close
FeaturedKebijakan

Menteri Kesehatan yang Bukan Dokter dan Layanan Kesehatan ala Pancasila

Lisa Benson cartoon
Ilustrasi: The Columbian

Jokowi mengangkat Budi Gunadi Sadikin (BGS) yang bukan dokter sebagai Menteri Kesehatan RI. Ini merupakan kali pertama sejak Indonesia merdeka menteri kesehatan tidak dijabat oleh seorang dokter dengan latar pendidikan medis.

BGS menggantikan Terawan Agus Putranto yang terkenal akan metode “cuci otak” untuk perawatan strok. Sebelum ditunjuk jadi menteri, Terawan merupakan Kepala RSPAD Gatot Subroto dengan pangkat mayor jenderal.

Sebagai informasi, BGS adalah sarjana nuklir jebolan ITB pada 1988. Ia menjadi tokoh dalam proses merebut 51 persen saham PT Freeport Indonesia saat menjabat Dirut PT Indonesia Asahan Aluminium atau Inalum pada 2017.

Sebelum jabatan terakhirnya sebagai Wakil Menteri BUMN yang dilantik Oktober 2019, BGS malang melintang di dunia perbankan. Setidaknya sederet jabatan strategis ia lakoni di Bank Bali, ABN Amro Bank Indonesia, dan Bank Mandiri.

Sebagai menteri kesehatan pertama yang bukan dokter, tentu kontroversial. Kalian tahulah jagat maya adalah ruang bebas berpendapat bagi warganet. Ada pendapat miring soal pelantikan BGS sebagai menteri kesehatan, tapi ada juga yang membelanya.

Dekan FK UI, Ari Fahrial Syam menyambut baik terpilihnya BGS. Menurutnya, latar belakangnya bukan dokter, tapi juga punya rekam jejak yang baik di dunia fisika dan MIPA sebagai cabang dunia kedokteran juga. “Kalau memang Pak Presiden ingin fokusnya memperbaiki manajemen tentu kami dukung. Ada sistem kesehatan nasional yang harus diperbaiki,” tegasnya sebagaimana dikutip dari Jawapos.com (22/12).

Mendiang Kartono Muhammad, mantan ketua IDI, pernah menyatakan, menteri kesehatan tidak harus dokter. Yang penting, tambahnya, punya visi untuk membuat rakyat sehat. “Jangan terpaku mentang-mentang Kementerian Kesehatan, isinya harus dokter semua,” ujar Kartono saat itu.

Selain itu, sejumlah media membela pelantikan BGS melalui perbandingan dengan menkes negara-negara lain. Misalnya, Menteri Kesehatan Singapura, Gan Kim Yong, merupakan lulusan teknik mesin. Ada juga Menkes Selandia Baru, Andrew James Little yang berlatar pendidikan hukum dan kebijakan publik. Atau Menkes Denmark, Magnus Heunicke yang punya latar belakang seorang jurnalis. Intinya, ada banyak negara yang menteri kesehatannya bukan dokter.

Baca juga:  Malik Sfeir, Muslim Arab Saudi yang Aktif Perjuangkan Pengobatan Ganja

Saya tidak kenal dengan Budi Gunadi Sadikin. Malah semula saya kira, dia ada hubungan darah dengan dr. Hasan Sadikin yang namanya diabadikan untuk RS pendidikan di Bandung, Jawa Barat.

Ada dua hal yang ingin saya utarakan dalam tulisan ini. Pertama, pelantikan BGS sebagai Menkes RI saya harap bisa mendekonstruksi sistem kesehatan yang selama ini diterapkan Indonesia. Walaupun berpendidikan dokter, menteri-menteri terdahulu selalu gagal mengejewantahkan mandat UUD 1945 bahwa pelayanan kesehatan adalah hak manusia Indonesia.

Kegagalan ejawantah tersebut menghasilkan rezim komersialisasi kesehatan.

Ini belum merujuk pada UU Kesehatan yang menjamin hak setiap orang atas layanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.

Walaupun berpendidikan dokter dan disumpah untuk menjalankan etika profesinya, banyak di antara mereka yang “nyebur” ke praktik komersialisasi tadi. Mereka bekerja erat dengan distributor perusahaan farmasi untuk mendapat bonus, mengelola jaringan rumah sakit swasta multinasional yang terkenal mahal, bahkan sebagian lebih menomorsatukan pasien pemilik asuransi kesehatan swasta ketimbang orang-orang yang bahkan tidak mampu bayar BPJS Kesehatan Kelas III.

Kita bisa lihat sendiri antrean pasien yang memanfaatkan BPJS. Mereka adalah warga kelas dua. Karena asuransi kesehatannya BPJS, maka harus antre berjam-jam untuk mendapat layanan kesehatan. Beda dengan mereka yang punya asuransi kesehatan swasta.

Yang kedua walaupun menkes yang sekarang adalah seorang manajer bank, saya tidak putus asa kalau negeri bernama Indonesia ini bisa membebaskan diri dari komersialisasi kesehatan. Sesungguhnya ini adalah kesepakatan bersama kita sebagai sebuah bangsa yang sudah tertuang dalam konstitusi dan perwujudannya adalah keniscayaan.

Baca juga:  Menguasai Narkotika di Indonesia

Berikut saya kutip dari Revolutionary Doctors karya Steve Brouwer yang terbit 2011:

Pada 1958, sebelum revolusi, terdapat lebih dari 6.000 dokter di Kuba, atau satu untuk setiap 1.051 orang, rasio yang agak lebih tinggi daripada kebanyakan negara Amerika Latin lainnya. Rasio ini memburuk dengan cepat, karena banyak dokter memutuskan mereka tidak ingin mempraktikkan kedokteran dalam masyarakat revolusioner dan meninggalkan Kuba untuk mencari peruntungan di tempat lain.

Pada pertengahan 1960-an, hanya setengah, 3.000, yang tersisa, dan proses membangun kembali barisan mereka lambat sekali. Ketika Fakultas Kedokteran Universitas Havana dibuka kembali pada 1959 (diktator Batista menutup universitas tersebut pada 1956), hanya dua puluh tiga dari 161 profesor kedokterannya yang kembali untuk mengajar.  

Terlepas dari kekurangan ini, pemerintah revolusioner bersikeras menyediakan perawatan kesehatan untuk semua orang Kuba secepat mungkin. Itu menyerap semua program asuransi swasta, layanan perawatan kesehatan, dan rumah sakit ke dalam sistem publik nasional. Harga obat-obatan diturunkan dan perusahaan farmasi dengan cepat dinasionalisasi. Biaya pengobatan secara bertahap dikurangi dan akhirnya dihapuskan. Upaya untuk memobilisasi perawatan bagi seluruh penduduk menyebabkan keributan yang cukup besar di Fakultas Kedokteran Universitas Havana pada 1959.

Banyak lulusan dokter yang ingin tinggal di kota dan berlatih untuk praktik tradisional, tetapi sebagian besar memutuskan untuk menjadi sukarelawan pergi ke daerah pedesaan Kuba di mana warganya tidak pernah menerima perawatan medis.

Baca juga:  Hasil Uji Tanding Timnas HWC 2017 Memuaskan

Kementerian Kesehatan Masyarakat Kuba menindaklanjuti dengan menciptakan 318 posisi baru bagi lulusan dokter di dinas kesehatan pedesaan, kebanyakan di daerah pegunungan terpencil seperti Sierra Maestra. Upaya ini menjadi teladan bagi semua dokter baru di masa depan, sehingga pada akhir 1960-an semua lulusan dituntut untuk bekerja dalam sistem kesehatan masyarakat yang memberikan layanan gratis bagi semua.

Pada 1970-an, puskesmas-puskesmas didirikan dan menjadi lembaga inti untuk memberikan pelayanan masyarakat yang komprehensif dengan menitikberatkan pada pelayanan primer secara efisien kepada seluruh penduduk. Agar dokter, perawat, dan profesional lainnya lebih sadar akan kewajiban mereka untuk menciptakan komunitas yang sehat, pengawasan semua pendidikan kedokteran dialihkan dari Kementerian Pendidikan ke Kementerian Kesehatan Masyarakat Kuba pada 1976.

Budi Gunadi Sadikin bisa belajar dari pengalaman Kuba dalam merevolusi sistem kesehatannya. Indonesia punya infrastruktur kesehatan bernama puskesmas yang tersebar di tiap kabupaten dan kota. Dari sekian warisan Orde Baru, hanya puskesmas yang saat ini masih eksis. Pasar inpres, SD inpres, semua sudah bubar. Selain itu, negeri ini juga punya badan-badan usaha milik negara di bidang kesehatan yang sudah tidak perlu lagi dinasionalisasi seperti yang dilakukan oleh Fidel Castro kala itu. Asuransi kesehatan nasional pun sudah ada, BPJS Kesehatan.

Dengan segenap aset tersebut, tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama sebagaimana tertulis dalam UU Kesehatan dapat diwujudkan. Begitu pula dengan apa yang dimandatkan bagi kesehatan rakyat dalam kesepakatan kita untuk kemerdekaan bangsa ini, yakni Pancasila dan UUD 1945. Syaratnya hapuskan komersialisasi kesehatan, Pak Menteri!

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.