close
WhatsApp Image 2021-07-26 at 20.56.54
gambar ilustrasi: @abulatbunga

Sejak manusia pertama kali mengalaminya ribuan tahun lalu hingga detik ini, menstruasi masih belum menemukan keadilannya. Menstruasi atau haid merupakan periode yang dialami rutin tiap bulan (kerap disebut datang bulan) oleh hampir semua perempuan yang organ reproduksinya aktif.

Menstruasi bersifat biologis, seperti layaknya kencing, berak, atau bersin. Meski demikian, sayangnya stigma masih melekat pada haid sehingga banyak orang yang tidak nyaman membicarakannya.

Penamaan “darah kotor” oleh sejumlah kalangan turut menambah kesan negatif proses biologis ini, yakni luruhnya lapisan dinding rahim yang menebal karena tidak terjadi pembuahan sel telur. Darah haid tidak ada bedanya dengan perdarahan akibat luka-luka lainnya, mimisan misalnya. Karena perdarahannya terjadi pada uterus, maka darah mengalir dari rahim dan keluar melalui vagina.

Sebagian kalangan meyakini bahwa orang yang sedang menstruasi berada dalam keadaan “kotor” atau “tidak suci”. Masih banyak yang sungkan menyebut kata menstruasi atau mens. Untuk memperhalus kata yang dianggap terlalu jorok itu, mereka menyebutnya “lagi dapat”, “lagi M”, atau “sedang berhalangan”.

Contoh lain betapa tabunya menstruasi, sebagian orang masih malu ketika harus membeli pembalut di warung. Saat kuliah, saya pernah melakukan eksperimen sosial mengenai hal ini. Siswa laki-laki kami minta membeli pembalut untuk melihat bagaimana tanggapan orang-orang di sekitarnya atas hal tersebut.

Yang berbahaya, stigma ini mengakibatkan rendahnya kualitas akses perempuan di berbagai tempat terhadap informasi dan fasilitas pendukung periode biologis bulanan ini.

Baca juga:  Apa itu Benzo?

Beberapa kebudayaan kerap mendiskriminasi perempuan yang sedang haid. Contohnya, ada yang melarang mereka membaca kitab suci agama. Padahal larangan itu justru membatasi akses terhadap informasi, bahkan pahala. Ada pula budaya yang membuat para perempuan menjauh sementara dari komunitasnya sejak dimulai hingga periode menstruasinya usai.

Reaksi tubuh tiap perempuan berbeda-beda saat menstruasi. Ada yang biasa-biasa saja, tapi kebanyakan disertai nyeri atau dismenore alias kram. Nyeri saat haid sangat tidak nyaman dan menyiksa sehingga kerap mengganggu rutinitas. Sayangnya, hingga saat ini banyak perusahaan yang menganggap cuti haid tidak penting. Padahal, saat haid tubuh sangat terpengaruh oleh rasa nyeri, sehingga cuti haid sangat dibutuhkan.

Sebagian keluarga juga merasa tabu membicarakan haid. Akibatnya, anak perempuan banyak yang tidak dibekali pengetahuan untuk mempersiapkan diri saat pertama mengalami menstruasi. Mereka jadi cemas, takut, dan merasa malu.     

Pendidikan mengenai reproduksi, terutama menstruasi, sangat dibutuhkan bagi perempuan maupun laki-laki. Mereka perlu dibekali pemahaman bahwa menstruasi bukanlah hal yang kotor baik secara budaya maupun agama.

Sarana kamar mandi yang higienis dan mumpuni untuk perempuan yang sedang menstruasi perlu menjadi perhatian semua kalangan. Diperlukan tempat pembuangan khusus untuk limbah pembalut yang 90 persennya terbuat dari plastik – ini dianggap membahayakan lingkungan. Untuk mengatasi limbah plastik, kini sudah cukup banyak produk alternatif untuk keperluan menstruasi seperti menstrual cup (cawan menstruasi), celana menstruasi, pembalut kalin yang dapat dicuci, dan sebagainya.

Baca juga:  Saat Caleg Bicara Ganja hingga Lokalisasi Pelacuran

Meski produk yang lebih ramah lingkungan seperti tampon atau cawan menstruasi mulai ada yang memasarkan, ada saja pendapat yang menabukan pemakaiannya. Alasannya karena kedua produk tersebut harus dimasukkan ke dalam vagina. Perempuan yang yang belum menikah tidak boleh memasukan benda ke dalam vaginanya lantaran akan merusak keperawanannya.

Mengapa stigma terhadap menstruasi perlu dihapuskan?

Pertama, hal ini menyebabkan ketimpangan pendidikan. Banyak pemahaman tradisional atau mitos yang malah mendiskriminasi perempuan. Di beberapa daerah Afrika, diperkirakan 1:10 perempuan tidak pergi ke sekolah saat sedang haid. Lantaran kehilangan masa belajar 10-20 persen, kebanyakan perempuan ini drop out.

Kedua, stigma terhadap menstruasi juga menyebabkan kurangnya akses perempuan terhadap pembalut atau perlengkapan menstruasi yang layak – 70 persen dari perempuan yang tidak memiliki akses tersebut berisiko mengalami infeksi yang berkaitan dengan sistem reproduksinya. Kamar mandi yang layak dan aman juga diperlukan untuk kebersihan diri para perempuan selama periode menstruasinya. Kebanyakan kamar mandi umum dirancang untuk laki-laki, sehingga banyak perempuan yang kesulitan atau malu mengganti pembalut di kamar mandi umum.

Selama stigma terhadap haid masih terjadi, selama itu pula perempuan akan terus diliputi rasa malu, takut, bahkan terdiskriminasi ketika sedang menstruasi. Anggapan sosial budaya yang menabukan haid harus segera dihapuskan.

Salah satu film yang mengangkat tema menstruasi adalah sebuah film dokumenter Period. End if Sentence (2018). Film ini mendokumentasikan perjuangan warga desa di India yang berusaha menghilangkan stigma terhadap menstruasi dan upaya mereka membuat produk pembalut yang dapat dijangkau oleh orang miskin. Tidak hanya perempuan, upaya menghapus stigma terhadap menstruasi ini harus melibatkan kaum laki-laki.

Baca juga:  Sulli dan Kesehatan Jiwa yang Mengancam Generasi Muda

Menurut saya, sejumlah langkah untuk mengatasi persoalan menstruasi adalah memperluas akses terhadap produk menstruasi yang terjangkau. Langkah selanjutnya adalah meningkatkan akses terhadap fasilitas dan pengelolaan kamar mandi yang layak. Berikutnya, seluruh perusahaan wajib memberikan cuti haid bagi pekerja perempuan. Langkah terakhir adalah meningkatkan akses atas informasi dan pendidikan untuk meruntuhkan stigma dan tabu seputar menstruasi.

Tags : datang bulanhaidmenstrual cupmenstruasi
Terranova Waksman

The author Terranova Waksman

Antropolog cum seniman partikelir