close
FeaturedLayanan

Mengurai Fenomena Gunung Es Kasus HIV-AIDS di Indonesia

Tip of the Iceberg
Ilustrasi Gunung Es

Fenomena gunung es (iceberg phenomenon) merujuk pada kondisi penampakan puncak gunung es di atas permukaan air yang sebenarnya merupakan bagian kecil dari bongkahan gunung es di bawah permukaan air yang tidak tampak dan jauh lebih besar.

Di isu HIV-AIDS, fenomena ini akrab karena mewakili kenyataannya sejak tiga dekade lalu, yakni hanya sedikit pengidap yang terdeteksi, sementara ada lebih banyak anggota masyarakat yang belum terdeteksi dan mengetahui dirinya mengidap HIV.

Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemkes RI melaporkan sejak pertama kali terdeteksi di Indonesia pada 1987, kasus HIV-AIDS secara akumulatif hingga Maret 2018 lalu jumlahnya mencapai 291.129 kasus HIV dan 106.965 kasus AIDS. Kasus-kasus tersebut dilaporkan oleh 421 kabupaten dan kota. Itu berarti 82 persen dari total 514 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.

Sementara itu, badan PBB untuk penanggulangan HIV-AIDS (UNAIDS) memperkirakan 620.000 orang mengidap HIV di Indonesia pada 2016. Dari jumlah itu, 13 persen telah mengikuti terapi ARV (anti-retro-viral), yaitu pengobatan untuk menekan perkembangbiakan virus dalam tubuhnya.

Data di atas menunjukkan lebih dari setengah kasus HIV-AIDS di Indonesia belum terdeteksi, yang dianalogikan sebagai bongkahan es di bawah permukaan laut. Sebuah jumlah yang tidak sedikit.

Fenomena ini juga sekaligus menunjukkan selama ini banyak orang yang tidak sadar dirinya telah terinfeksi HIV. Bahkan, sejumlah laporan menyebutkan banyak orang yang baru mengetahui dirinya telah lama terinfeksi HIV saat diperiksa di rumah sakit akibat sakit-sakitan. Mereka terlambat mengetahuinya. Saat sejumlah penyakit menyerang (dikenal sebagai infeksi oportunistik) orang tersebut sudah memasuki fase AIDS di mana pengobatan dan perawatannya harus lebih ketat.

Baca juga:  Memukul Diskriminasi di Muka

Pentingnya Tes HIV Secara Dini

Tes HIV adalah satu-satunya cara untuk memastikan apakah kita terinfeksi HIV atau tidak. Tes HIV lazimnya dilakukan dengan pemeriksaan darah untuk mencari antibodi terhadap HIV . Sampel darah diambil dengan jarum sekali pakai. Jika menunjukkan hasil “reaktif”, ada kemungkinan kita terinfeksi HIV. Namun tes tersebut perlu diulang lagi dengan cara berbeda untuk memastikan akurasinya. Jika hasilnya sama, dapat disebut “positif”.

Ada banyak manfaat apabila tes HIV dilakukan secara dini. Mereka yang tergolong berisiko tinggi tertular HIV sangat dianjurkan melakukan tes. Apabila mengetahui positif HIV, mereka dapat segera mendapat penanganan medis agar tetap sehat. Selain itu, melalui proses konseling yang baik, diharapkan mereka memiliki kesadaran untuk mencegah penularan HIV ke orang lain.

Pemerintah dan para pegiat HIV-AIDS di Indonesia sendiri telah gencar mengampanyekan pentingnya tes HIV secara dini. Ini dilakukan terutama bagi kalangan yang berisiko seperti konsumen narkoba suntik, penjaja seks dan pelanggannya, atau laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki.

Bahkan, melihat fakta tingginya ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV, pemerintah melalui Menteri Kesehatan mengeluarkan Permenkes RI No. 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, yang di antaranya menyatakan bahwa tes dan konseling HIV dianjurkan sebagai bagian dari pemeriksaan laboratorium rutin saat pemeriksaan asuhan atenatal atau menjelang persalinan pada semua ibu hamil yang tinggal di daerah dengan epidemi meluas dan terkonsentrasi, serta ibu hamil dengan keluhan IMS dan tuberculosis di daerah epidemi rendah.

Baca juga:  Aku Dukung Pernyataan Jeff Smith soal Ganja

Kampanye promotif untuk meningkatkan kesadaran orang mengikuti tes HIV perlu terus dilakukan. Bagaimana pun, fenomena gunung es di isu HIV-AIDS di Indonesia dan di sejumlah negara lain masih menjadi tantangan.

Berkaitan dengan itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada akhir 2016 mengeluarkan sebuah rekomendasi, dilakukannya HIV Self-Testing atau Tes HIV Mandiri untuk meningkatkan cakupan tes HIV. Hal ini menjadi bagian dari upaya pencapaian target 90-90-90 yang dicanangkan PBB.

Target pertama PBB itu adalah, pada tahun 2020 sebanyak 90 persen orang dengan HIV mengetahui statusnya, 90 persen orang dengan HIV mendapat pengobatan, dan 90 persen orang yang mendapat pengobatan itu mengalami penuruan jumlah virus dalam tubuhnya.

Tes HIV Mandiri diharapkan menjadi cara inovatif untuk mencapai target tersebut. Dikutip dari situs resmi WHO, Tes HIV Mandiri dilakukan oleh individu dengan menggunakan cairan oral atau tetesan darah dari jari tangan untuk mengetahui status infeksi HIV secara pribadi, dalam keadaan nyaman, sendirian atau ditemani orang yang dipercaya. Hasilnya akan diperoleh dalam 20 menit atau kurang. Namun demikian, bagi yang hasil tesnya positif, sangat disarankan untuk melakukan tes konfirmasi pada klinik kesehatan untuk mendapatkan diagnosis yang definitif.

WHO juga mencatat ada 23 negara telah menerapkan kebijakan Tes HIV Mandiri ini dan sejumlah negara lainnya masih dalam tahap pengembangan. Sejauh yang penulis ketahui, Indonesia sendiri tampaknya masih melakukan sejumlah kajian mendalam mengenai hal ini. Cukup beralasan mengingat sebuah kebijakan perlu mempertimbangkan berbagai faktor, mulai dari efektivitas hingga dampak yang mungkin timbul saat kebijakan itu telah diterapkan.

Baca juga:  Pemaksaan Tes Urine Narkoba Pengunjuk Rasa Salahi Prosedur dan Tebalkan Stigma

Di sisi lain, sejumlah fakta mengemuka dengan adanya alat tes HIV yang dijual secara “bebas” melalui internet atau farmasi swasta. Dengan mesin pencari di internet, akan mudah kita temui sejumlah toko online menawarkan alat tes HIV ini. Sangat mungkin penjualan informal dan tidak teregulasi semacam ini dapat melibatkan penggunaan produk yang tidak diketahui kualitas, keamanan, dan cara kerjanya.

Namun demikian, sekali lagi, kita masih berhadapan dengan banyaknya kasus HIV-AIDS yang belum terdeteksi. Rekomendasi dari WHO untuk meningkatkan cakupan tes HIV perlu menjadi pertimbangan penting dalam mengurai fenomena gunung es tersebut. Pemerintah perlu segera mengambil langkah untuk menyikapi fenomena ini.

Tri Irwanda

The author Tri Irwanda

Praktisi komunikasi. Mulai menekuni isu HIV dan AIDS ketika bekerja di KPA Provinsi Jawa Barat. Punya kebiasaan mendengarkan lagu The Who, “Baba O’Riley”, saat memulai hari dengan secangkir kopi.

1 Comment

  1. HIV/AIDS adalah salah satu penyakit mematikan yang langsung menyerang sistem imun penderita. Sehingga, siapa saja yang terinfeksi, pasti akan membutuhkan perawatan intensif. Oleh karena itu, mahasiswa Universitas Airlangga, membuat aplikasi yang dapat membantu perawatan paliatif penderita HIV/AIDS. Untuk lebih jelasnya, kunjungi link berikut:
    http://news.unair.ac.id/en/2020/01/10/unair-students-create-application-to-help-palliative-treatment-of-hiv-aids-patients/

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.