close
Memimpin Sepak Bola untuk Perubahan Sosial
Ilustrasi sepak bola jalanan (Foto: viva.co.id)

Sepak bola itu lebih dari sekadar olahraga kompetisi!”

Ungkapan itu disampaikan Eko Sutiadi. Pemuda berusia 25 tahun ini bulan lalu dipercaya Rumah Cemara untuk mengoordinasi program pelatihan sepak bola bagi anak-anak termarginalkan. Program ini dirancang untuk satu tahun. Pesertanya adalah anak berusia 9-18 tahun yang dibagi menjadi dua kategori, yaitu antara 9-15 dan 16-18 tahun.

Delapan komunitas di wilayah Bandung dan sekitarnya akan berlatih seminggu sekali selama tiga jam. Lima pelatih dari Rumah Cemara, termasuk Eko, terlibat di program ini. Kelimanya dibantu oleh seorang pelatih lokal dari tiap daerah tempat kedelapan komunitas itu berasal.

Walaupun dirancang untuk setahun, program pelatihan ini paling hanya akan efektif 30 mingguan, soalnya baru akan mulai Maret terus kepotong bulan Puasa. Nantinya, delapan komunitas ini akan berkompetisi di tengah dan akhir program,” tutur pemegang sertifikat dari Coaches Across Continent (CAC) pada 2013 ini. CAC adalah sebuah organisasi nonpemerintah yang bergerak di bidang olahraga, khususnya sepak bola, untuk perubahan sosial.

Bukan tanpa alasan Rumah Cemara memercayakan koordinasi program ini kepada Eko. Selain memiliki pengalaman melatih anak-anak, penggemar Manchester United ini mengantongi sejumlah sertifikat pelatih. Namun demikian, melatih anak bersepak bola tentu berbeda dengan melatih orang dewasa. “Nggak ada pembagian usia yang baku, dan sebenarnya akan lebih baik kalo usianya sama. Anak 8 tahun dengan yang berusia 8 tahun juga,” terangnya.

Masih menurut Eko, yang penting diajarkan kepada anak-anak dari bersepak bola adalah bagaimana meningkatkan kepercayaan diri dan bersikap tegas dalam berkomunikasi. Sikap-sikap ini terutama untuk menghindari perundungan (bullying) dan berbagai macam pelecehan. Buat program ini, Eko menawarkan metode Sepak Bola untuk Perubahan Sosial (Football for Social Impact) alih-alih berpusat pada peningkatan ketrampilan teknik bersepak bolanya.

Metode ini menempatkan sepak bola sebagai sarana menciptakan lingkungan sosial yang aman dan terjangkau untuk mendukung perubahan di suatu komunitas. Tidak ada definisi baku untuk Football for Social Impact atau Sepak Bola untuk Perubahan Sosial ini.

Baca juga:  Indonesia’s HIV response leaving people who use drugs behind

Sebagai gambaran saja, awalnya Rumah Cemara menjadikan sepak bola sebagai simulasi sebelum mendiskusikan cara penularan HIV bersama berbagai klub yang diajak bermain. Karena dalam sebuah permainan sepak bola, para pemain pasti saling bersentuhan badan dan memaparkan keringat. Hal-hal tersebut kerap dianggap dapat menularkan virus yang belum ada vaksin dan obatnya itu.

Kini, Sport for Development (SFD), sebuah divisi program Rumah Cemara yang menggunakan olahraga sebagai alat pemberdayaan individu maupun komunitas, melakukan sejumlah kegiatan program termasuk pelatihan sepak bola bagi anak-anak termarginalkan yang dikoordinasi oleh Eko itu.

Perubahannya macem-macem sih. Waktu kita ngelatih anak-anak jalanan di Ciroyom (nama kelurahan di Kota Bandung -red) dua tahun lalu, tadinya mereka nggak pernah mandi. Setelah beberapa kali sesi latihan, mereka jadi rutin mandi,” kenang Eko.

Peserta program tahun ini tidak hanya komunitas anak jalanan, ada juga gabungan dua komunitas yang tadinya sering tawuran. Program ini juga mengangkat peran pemimpin-pemimpin muda di komunitas yang menggunakan kekuatan sepak bola untuk perubahan sosial. “Makanya kita rekrut seorang pelatih dari daerah tempat komunitas itu berasal,” sambung Eko, “Yang dianggap dewasa untuk tanggung jawab (atas) komunitas yang dilatih.”

Program pemimpin muda yang diusung Rumah Cemara ini turut didukung oleh Cityzens Giving, program pendanaan dari klub sepak bola Manchester City, Inggris, suporter, dan mitra kerja mereka. Rumah Cemara mendapat dana 73.803 poundsterling karena mengumpulkan suara terbanyak kedua dalam pemungutan suara yang digelar 16 November hingga 24 Desember lalu. “Makanya program pelatihan ini dinamakan, Program Cityzens Giving,” jelas Eko.

Seperti yang telah diungkapkan, salah satu peserta program adalah gabungan dua komunitas yang tadinya kerap berkelahi, yaitu anak-anak Cirateun Kulon dan Cirateun Wetan. Keduanya adalah nama wilayah yang terletak di Cirateun, Kelurahan Isola, Kecamatan Sukasari, Bandung. Eko menjelaskan, konteks sepak bola untuk perubahan sosial di sini adalah, sepak bola menjadi alat untuk conflict resolution.

Baca juga:  Rancangan KUHP Ancam Pelayanan KB dan Informasi HIV-AIDS

Dalam kasus Cirateun, kita ngadain kompetisi sepak bola buat anak-anak yang sering garelut. Kita ajarkan penyelesaian konflik yang lebih sehat ke anak-anak ini, termasuk menyalurkan energi, dari yang tadinya untuk berantem ke olahraga,” papar Eko yang juga warga Cirateun Wetan. “Alhamdulillah, mereka bahkan bisa bersatu bikin tim sepak bola!”

Walaupun demikian, Eko tidak menampik bahwa bisa saja sebuah kompetisi olahraga justru mempertajam konflik di antara mereka. Untuk itu, perlu pemetaan yang lebih seksama sebelum menentukan bentuk kegiatan apa yang akan dilakukan dalam menjadikan olahraga sebagai alat penyelesaian konflik.

Selain penyelesaian konflik, olahraga juga bisa digunakan sebagai sarana penyampaian pesan untuk mengatasi persoalan-persoalan di kalangan anak dan remaja.

Adalah tidak tepat jika dikatakan bahwa remaja rentan terhadap konsumsi narkoba. Buktinya, kebanyakan selebriti yang diberitakan tertangkap karena konsumsi narkoba bukanlah remaja. Sebutlah Roy Marten, Gatot Brajamusti, Reza Artamevia, atau Sammy Simorangkir. Namun, remaja memang kerap mencoba perilaku berisiko seperti olahraga ekstrem, perkelahian kelompok, atau kegiatan kriminal termasuk konsumsi narkoba.

Di sinilah sepak bola untuk perubahan sosial dapat efektif bagi anak-anak dan remaja. Lewat permainan, mereka akan lebih mudah menyerap materi pendidikan seperti ketrampilan menghindari konsumsi narkoba. Idenya adalah menyinkronkan kegiatan otak kiri dan otak kanan. Masih menurut Eko, duduk mendengarkan materi yang diajarkan itu membosankan, maka kegiatan-kegiatan yang menggunakan fungsi otak kanan seperti olahraga perlu dilakukan.

Alat ukur program sepak bola untuk perubahan sosial ini telah dikembangkan Rumah Cemara. Hal ini disampaikan Rijki Kurniawan, Koordinator SFD. “Kita udah punya alat ukur sendiri, termasuk untuk isu drug, prevention dan pengurangan dampak merugikan konsumsinya. Indikator untuk materi yang disampaikan di lapangan juga udah ada walaupun untuk harm reduction masih terbatas,” tutur pemuda yang akrab dipanggil Mamaz ini.

Sebagai bentuk apresiasi bagi peserta program ini, Rumah Cemara kini berupaya untuk bisa mengikuti Satuc World Cup. Ini adalah piala dunia sepak bola dengan lima pemain putra U-15 pengungsi perang, yatim piatu, atau anak-anak kurang beruntung. Kejuaraan ini diinisiasi oleh Pangeran Seikha Al Thani di Mesir pada 2014.

Baca juga:  Portugal, Contoh Keberhasilan Upaya Dekriminalisasi Narkoba

Mamaz menerangkan, nantinya pemain-pemain terbaik dari delapan komunitas peserta Program Cityzens Giving akan memperkuat tim nasional Indonesia di Satuc Word Cup 2017. “Rencananya diikuti 24 negara. Di Maroko, Agustus nanti,” tambahnya, “Yang dipertandingkan (adalah) mini-soccer.”

Melalui Program Cityzens Giving, diharapkan lahir bintang-bintang sepak bola muda yang tidak hanya mahir mengolah bola di lapangan tetapi juga membawa perubahan yang bermakna di komunitasnya. Melalui program ini pula, pemuda-pemuda akan terpicu untuk tampil memimpin perubahan di berbagai bidang kehidupan masyarakat Indonesia melalui olahraga.

Harapannya adalah, semakin banyak orang-orang seperti Eko, yang menekuni sepak bola untuk perubahan sosial, berbagi pengetahuan, ketrampilan, dan kepeduliannya ke anak-anak. Kita tidak tahu, siapa dari anak-anak itu yang nantinya akan memiliki masa depan cerah kalau tidak pernah berada di lingkungan yang mendukung untuk terjadinya kesempatan mengubah kehidupan mereka yang terpinggirkan.

Pada bagian akhir The Blind Side, dinarasikan bahwa David, sebaya Michael Oher di daerah kumuh dan brutal tempat mereka berasal, tewas di usianya yang masih belia. Tidak seperti Michael, David yang juga memiliki bakat di bidang olahraga, tidak keluar dari lingkungan tempat tinggalnya itu hanya karena tidak ada orang dari kalangan beruntung di sisi lain Kota Memphis, Tennessee, Amerika Serikat, yang peduli dan mau menjadi keluarga asuhnya.

The Blind Side adalah film tentang seorang pemain American football yang dibintangi Quinton Aaron dan Sandra Bullock (2009).

Sepak bola telah menjadi sarana yang digunakan Rumah Cemara untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pencapaian cita-cita masa kecil dan harapan para orang tua. Sebagaimana sebuah gerakan, upaya-upaya pencapaian cita-cita tersebut membutuhkan pemimpin. Dan melalui program ini, Rumah Cemara memercayakan kepemimpinan tersebut kepada anak-anak muda.

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.