Orang Indonesia sedang ramai-ramainya bicara tentang sosok presiden dan wakilnya yang akan terpilih dalam pemilu tahun ini. Apakah pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin atau Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang akan terpilih? Jawabannya akan ditentukan oleh jumlah suara dari sekitar 192 juta warga Indonesia Rabu, 17 April besok, jika semuanya menggunakan hak pilihnya.
Selain pilpres, yang tak kalah pentingnya adalah rebutan suara dalam pemilu legislatif, mulai dari tingkat nasional, provinsi, hingga kota/ kabupaten. Tercatat sebanyak 7.968 orang menjadi caleg dalam pemilu kali ini. Proporsinya, 4.774 caleg pria dan 3.194 caleg perempuan. Mereka berasal dari 20 partai politik yang berkontestasi.
Layaknya sebuah kontes, maka para caleg berlomba menarik minat calon pemilih dalam meraup suara. Berbagai janji ditebar, beragam acara juga digelar. Tujuannya tentu saja untuk meraih suara sebanyak mungkin di daerah pemilihannya.
Perlu diakui, magnet pilpres tampaknya lebih kuat ketimbang pileg. Perhatian masyarakat di ruang publik seakan tersita oleh pemilihan orang nomor satu dan dua di negeri ini. Di masa kampanye sejak September tahun lalu, pemilihan caleg seakan tertelan oleh keriuhan ajang pilpres.
Seperti dilansir CNN Indonesia (31/1/2019), peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus menilai para caleg, terutama yang baru, sulit menyosialisasikan diri dalam pemilu tahun ini. Penyebabnya karena pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dihelat bersamaan dan ruang publik lebih riuh diisi isu tentang pilpres. Menurutnya, isu pilpres terlalu dominan di ruang publik.
Fenomena ini menarik mengingat keberadaan lembaga legislatif penting bagi sebuah negara. Jika terpilih nanti, para caleg DPR RI yang berkontestasi ini akan memiliki kewenangan yang sangat penting dalam membuat undang-undang bersama presiden. Demikian juga dengan caleg DPRD provinsi maupun kota/ kabupaten yang nantinya akan berwenang membentuk peraturan daerah bersama kepala daerah. Produk kebijakan yang mereka terbitkan akan sangat memengaruhi kehidupan orang banyak.
Dengan kata lain, pemilu legislatif sudah seharusnya mendapat perhatian yang sama dari masyarakat. Sudah sepatutnya pula, masyarakat dapat menakar kualitas para caleg yang akan menjadi wakilnya nanti.
Rumah Cemara merespon fenomena itu melalui serangkaian diskusi bersama sejumlah komunitas. Sesuai dengan visi organisasinya, Rumah Cemara mengangkat isu kesehatan, khususnya HIV-AIDS dan NAPZA dalam rangkaian diskusi ini. Beberapa caleg dihadirkan sebagai narasumber.
Bertempat di Ruang Persaudaraan Ginan Koesmayadi Rumah Cemara Bandung, sebuah diskusi interaktif diselenggarakan 3 April 2019 lalu. Giring Ganesha caleg DPR RI dari Partai Solidaritas Indonesia, Aden Achmad caleg DPRD Jawa Barat dari Partai Keadilan Sejahtera, dan Mariska Isabella caleg DPRD Kota Bandung dari Partai Demokrat tampil di acara ini. Seorang jurnalis, Zaky Yamani, memandu diskusi yang dihadiri puluhan peserta dari beragam komunitas mulai dari pegiat penanggulangan HIV-AIDS dan narkoba, kelompok difabel, hingga mahasiswa itu.
Acara serupa berlangsung di Jakarta melalui kerja sama dengan Yayasan Karisma, Kamis, 11 April 2019. Patri Handoyo dari Rumah Cemara memandu diskusi bersama tiga caleg DPR RI sekaligus, yaitu Rian Ernest Tanudjaja dari Partai Solidaritas Indonesia, Andy Azisi Amin dari Partai Keadilan Sejahtera, dan Wanda Hamidah dari Partai Nasional Demokrat. Puluhan pegiat penanggulangan HIV-AIDS dan NAPZA menghadiri diskusi yang digelar di sebuah kafe di kawasan Jakarta Timur itu.
Dari yang Diplomatis Hingga yang Lugas
Menakar kualitas caleg dalam memahami persoalan kesehatan semacam HIV-AIDS dan NAPZA secara sederhana dapat dilakukan dengan menyimak pernyataan mereka saat berdiskusi. Sudut pandang dalam menguraikan penjelasan mereka seputar persoalan ini menjadi hal menarik bagi para peserta diskusi.
Pada topik yang mengangkat isu kesehatan secara umum, hampir seluruh caleg seragam menyatakan bahwa kesehatan adalah isu penting yang harus menjadi prioritas dalam program pembangunan. Mereka menilai, derajat kesehatan harus ditingkatkan agar tercapai kesejahteran dan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Seperti diungkapkan Aden Achmad, pelayanan kesehatan harus dilakukan menyeluruh tanpa adanya diskriminasi pada kelompok masyarakat tertentu. Caleg yang selama ini dikenal sebagai aktivis difabel ini menyatakan dirinya akan terus melakukan advokasi agar kebijakan pemerintah dalam pelayanan kesehatan semakin baik dan inklusif.
“Bayangkan saja, saat seorang pasien tunarungu berobat, dokter malah bertanya tentang keluhannya pada si pengantar. Bukan pada pasiennya, karena tidak mengerti bahasa isyarat. Ini kan berpotensi malpraktek,” ujarnya.
Aden juga menyoroti tentang pentingnya campur tangan pemerintah dalam menangani masalah kesehatan yang dialami masyarakat miskin, terutama yang rentan seperti penderita lepra, orang dengan disabilitas, atau pengidap HIV-AIDS.
Hal senada diungkapkan Giring Ganesha. Mantan vokalis Nidji ini menyatakan, negara harus menjamin obat-obatan untuk semua jenis penyakit agar bisa diakses dengan murah. Ia mencontohkan, seseorang yang terkena HIV akibat perilakunya di masa lalu tetap berhak mendapat pengobatan agar tetap sehat.
“Kenapa harus didiskriminasi? Semua orang punya masa lalu. Mau bagaimana pun masa lalunya, negara tetap harus melindungi mereka!” tegasnya.
Giring juga mengomentari tentang kasus dugaan tindak pidana penggelembungan atau mark-up anggaran pengadaan obat HIV-AIDS yang dilakukan PT Kimia Farma Trading & Distribution. Seperti diketahui, dugaan mark-up itu dalam tender Kementerian Kesehatan tahun anggaran 2016.
“Jika memang ada kasus seperti itu, kita laporkan ke KPK, Bos!” ujarnya bersemangat.
Baginya, jika kasus itu terbukti, hal itu adalah kejahatan serius. “Tujuan pengobatan itu ‘kan untuk memperpanjang hidup kita, ya kan? Seperti Magic Johnson, yang bisa hidup panjang hingga hari ini…,” tambahnya.
Dalam diskusi serial ini, isu lain yang menyedot perhatian adalah seputar ganja untuk kepentingan medis. Rangkaian diskusi ini memang ingin mengetahui bagaimana para caleg menyikapi isu narkoba, termasuk ganja, dengan pendekatan kesehatan masyarakat.
Politisi Partai Nasdem, Wanda Hamidah menilai jika ganja memang terbukti bermanfaat untuk kesehatan atau pengobatan, harus dilegalkan. Bukan hanya ganja, tetapi juga narkoba jenis lain seperti morfin dan obat antidepresan.
“Tapi ya harus hati-hati. Bukan dipakai untuk iseng-iseng. Jadi ya harus dengan peresepan dokter,” ujarnya. Peresepan dokter ini, sambungnya, juga harus diawasi ketat jangan sampai disalahgunakan.
Meski demikian, mantan model ini juga mengakui legalisasi ganja di Indonesia masih sangat jauh. Baginya, masih banyak politisi yang munafik dalam melihat persoalan ganja. Ia mencontohkan, di satu sisi, konsumen ganja dikenai hukuman layaknya seorang penjahat. Tapi, di sisi lain misalnya, seperti di Aceh yang jelas menggunakan hukum Islam, orang memasak dengan menggunakan ganja.
“Bagi saya pribadi, apapun yang dipergunakan untuk penyembuhan kesehatan seseorang, silakan dilegalkan sejauh berhubungan dengan medis dan tidak disalahgunakan. Silakan (ganja) dilegalkan selama koridornya jelas untuk kesehatan,” ungkapnya lugas.
Hal senada disampaikan Andy Azisi Amin. Caleg dari PKS ini mengatakan jika ada lembaga yang memiliki otoritas menyatakan bahwa ganja memang dapat digunakan untuk medis, dirinya terbuka untuk memberikan dukungan.
Sementara itu, Rian Ernest mengatakan, jika ada kelompok yang ingin melegalkan ganja untuk medis, perlu berdiskusi lebih dalam dengan berbagai stakeholder, bukan hanya dengan politisi atau dengan kelompok yang pro legalisasi. Namun yang penting diingat, menurut politisi dari PSI itu, dalam pengambilan kebijakan itu yang penting pakai cost benefit analysis.
“Saya percaya kebijakan itu harus menggunakan cost benefit analysis, bukan berdasarkan feeling, tekanan massa, atau yang pakai barometer moralitas,” ujarnya.
Respon yang agak berbeda diungkapkan para caleg yang berdiskusi di Bandung dalam menanggapi isu legalisasi ganja untuk medis. Bahkan Giring Ganesha dengan lugas menyatakan tidak ingin berkomentar tentang hal itu.
Meski senada dengan Giring, politisi dari Partai Demokrat, Mariska Isabella menguraikan pentingnya informasi yang faktual mengenai ganja.
“Seperti pada soal sex education, perlu juga ada edukasi menyeluruh mengenai ganja ini. Jangan langsung main haramkan,” ucapnya lantang.
Diskusi komunitas bersama caleg di Bandung dan Jakarta ini juga menyoroti tentang polemik yang sering muncul dalam pembahasan seputar HIV-AIDS maupun NAPZA, yaitu yang menyangkut pendekatan kesehatan, moralitas, maupun hukum. Namun seluruh caleg bersepakat bahwa isu kesehatan adalah hal penting yang harus menjadi prioritas dalam program pembangunan di Indonesia.
Rakyat Indonesia akan menjadi saksi, apakah para caleg ini jika terpilih nantinya dapat mewujudkan janji mereka saat berkampanye. Sebagai calon wakil rakyat, mereka harus mengawasi program yang dijalankan pemerintah, termasuk dalam program kesehatan.
Jangan sampai terulang seperti yang terjadi pada Pilkada 2017. Mengutip tulisan Umi Lutfiah, peneliti dari The Indonesian Institute, di level provinsi pada Pilkada 2017 diketahui bahwa dari 20 kandidat hanya 18 kandidat yang mengusung isu kesehatan dalam visi misi mereka. Kandidat yang menyebutkan detail program kesehatan lebih sedikit lagi, hanya 11 kandidat. Ini mengindikasikan tidak semua kandidat paham masalah kesehatan. Banyak kandidat yang memaknai isu kesehatan terbatas pada konsep pelayanan kesehatan.
Umi juga menulis, walaupun UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 telah mewajibkan pemerintah mengalokasikan minimal 10 persen dari total APBD, faktanya tidak semua wilayah melaksanakannya. Pada tahun 2015 misalnya, masih ada 25 provinsi dengan anggaran kesehatan kurang dari 10 persen dari total belanja APBD. Hal ini menunjukkan isu kesehatan belum menjadi primadona pemerintah daerah.
Hiruk-pikuk pesta demokrasi segera usai. Rakyat Indonesia menantikan terlaksananya janji manis para kandidat. Layak kita cermati bersama! *******