Pertanyaan di atas tadi adalah retorika, tentu. Percaya deh, hanya sedikit orang yang benar-benar bakal menanggapi kalimat itu. Apa pentingnya ikut campur urusan orang sekaya Ardi dengan polisi gegara sabu yang beratnya pun tak sampai satu gram? Sementara belakangan ini, grup percakapan di ponsel kita melulu berisi kabar kematian kerabat karena covid-19.
Dengan kekayaan lebih dari 1.550 miliar rupiah, mestinya Ardi akan baik-baik saja menghadapi proses hukum di Polres Metro Jakarta Pusat itu. Urusan di tingkat polres pastinya dangkal baginya!
Saya terlebih akan menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan lain. Misalnya, kenapa hanya konsumsi narkoba pelanggaran hukum yang dilakukan Ardi dan istrinya, Nia Ramadhani? Sebagai pemilik lebih dari satu perusahaan multinasional, ia harusnya bisa melakukan kejahatan lebih dari itu, perusakan lingkungan atau penggelapan pajak misalnya!
Mungkin benar demikian, bersama sang istri, Ardi mengonsumsi sabu. Sebutlah begitu. Andai jadi dia, saya akan minta dokter pribadi saya untuk meresepkan metamfetamina (kandungan utama sabu) sehingga konsumsi narkoba pilihan saya itu legal adanya. Tak perlu menyuruh sopir saya segala untuk membelikan obat di bandar narkoba antah-berantah. Jadinya kan seperti ini, sudahlah berurusan dengan polisi, digibahin pula!
Di sejumlah negara, metamfetamina diresepkan untuk atasi obesitas, ADHD, serta kadang gangguan tidur seperti narkolepsi. Dalam wujud selain pil sebagai obat hirup (inhaler) untuk gangguan napas dan hidung tersumbat, levometamfetamina bahkan dapat diperoleh di apotek tanpa resep.
Kamu mungkin kenal produk ini atau bahkan pernah memanfaatkannya. Ya, jenama paling kondang produk ini adalah Vicks Inhaler®. Meski demikian, di luar Amerika Serikat zat aktifnya adalah mentol dan kamper, bukan levometamfetamina.
Boleh jadi karena berbentuk pil yang konsumsinya ditelan, metamfetamina dengan resep kurang gereget buat Ardi dan Nia. Sementara yang berbentuk kristal, konsumen bisa mengisap asap hasil pemanasannya di dalam cangklong kaca dengan nyala api kecil dan stabil, lalu mengembuskan asap yang tadi diisapnya.
Cara konsumsi seperti ini lebih terasa seperti sedang konsumsi narkoba, bukan seperti pasien yang hanya menelan pil. Kerap para konsumen beratraksi dengan asap dari mulut dan hidung sesaat setelah mengisap asap hasil pemanasan zat berbentuk kristal ini.
Saya pernah melakukan kajian lapangan tentang zat ini dan mendapati jawaban mengapa sabu begitu populer di Indonesia, justru karena cara konsumsinya tidak mengerikan, tidak melibatkan alat suntik dan darah. Dari sudut pandang itu, alasan tersebut logis.
Tapi cara konsumsi sabu menggunakan cangklong kaca dan pipa isap yang harus melalui air, menurut saya tingkat kerumitannya tinggi. Apalagi, nyala api untuk memanaskan cangklong haruslah stabil dan tak mudah padam. Konsumen mau tak mau harus menguasai caranya.
Pertama, alat pembakar. Karena nyala dan kedudukannya harus stabil, konsumen kerap menyebutnya sebagai “kompor”. Untuk membuat kompor dengan nyala api super kecil serta konstan, konsumen harus memodifikasi korek api gas yang ia miliki.
Agar keluaran gas stabil untuk menyalakan api yang konsisten, kenop gas harus diganjal sehingga ibu jari bisa terbebas dari menekannya terus-menerus. Konsumen bisa menggunakan tusuk gigi, paper clip, atau batang korek api untuk mengganjal kenop gas. Saat ibu jari tidak lagi dibutuhkan untuk menekan kenop gas, kompor dengan kenop gas terganjal bisa diletakkan di permukaan rata.
Langkah selanjutnya adalah membuat api kecil yang nyalanya stabil untuk memanasi tungku kaca berisi kristal sabu. Api kecil dibutuhkan supaya sabu yang ada dalam tungku tidak terbakar habis oleh nyala api besar, alih-alih meleleh karena panas dan menghasilkan asap untuk diisap. Kalau api padam, maka lelehan sabu akan memadat lagi, sehingga merepotkan buat orang-orang yang tidak sabar, tekun, dan mau terus belajar dari kegagalan.
Untuk membuat api macam ini dari korek gas, konsumen sabu bisa memanfaatkan jarum suntik yang ditancapkan ke lubang gas di korek api. Intinya, gas dari tabung korek menjalar melalui rongga jarum suntik sebelum memendarkan api di ujungnya. Kalau jarum suntik tidak tersedia, kertas timah atau aluminium bisa digulung kecil. Rongga dari gulungan kertas timah ini untuk mengalirkan gas sebagaimana rongga pada jarum suntik. Simak gambarannya di video ini.
Sampai sini, di benak saya muncul lagi pertanyaan, kok mau-maunya orang setajir Ardi Bakrie melakoni kompleksitas alias proses yang ribet macam itu hanya demi konsumsi sabu?
Bisa saja Ardi menyuruh istrinya untuk membuat pernak-pernik alat mengisap sabu. Tapi apa iya Nia Ramadhani yang tidak pernah mengupas salak itu bisa melakukannya?
Dengan segala kompleksitas atau konsumsinya yang serba ribet, Ardi bisa memilih narkoba yang lebih simpel konsumsinya. Kokain misalnya. Dengan kekayaannya, rasanya tidak ada masalah bagi Ardi untuk memperoleh kokain.
Budaya populer di abad modern menempatkan kokaina sebagai narkoba dengan citra glamor yang diasosiasikan dengan orang-orang kaya, terkenal, dan berpengaruh. Karena pasokannya yang sangat terbatas, maka hanya kalangan tertentu seperti Ardi Bakrie yang memiliki akses untuk memperoleh kokaina di negeri ini.
Dengan kekayaannya, Ardi harusnya bisa membayar berbagai pihak untuk melindungi konsumsi narkobanya supaya tetap aman bahkan dari endusan polisi. Maka, sangat tidak masuk akal dan menjadi hal yang menghebohkan saat media mengetahui penangkapan pasangan Nia-Ardi karena konsumsi sabu oleh aparat Polres Metro Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
Meskipun sempat menjadi berita di mana-mana, dan polisi terlihat ngotot bahwa kasus sabu Ardi-Nia ini akan terus diproses secara hukum, tapi akhir dari kisah ini sudah bisa ditebak. Mereka ditempatkan di panti rehabilitasi alih-alih penjara. Ini adalah privilese yang tidak dimiliki semua yang jadi tersangka kasus narkoba.
Sepanjang 2019, Polri bersama BNN menahan 42.649 tersangka tindak pidana narkotika. Tim asesmen terpadu BNN melayani 1.575 tersangka atau 3,69 persen dari seluruh tersangka. Ardi dan Nia masuk ke dalam 3,69 persen yang memiliki privilese tersebut, karena tim asesmen terpadu BNN dengan sigap melakukan pemeriksaan terhadap mereka. Sedangkan nasib 96,31 persen tersangka kasus narkoba lainnya entah bagaimana.