Tahun 2012 pertama kali saya berkenalan dengan Mama Catrina Ohhe. Saat itu saya diajak oleh atasan untuk mengikuti pertemuan rutin komunitas pengidap HIV (human immunodeficiency virus). Saya diajak karena saya sedang belajar menjadi pendamping bagi teman-teman ODHA (orang dengan HIV-AIDS).
Artikel ini karya Desi Manggaprouw, salah seorang peserta Lokakarya Jurnalisme Warga yang diselenggarakan Rumah Cemara dan UNAIDS di Jayapura, 17-20 Juli 2018.
Di pertemuan itu kami saling memperkenalkan diri. Kami juga menceritakan latar belakang kehidupan kami. Pada giliran terakhir, ada seorang perempuan paruh baya, usia empatpuluhan, yang memperkenalkan diri. Dialah Catrina Ohhe, yang akrab dipanggil sebagai Mama Catrin.
Cerita Mama Catrin mengejutkan saya. Mama Catrin ternyata seorang ODHA. Saya bertanya dalam hati, benarkah perempuan yang terlihat sehat ini mengidap HIV? Saya tidak percaya. Selesai pertemuan, saya mendekati Mama Catrin. Dia sedang asyik berbincang dengan anggota komunitas yang lain. Saya pun ikut mendengarkan cerita mereka.
Karena takut menyinggung perasaan mama Catrin, saya tidak berani bertanya. Saya memilih diam dan mencoba mengikuti alur pembicaraan mereka. Dari perbincangan mereka, saya akhirnya sadar bahwa teman-teman pengidap HIV itu tidak buruk. Mereka mempunyai semangat untuk bertahan hidup dengan mengonsumsi obat Antiretroviral (ARV). Obat ini memang berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV dalam tubuh. Di sini saya mendapatkan pelajaran penting bahwa saya tidak bisa menilai sesuatu hanya dari sisi buruknya.
Seiring berjalannya waktu, saya terus belajar menjadi seorang pendamping. Pengalaman Mama Catrin menjadi motivasi untuk saya. Meski mengidap HIV, Mama Catrin mampu menghidupi tiga orang anaknya. Tidak hanya itu, dia juga menghidupi keponakan-keponakannya.
Mama Catrina melakukannya seorang diri tanpa suami. Suaminya sudah lama meninggal. Mama mendapat uang dengan berjualan. Dia menjual pinang, sayur, pisang, dan hasil kebun lainnya. Meski hidup sederhana, Mama juga sering membantu orang-orang di sekitarnya. Hal ini saya ketahui dari cerita teman-teman komunitas maupun para tetangga.
Sampai saat ini Mama Catrin masih terus mengonsumsi obat ARV. Dia juga terus mendampingi teman-teman ODHA. Setiap pagi mama Catrin bangun dan melakukan aktivitas di rumah. Dia memasak, membersihkan rumah dan mengurusi anggota keluarganya. Setelah itu mama Catrin menuju ke Puskesmas Kampung Harapan untuk membantu para suster di bagian VCT (voluntary counselling and testing alias konseling dan tes HIV sukarela). Jika ada pasien positif HIV, Mama Catrin langsung melakukan pendekatan pada mereka.
Pertama dia membagi pengalamannya sebagai ODHA. Selanjutnya dia menjadi pengawas minum obat. Jika ada pasien yang malu untuk membuka status HIV-nya, Mama Catrin membantu mengantar obat ke rumah pasien tersebut.
Selain mendampingi ODHA, Mama Catrin juga aktif dalam kegiatan pelatihan dan pertemuan rutin.
Mama Catrin berharap, ada satu rumah khusus tempat ODHA berkumpul. Di situ mereka bisa saling membantu, berbagi pengalaman, berbagi kreativitas, belajar menjadi pasien mandiri. Dengan demikian mereka bisa menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka bisa melakukan aktivitas sama seperti orang yang tidak mengidap HIV. Mereka bisa membina rumah tangga, bisa mengandung, bisa melahirkan, merawat dan membesarkan anak-anak. Yang mereka butuhkan hanyalah perhatian dari pemerintah dan masyarakat.
Pengalaman Mama Catrin selalu saya bagikan kepada teman-teman ODHA yang saya dampingi. Hal itu saya lakukan karena kisahnya sangat inspiratif. Saya sangat bangga pada Mama Catrin. Dia adalah sosok perempuan hebat yang bisa menjadi contoh semua orang.
Ungkapan seorang teman ODHA yang selalu saya ingat “Kalo sa HIV belum tentu sa mati dan tidak bisa punya anak. Yang penting sa minum obat ARV serta berperilaku hidup bersih dan sehat, pasti sa dan ko aman saja to?”***