close
infografis 9.1
Gambar Ilustrasi: @abulatbunga

Terminologi ini dipakai sebagai penjelasan pemanfaatan senyawa yang terkandung dalam tanaman ganja untuk redakan gejala akibat kondisi medis melalui peresepan.

Istilah “ganja medis” populer setelah California, sebuah negara bagian di AS meresmikan tanaman ini untuk berbagai pengobatan pada 1996.

Popularitas pengobatan menggunakan senyawa ganja “pascaperang terhadap narkoba” dimulai sejak sebuah perusahaan farmasi Belgia mengembangkan sintetis delta-9-tetrahydrocannabinol (THC) dalam kapsul yang dikemas bersama minyak wijen. Obat ini diizinkan Badan POM AS (FDA) untuk atasi mual dan muntah akibat kemoterapi kanker serta anjloknya berat badan atas rendahnya nafsu makan pasien AIDS pada 1985.

Izin FDA itu bermasalah dengan penegakan hukum lantaran THC adalah zat golongan satu dalam UU Pengendalian Zat AS. Obat itu, dronabinol akhirnya didaftarkan sebagi narkoba golongan tiga pada 1999. Sebagai sumber alami THC dronabinol, sebuah petisi diajukan agar tanaman ganja diperlakukan sama – upaya yang dilakukan sejak 1972. Tapi kini, semua senyawa ganja masih terdaftar sebagai zat golongan satu di UU federal tersebut.

Perbandingan kapsul dronabinol dengan ganja alami meramaikan diskursus tentang ganja medis. Para pasien bersaksi, lebih nyaman merokok ganja ketimbang menelan pil karena khasiatnya bisa dirasakan segera. Mereka pun bisa berhenti mengisap kapanpun saat efek yang diharapkan tercapai.

Sementara untuk mencapai efek sistemis dronabinol sepenuhnya, butuh waktu sekitar satu jam. Karena dosis THC dalam kapsulnya baku, pasien bisa saja merasa kelebihan atau kekurangan dosis padahal sudah menunggu enam puluh menitan pascaminum pil tersebut.     

Baca juga:  Timnas Futsal Indonesia Tak Asing dengan AIDS dan Narkoba

Kajian atas laporan anekdotal dari para pasien tadi banyak dilakukan. Sejumlah kajian farmakologis menemukan, setidaknya 113 senyawa terkandung dalam tanaman ganja.   

Pascaditetapkan sebagai zat yang paling diawasi secara global, bukti-bukti awal khasiat medis ganja ditemukan lagi, di antaranya meredakan mual dan muntah akibat kemoterapi, nyeri kronis, serta kejang otot. 

Padahal risalah kuno Tiongkok hingga Yunani mencatat khasiatnya untuk atasi sembelit, rematik, asam urat, linglung, insomnia, nyeri, perdarahan hingga obat cacing. Sementara khasiat diuretik, antiayan, antimuntah, antiradang, analgesik, dan antipiretik dimanfaatkan sebagai obat oleh tabib-tabib Arab di abad pertengahan.  

Di Eropa, Belanda jadi negara paling berpengalaman dengan pemanfaatan ganja baik untuk medis maupun rekreasi. Banyaknya perusahaan farmasi yang bermarkas di benua biru ini ditambah kebebasan mereka menentukan kebijakan narkoba bagi negara masing-masing, istilah “ganja medis” pun tidak seheboh di AS.

Eropa serius dengan ganja medis karena memang mengakui terdapat kebutuhan pasien dan yang lebih penting, untuk meruntuhkan pasar gelapnya. Banyak negara yang sudah izinkan ganja untuk pengobatan sebelum Inggris mengizinkan peresepan obat berbahan ganja pada 2010. Demi alasan biaya, pasien penyakit kronis pun boleh menanam ganja.

Cara konsumsi ganja medis pun beragam, termasuk pil, semprotan oral atau dermal, tablet isap, minyak tetes, koyok, kudapan, serta penguapan atau pengasapan tunas bunga kering.

Baca juga:  Ahli di Sidang MK: Narkotika Fardu Diurus Sektor Kesehatan Bukan Pidana

Badan POM AS tidak mengizinkan merokok ganja untuk kondisi dan penyakit apapun sebab bukti kemujaraban dan keamanannya belum mencukupi. Penguapan (vaporize) ganja lantas populer. Menurut persepsi para pasien, bahan kimia berbahaya yang terserap saluran napas lebih sedikit bila yang dihirup uap ketimbang asap.

Di Asia, Korea Selatan mengizinkan pemanfaatan ganja medis dengan merevisi UU narkobanya pada 2018. Sederet aturan dibuat pemerintah agar pemanfaatannya terawasi ketat meski revisi tersebut hanya mengizinkan impor obat jadi.

Thailand mengesahkan ganja medis akhir 2018. Prosesnya dimulai sejak 2016 saat menteri hukumnya memandang, hukum yang keras gagal menumpas ganja.

Hingga perubahan UU disahkan, mereka memakai ganja sitaan polisi untuk kembangkan dan uji klinis obat bagi pasien kanker (termasuk secara tradisional), epilepsi, Parkinson, juga sklerosis ganda. Kementerian kesehatannya mengawasi izin dokter dan tabib yang dapat meresepkan ganja serta budi dayanya bersama lembaga-lembaga iptek di sana.   

Pada 2020, Lebanon jadi negara Arab pertama yang melegalkan budi daya ganja medis. Ini merupakan salah satu jawaban atas krisis ekonomi yang mereka alami. Terlebih, Lebanon memasok berton-ton ganjanya secara gelap ke Afrika dan Eropa, hingga kondang sebagai ibu kota hasish dunia, tapi negara tak mendapat apapun.

Singapura sudah mengembangkan senyawa ganja sintetis sejak 2018 dan mendaftarkan paten internasional untuk tiga senyawa buatan mereka. Pada akhir 2019, pemerintah Singapura mengizinkan seorang pasien epilepsi untuk gunakan obat berbahan ganja impor. Pertengahan 2021, pasien kedua diizinkan gunakan obat yang sama.

Baca juga:  Peringatan Hari Anti-Narkoba 2021: PBB Hapus Stigmatisasi Ganja, Indonesia Lanjut Perangi Narkoba (2)

Negara-negara di Asia Tenggara tenar akan hukum narkoba yang keras. Thailand melarang budi daya ganja pada 1934. Kerajaan yang tak pernah dijajah ini gencarkan lagi “perang terhadap narkoba” yang memenjarakan dan menghukum mati ribuan pelanggar pada 2013. Hingga kini, Thailand menjadi negara dengan populasi tahanan terbanyak di Asia.

Pemerintah Singapura menyatakan kekecewaannya atas langkah PBB menggolongkan ganja sebagai tanaman berkhasiat medis pada 2020. Korea Selatan mengkritik kebijakan ganja rekreasi di Kanada lantas menghukum warganya yang kedapatan isap ganja di luar negeri saat pulang ke tanah airnya. Indonesia, seperti itulah!

Yang menarik, karena jadi negara pertama di Asia yang menghapus hukuman mati, Presiden Rodrigo Duterte membunuh belasan ribu pelanggar UU narkoba Fililpina di luar proses pengadilan sejak 2016. Tapi siapa sangka kalau Duterte ternyata bersedia sahkan aturan ganja medis negaranya yang sudah diusulkan parlemen sejak 2014?

Tags : CBDdronabinolganja medisSativexTHC
Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

1 Comment

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.