Kondisi kesehatan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) Indonesia sejak tahun 2000-an telah terbawa ke suatu titik yang memprihatinkan. Ledakan epidemi HIV di kalangan pengguna napza suntik di Indonesia dan kebanyakan negara Asia lainnya turut pula masuk ke dalam rutan dan lapas-lapas karena intensifikasi penegakan hukum kasus-kasus narkoba sejak direvisinya kebijakan napza di tanah air pada tahun 1997. Keprihatinan ini mengundang perhatian berbagai pihak termasuk pemerintah untuk merespon situasi yang telah menyebabkan meningkatnya angka kematian dan kesakitan di dalamnya.
Departemen Hukum dan HAM RI sendiri sebagai sektor yang langsung mengelola sistem pemasyarakatan melalui Ditjen Pemasyarakatan telah merumuskan Strategi Penanggulangan HIV-AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia 2005-2009. Dokumen tersebut kemudian menjadi refleksi akan perlindungan seluruh warga negara, termasuk penghuni lapas dan rutan, akan layanan kesehatan yang dijamin dalam konstitusi negara Republik Indonesia.
Pemerintah sebagai aparatur negara memiliki unit-unit kerja berdasarkan sektor baik di tingkat pusat maupun daerah. Koordinasi lintas sektor dibutuhkan untuk memfungsikan secara efektif seluruh unit kerja pemerintah melalui tugas-tugas pokok dan fungsinya, termasuk produk-produk kebijakannya. Perkembangan situasi di Indonesia, khususnya dalam merespon berbagai permasalahan, turut pula menimbulkan perkembangan sistem pemerintahan termasuk bertambahnya lembaga atau institusi negara yang memiliki tugas khusus terhadap permasalahan spesifik.
Walaupun demikian, layanan publik sebagai wujud dari perlindungan HAM harus tetap menjadi perhatian utama untuk dapat meningkatkan kualitas hidup warga negara Indonesia termasuk penghuni lapas dan rutannya. Ketersediaan dan peningkatan mutu layanan tersebut, selain harus berpihak pada kesejahteraan masyarakat (publik), juga hanya akan terjadi ketika unit-unit kerja pemerintah sebagai yang berkewajiban menyediakan layanan dapat berkoordinasi untuk mencapai cita-cita tersebut.
Tulisan ini berisi tentang pemahaman mengenai alur kerja unit-unit pemerintah terutama tugas dan fungsinya. Terlebih bagaimana pemenuhan hak pelayanan kesehatan ini dilaksanakan sehingga tersedia luas dan berkesinambungan. Dengan demikian kualitas hidup napi dan tahanan dapat meningkat dan angka kematian dan kesakitan di dalam lapas dan rutan menurun.
Instansi Vertikal Bidang Pemasyarakatan
Lapas dan rutan merupakan unit pelaksana teknis (UPT) Departemen Hukum dan HAM RI melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Dalam melaksanakan kegiatannya sesuai dengan kebijakan dan pedoman yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan, UPT mendapatkan dukungan baik berupa bimbingan teknis maupun pendanaan dari APBN (pusat). Penyusunan rencana kegiatan dan anggaran dilakukan UPT sesuai dengan kebutuhan bidang tugasnya masing-masing (bagian-bagian). Bimbingan teknis pemasyarakatan kepada lapas secara fungsional dilakukan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan melalui Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM yang bersangkutan. Secara umum, lapas dan rutan memilki peran utama pelayanan atau pelaksanaan teknis di bidang pemasyarakatan.
Kantor wilayah adalah instansi vertikal Departemen Hukum dan HAM RI berkedudukan di provinsi yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Hukum dan HAM RI. Terdapat Divisi Pemasyarakatan untuk membawahi bidang pemasyarakatan. Divisi ini melaksanakan sebagian tugas kantor wilayah di bidang pemasyarkatan berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pemasyarkatan. Instansi ini juga menyusun rencana kegiatan dan anggaran sesuai dengan tugas dan fungsinya. Peran utama instansi di tingkat kantor wilayah ini adalah supervisi pelaksanaan teknis dan koordinasi di bidang pemasyarakatan.
Departemen Hukum dan HAM merupakan instansi pusat yang menaungi bidang pemasyarakatan. Bidang ini berada di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan yang peran utamanya adalah perumusan kebijakan untuk bidang-bidang kerja di lingkup direktorat jenderal termasuk bimbingan teknis dan evaluasi.
Masing-masing instansi yang telah diuraikan di atas bertanggung jawab dalam menyusun dan melaksanakan rencana kerja masing-masing sesuai dengan peran utamanya serta tugas dan fungsi yang telah ditetapkan kepada instansi yang berada di atasnya (vertikal). Secara hukum, instansi ini merupakan instansi dengan domain ‘pemasyarakatan’ mulai dari perumusan kebijakan, pengawasan, hingga pelaksanaan teknis. Jika menyinggung masalah pelayanan kesehatan, maka domain tersebut berada pada departemen lain dimana saat ini telah didesentralisasi – otonomi daerah.
Desentralisasi Bidang Kesehatan
Secara umun peran instansi-instansi untuk bidang kesehatan tidak jauh berbeda dengan instansi vertikal, yaitu terdapat perumusan kebijakan, pengawasan, dan pelayanan/pelaksanaan teknis. Namun yang menjadi perbedaan adalah tiap tingkatan daerah memiliki kebijakan masing-masing di bidang tersebut, dan untuk pelaksanaan teknis paling banyak dilakukan di tingkat kota/kabupaten. Kebijakan, yang berkonsekuensi pada anggaran, bidang ini mau tidak mau mengikuti kebijakan dan arah pembangunan pemerintah kota/kabupaten secara umum. Upaya penanggulangan penyakit bisa saja tidak seragam antara daerah satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, terdapat perencanaan dan anggaran untuk pemberantasan muntaber di daerah A, namun tidak di daerah B. Namun jika terdapat wabah muntaber di daerah B, maka pemerintah pusat atau provinsi dapat membantu pemerintah kota/kabupaten tersebut.
Memadukan Instansi Vertikal dalam Desentralisasi Kesehatan
Untuk menjawab masalah-masalah kesehatan di lapas dan rutan yang berkedudukan di wilayah suatu kabupaten atau kota, maka pemaduan kedua jenis instansi dan bidang perlu dilakukan. Hal ini bukan hanya untuk perencanaan dan kebijakan, namun juga bimbingan teknis, pengawasan, dan evaluasi pelayanan.
Lapas dan rutan memiliki klinik kesehatan, namun klinik ini tentunya tidak dapat berfungsi sebagaimana layaknya puskesmas atau rumah sakit dengan fasilitas dan anggaran operasionalnya. Karena lapas dan rutan berada di wilayah kabupaten atau kota, dan Kanwil Departemen Hukum dan HAM berada di tingkat provinsi, maka kepala UPT pemasyarakatan diharapkan berperan untuk mengkoordinasikan pelayanan kesehatan dengan pemerintah kota/kabupaten. Lapas dan rutan bersama dinas kesehatan dan jajarannya diharapkan dapat menjalin hubungan kerja sesuai tugas dan fungsinya masing-masing. Dengan demikian, maka anggaran, perencanaan, dan pembinaan teknis upaya-upaya pelayanan kesehatan di lapas dan rutan dapat terlaksana dan berkesinambungan.
Di tingkat kantor wilayah atau provinsi juga diharapkan terjadi perpaduan tersebut. Sesuai dengan peran utamanya, divisi pemasyarakatan kanwil melakukan koordinasi dan bimbingan teknis pelayanan kesehatan melalui kerja sama dengan dinas kesehatan provinsi beserta jajarannya. Dengan kata lain, untuk ‘bidang pemasyarakatan’ tiap-tiap tingkatan instansi bekerja secara vertikal, namun untuk ‘bidang layanan kesehatan’ bekerja secara horizontal. Sehingga apa yang tertulis dalam paragraf penutup Ringkasan Eksekutif Strategi Penanggulangan HIV-AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia 2005-2009, Ditjen Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM RI dan yang menjadi kewajiban negara ini dapat terwujud sebagaimana tertulis di bawah ini:
“Selanjutnya, narapidana/tahanan yang menderita sakit mendapatkan hak pelayanan kesehatan serta dapat mengikuti kegiatan baik di bidang bimbingan hukum maupun bidang pelayanan sosial di lapas/rutan.”