NAPZA ilegal yang ditanggung rakyat konsumen, negara harus segera mengambil alih pengendalian atas NAPZA yang saat ini diilegalkan.

Menggunakan perhitungan ongkos produksi di Afghanistan, jika pemerintah Indonesia sungguh berkehendak melindungi rakyatnya dengan mengambil alih penguasaan seluruh aspek ekonomi heroin saja sebagai contoh produk NAPZA pabrikan-laboratorium untuk konsumsi pribadi, maka setidaknya harga eceran terendah untuk satu gram heroin adalah Rp6.000.

Harga ini bisa lebih rendah lagi karena penanaman opium dan pabrikasinya tidak harus berpindah-pindah, bersembunyi, dan membutuhkan pengawal bersenjata seperti di Afghanistan. Lahan pertanian opium berizin di Tasmania, Australia seluas 25 hektar dengan 1.000 petani, misalnya saja, bisa menghasilkan keuntungan lebih dari Rp700 triliun per tahun.  

Berdasarkan asumsi mengenai konsumsi rata-rata per gram heroin di Indonesia, dengan harga eceran yang ditetapkan dan tersedia di unit-unit layanan kesehatan pemerintah [setidaknya di tiap] tingkat kecamatan dengan mutu yang terjamin, kerugian ekonomi yang disumbang oleh konsumsi narkoba masyarakat akan menurun drastis. Dari produk heroin saja akan terjadi penurunan harga jual eceran dari Rp1.000.000 menjadi Rp6.000 per gram, belum dari produk lain seperti shabu, ecstasy, ganja, miras, dll.

Baca juga:  Menyusun Undang-Undang Narkotika yang Berdaulat

Mari kita asumsikan median harga heroin dan ganja ilegal sebagai patokan harga untuk narkoba-narkoba lain yang juga dilarang. Dengan menekankan selisih harga jual eceran dan harga pokok yaitu sebesar 160 kali lipat untuk heroin dan 120 kali lipat untuk ganja maka median selisih harga pokok dan harga jual eceran dua komoditas tersebut adalah 140 kali lipat ([160 + 120]/2).

Dengan selisih ini, jumlah Rp42 triliun yang dibelanjakan untuk narkoba di Indonesia pada 2014 akan menjadi Rp300 miliar. Jika jumlah tersebut didistribusikan pada 4,2 juta konsumen narkoba di Indonesia, maka pengeluaran untuk belanja narkoba adalah Rp71.428,57 (kurang dari Rp75.000) per orang per tahun.

Sementara melalui transformasi wujud kebijakan NAPZA dari represif ke perlindungan masyarakat, Rp11 triliun untuk berurusan dengan penegak hukum (2011) dan Rp1,1 triliun (2014) dapat dipastikan terhapus, hilang untuk tahun-tahun selanjutnya.

Walaupun dalam kebijakan represif disebut sebagai ‘biaya kerugian ekonomi’, transformasi kebijakan narkoba yang berdampak pada dua biaya tersebut tidak dihitung sebagai keuntungan bagi rakyat konsumen. Namun, boleh jadi yang mengalami kerugian (kehilangan penghasilan) adalah oknum penegak hukum dan tentu saja sindikat dalam kerangka ekonomi pasar gelap.

Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

1 Comment

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.