Masalah narkotika di negara ini tidak kunjung usai meskipun sudah ada peraturan khusus dan propaganda “perang terhadap narkoba”. Ini terlihat dari berbagai pemberitaan mengenai kasus hukum yang kebanyakan menjerat konsumennya. Mereka dijerat dengan hukuman maksimal, padahal barang buktinya hanya cukup untuk konsumsi dua-tiga hari – bukan berkilo-kilogram.
Dalam Ayat 1 Huruf A Pasal 103 UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, hakim dapat memutuskan para konsumen ini untuk menjalani pengobatan dan/ atau perawatan melalui rehabilitasi jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Fungsinya untuk memulihkan ketagihannya, sehingga mereka diharapkan tidak perlu lagi mengonsumsi narkotika pascarehabilitasi.
Ketetapan itu ditegaskan Pasal 127 UU tersebut. Istilah yang digunakan dalam UU adalah “penyalah guna”. Di pasal ini, mereka yang dapat menjalani rehabilitasi yakni konsumen yang memiliki narkotika bagi diri sendiri.
Rehabilitasi bagi konsumen yang ketagihan narkotika dalam UU diperkuat dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI No. 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabillitasi Sosial.
Meskipun aturan-aturan itu telah ditetapkan, ada hambatan serius dalam penerapannya. Hambatan itu adalah adanya rumusan perilaku yang dapat ditafsirkan luas dalam pasal-pasal yang bertujuan menjerat bandar narkotika. Akibatnya, seorang konsumen narkotika dapat dijerat dengan pasal bandar.
Selain itu, berbedanya jenis hukuman pada pasal-pasal itu menambah kemungkinan jual beli pasal dalam proses penegakannya.
Rumusan perilaku yang bermasalah tersebut terdapat di Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 117, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 122, Pasal 124, dan Pasal 125. Pasal-pasal itu dapat dibagi ke dalam tiga kategori perbuatan.
Pertama, perbuatan seorang bandar atau penyedia narkotika yang dimuat Pasal 111, Pasal 112, Pasal 117, dan Pasal 122. Kedua, perbuatan seorang yang menjadi penjual atau perantara dalam perdagangan narkotika yang dimuat Pasal 114, Pasal 119, dan Pasal 124. Serta ketiga, perbuatan seorang yang menjadi kurir dalam perdagangan narkotika yaitu Pasal 115, Pasal 120, dan Pasal 125.
Pada ketiga kategori dalam setiap rumusan pasalnya terdapat unsur-unsur perbuatan yang bisa ditafsirkan luas, sehingga para konsumen yang berhak atas rehabilitasi (dalam UU dan SEMA disebut juga sebagai “korban penyalahgunaan” dan “pecandu” – red) juga dapat terjerat.
Saya membedahnya satu per satu ke dalam kategori perbuatan.
Pertama, pasal yang ditujukan untuk menjerat bandar berbunyi sebagai berikut, “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika…..”
Pada rumusan tersebut, terdapat beberapa unsur perbuatan yang dilarang, yaitu menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, dan menyediakan.Sayangnya unsur-unsur itu gagal menggambarkan secara spesifik perilaku seorang bandar. Hal itu dikarenakan terdapat unsur perbuatan yang dapat ditafsirkan luas yaitu unsur memiliki dan menguasai.
Perbuatan memiliki dan menguasai tentu juga dilakukan oleh seorang pengguna narkotika atau konsumen. Logisnya, seorang pengguna tidak akan memakai narkotika sebelum ia memiliki dan menguasai barangnya.
Celakanya, unsur-unsur dalam pasal itu digabungkan dengan kata “atau”, yang artinya beberapa perbuatan itu dapat dipilih sesuai dengan tindakan tersangka. Jenis hukuman untuk pasal ini terbilang berat, yaitu paling singkat lima tahun dan paling lama bisa seumur hidup. Sedangkan hukuman yang diatur Pasal 127 atas pelanggaran larangan konsumsi narkotika, maksimal empat tahun penjara dan masih memungkinkan diganti dengan rehabilitasi medis dan sosial.
Permasalahan serupa juga rentan hadir dalam perbuatan yang melarang seorang menjadi distributor atau perantara dalam jual beli narkotika. Perbuatan, dalam hal ini, dirumuskan, “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika….”
Lagi-lagi dalam rumusan pasal tersebut beberapa unsur perbuatannya disatukan dengan kata “atau”. Artinya, beberapa perbuatan itu dapat dipilih untuk dicocokkan dengan perbuatan pelaku tindak pidana. Pada perbuatan-perbuatan yang dilarang tersebut ada rumusan yang dapat juga menjerat konsumen, yaitu membeli dan menerima.
Kedua perbuatan itu tentunya juga dilakukan seorang konsumen narkotika, karena mereka pasti akan terlebih dulu menerima narkotika sebelum mengonsumsinya.
Tidak berhenti di situ, permalasahan perbuatan juga terdapat dalam rumusan pasal yang harusnya melarang seseorang menajdi kurir dalam perdagangan gelap narkotika, yakni, “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika…..”
Masih dengan kata “atau” untuk menggabungkan beberapa perbuatan, di rumusan yang ini bahkan bisa lebih luas risiko penafsiran pasalnya karena adanya unsur “membawa”. Unsur ini juga bisa ditafsirkan kepada orang-orang biasa yang tidak tahu jika di dalam saku atau tas mereka terdapat narkotika.
Hal itu dialami oleh seseorang di Palembang, Sumatera Selatan pada 2017 lalu. Awalnya, ia dituntut sebagai kurir narkotika. Namun karena mengaku tidak tahu apa isi paket yang dia bawa dan tidak berani juga membuka paketnya, akhirnya dia dihukum delapan bulan kurungan penjara sebagai orang yang tidak melaporkan adanya narkotika.
Meskipun dijatuhi hukuman yang jauh lebih rendah, tetapi itu dinilai tidak adil. Hakim menabrakkan dua ketentuan pasal yang berlawanan, yaitu mewajibkan terdakwa harus mengetahui isi paket yang dia bawa apakah narkotika atau bukan. Jika ternyata diketahui narkotika, maka dia diwajibkan untuk melaporkannya ke polisi (sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 131 UU Narkotika).
Satu-satunya cara untuk tahu, dia harus membongkar paket itu. Padahal, dalam ketentuan lain di KUHP, pembongkaran terhadap barang orang lain dapat dikenakan pasal perusakan barang.
Rumusan perbuatan-perbuatan yang multitafsir dalam UU Narkotikalah yang membuat kasus-kasus salah sasaran seperti yang terjadi selama ini. Seharusnya pembuat UU lebih spesifik memilih kata sehingga dalam satu rumusan dapat mencerminkan satu perbuatan yang ingin dilarang. Alih-alih mengatasi peredaran gelapnya, masyarakat awam malahan yang kena sasaran.
Multitafsir ini juga menimbulkan potensi korupsi oleh aparat penegak hukum. Satu perbuatan bisa dengan mudah mereka cocok-cocokkan dengan pasal yang ingin diterapkan, tergantung suap yang pas untuk menerapkan pasalnya. Apakah mau dihukum mati, seumur hidup, 20 tahun penjara, 5 tahun penjara, atau rehabilitasi? Tinggal sesuaikan dana yang ada di kantong dengan tawaran yang diberikan oleh penegak hukum.