close
atgaaaaroqudei3kuc2rdziifcpufzrsv9pieqf4tlnbciuahbxkjoblkjfqhruum6gmdzr88-7b_v-ypmcedhfve9uwajtu9vc2vnnvd2raygnptz11kkd2agbmrg
Ilustrasi Osama bin Laden dan George W Bush Pasca-Peristiwa 9/11 (Meme: Wordpress Arvind1187)

Setelah kerusuhan di Rutan Mako Brimob Depok, Jawa Barat (8-12 Mei 2018), publik kembali digegerkan serangan bom di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur (13 dan 14 Mei 2018). Sasarannya tiga gereja dan Polrestabes Surabaya. Di Sidoarjo, bom meledak di rumah susun kediaman terduga teroris.

JAD (Jemaah Ansharut Daulah), yang berafiliasi ke ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), dituding sebagai penggerak rangkaian teror menjelang Ramadan tahun ini.

Persidangan terduga pimpinan JAD, Aman Abdurrahman, berlangsung sejak awal April lalu. Ia dituntut hukuman mati empat hari pascaserangan bom di Surabaya dan Sidoarjo. Aman didakwa sebagai otak dari lima aksi teror, di antaranya peledakan bom di Jalan MH Thamrin (2016) dan Terminal Kampung Melayu, Jakarta, serta penyerangan Mapolda Sumatera Utara (2017).

Organisasi sejenis JAD, yang kerap melakukan aksi teror sebagai bentuk perjuangan keagamaan, setidaknya mulai menampakkan diri di Indonesia pada peristiwa Bom Bali (2002). Para pelakunya tergabung dalam organisasi Jemaah Islamiyah (JI) yang berhubungan dengan Al-Qaeda, organisasi pimpinan Osama bin Laden di Afganistan.

Al-Qaeda sendiri dianggap bertanggung jawab atas serangan World Trade Center di New York, AS pada 11 September 2001 (Peristiwa 9/11).

Walaupun JAD-ISIS dan JI-Al-Qaeda berbeda dalam beberapa hal, namun keempatnya sama-sama dicap sebagai organisasi penebar teror. Organisasi seperti itu saling berjejaring dan tersebar di banyak negara. Mereka saling mendukung dalam peningkatan kapasitas anggota maupun pendanaan operasinya.

Perdagangan narkoba disebut-sebut sebagai sumber pendanaan berbagai aksi teror. Karenanya, menggencarkan “perang terhadap narkoba” kerap dianggap sebagai cara jitu menanggulangi terorisme.

Vanda Felbab-Brown, seorang pakar konflik internasional dan kejahatan terorganisasi Amerika, dalam sebuah artikel menyatakan, ISIS, Al-Qaeda, dan Taliban adalah teroris yang memalak bisnis apapun di wilayah kekuasaannya – sangat terlokalisasi. Ia memperkirakan, narkoba hanyalah satu dari pendapatan ISIS “yang lebih kecil”.

Baca juga:  Kratom lebih "nutup" buat putus heroin ketimbang tramadol

Hal senada juga terungkap dalam Laporan Komisi 9/11, “Meskipun merupakan salah satu sumber pendapatan Taliban, perdagangan narkoba bukanlah sumber pendapatan Al-Qaeda, dan tidak terdapat bukti kuat kalau bin Laden terlibat dalam atau mendapat dana dari perdagangan tersebut”.

ISIS sebagai ancaman teror global terbesar saat ini memang tidak tepat disebut sebagai narco-terrorist. Tudingan itu lebih merupakan pengambinghitaman atas kegagalan rezim “perang terhadap narkoba” terutama di Afganistan. Kegagalan tersebut turut didukung oleh perilaku korup aparat setempat, yakni melindungi bandar di negara-negara yang menjadi pemasok dan pasar narkoba.

Fakta-fakta tadi penting untuk dikemukakan sebagai upaya menolak wacana penggabungan “perang terhadap narkoba” dengan “perang terhadap terorisme” yang menguat pascakegagalan invasi AS dan sekutunya di Timur Tengah sehingga melahirkan ISIS. Penggabungan itu berpotensi digunakan secara membabi buta untuk memberantas narkoba. Atas sangkaan, uang untuk membeli narkoba turut membiayai terorisme, konsumen bisa ditindak dengan pasal-pasal dalam UU antiteror yang lebih represif karena bisa melibatkan tentara.

Alih-alih menggabungkan, saya mengusulkan untuk menyudahi saja “perang terhadap narkoba” sebagai upaya menumpas terorisme di seluruh jagat. Pasalnya, pemberantasan narkoba di manapun telah membuat komoditas ini bernilai kelewat tinggi. Keuntungan dari perdagangan narkoba tidak akan cukup untuk membiayai persenjataan kelompok-kelompok militan bila komoditas ini bisa dimanfaatkan masyarakat tanpa melibatkan pasar gelap.

Pelarangan dan pemberantasan sebuah komoditas, termasuk narkoba, menciptakan pasar gelap. Di pasar jenis ini, bahan baku dan harga jual bisa semena-mena ditentukan produsen. Para pelaku bebas menentukan margin keuntungan yang ingin diperoleh. Sialnya, keuntungan dari pasar gelap narkoba ini tidak hanya dimanfaatkan oleh pihak musuh, tapi juga yang ingin menumpas musuh, pemberontak maupun kontrapemberontakan, teroris maupun kontraterorisme.

Baca juga:  Dokter Kena HIV: Biasa Saja

Selain oleh organisasi teror, memproduksi, memasok, dan mengamankan pasar gelap narkoba juga dilakukan oleh organisasi resmi sebuah pemerintahan. Sebut saja CIA yang memasok heroin dari Afganistan ke Amerika untuk mendanai Mujahidin dalam upaya mengusir Uni Soviet dari Afganistan sepanjang 1979-1989 (McCoy, 2003).

Pada awalnya, narkoterorisme dinarasikan oleh Presiden Fernando Belaunde Terry atas serangan teror terhadap satuan polisi antinarkoba di Peru pada 1983. Kala itu, teror berupa intimidasi dan kekerasan ditujukan kepada pemerintah dan masyarakat supaya hukuman bagi gembong narkoba dibatalkan.

Yang dilakukan Pablo Escobar dalam melawan Pemerintah Kolombia merupakan bentuk narkoterorisme yang paling tenar.

Narasi tersebut kemudian berkembang, disematkan pada organisasi-organisasi yang mendapat pendanaan dari perdagangan narkoba untuk operasinya.

Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia (FARC), gerakan gerilya antiimperialisme dan pembaruan agraria di Kolombia sepanjang 1964-2017, adalah salah satu yang digolongkan sebagai narkoterorisme. Selain mendanai gerakannya dari penambangan ilegal, penculikan dan penyanderaan, serta pemalakan para pelaku usaha lokal, kelompok ini memproduksi dan memasok kokain.

“Perang terhadap narkoba” tidak hanya memihak FARC karena membuat nilai ekonomi kokain tinggi sehingga keuntungan penjualannya bisa membiayai gerakan mereka, tapi juga memihak bantuan militer AS untuk turut menumpas komunisme dari bumi Kolombia.

Dilaporkan, sepanjang pelaksanaan program bantuan pendanaan AS untuk “perang terhadap narkoba” di Kolombia (Plan Colombia), jumlah kekerasan justru meningkat signifikan seiring dengan meluasnya pasar kokain. Enam jutaan warga Kolombia menjadi korban kekerasan selama 15 tahun penerapan program ini (2000-2015). Kekerasan yang dilakukan berkisar dari ancaman, pelecehan, pengusiran, hingga pembunuhan warga sipil.

Baca juga:  Hubungan Kelamin dengan Pengidap Klamidia Berisiko Tularkan HIV?

Pola serupa juga terjadi di Afganistan. Pasca-Peristiwa 9/11, AS menginvasi negara tersebut atas nama “perang terhadap terorisme” untuk memburu Osama bin Laden. Invasi ini berhasil menggulingkan Taliban dari kursi pemerintahan karena dianggap melindungi bin Laden.

Pada 2016, lima tahun pascainvasi, luas ladang opium di Afganistan bertambah menjadi lebih dari 200 ribu hektar. Padahal Pemerintahan Taliban telah berhasil mempersempit ladang opium di negaranya dari 82 ribu hektar menjadi 8 ribu hektar pada 2001.

Menurut badan PBB yang memantau Taliban, kelompok ini sekarang malah menghasilkan begitu banyak uang dari perdagangan gelap narkoba sehingga perdamaian di Afganistan dianggap sebagai ancaman bagi bisnis mereka.

Selain mengancam bisnis narkoba kelompok-kelompok teroris (apapun ideologinya), perdamaian juga mengancam keberlangsungan bisnis perang. Terorisme merajalela di tengah kondisi perang berkepanjangan. Bisnis perang pun subur karena keuntungan dari pasokan persenjataan dan penyediaan pasukan militer dalam kontraterorisme. Ketidakstabilan keamanan selama bertahun-tahun di Kolombia dan Afganistan telah menjelaskan gambaran terjalinnya kepentingan-kepentingan tersebut.

Agar tidak dapat digunakan untuk membiayai militer dan terorisme, maka nilai ekonomi narkoba harus diturunkan atau bahkan dinihilkan. Caranya adalah dengan menyudahi upaya pemberantasannya yang dikenal sebagai “perang terhadap narkoba”.

Menyudahi “perang terhadap narkoba” akan melemahkan bisnis perang karena keuntungan dari perdagangan komoditas tersebut tidak akan cukup untuk membiayai berbagai aksi teror yang menyulut pelibatan militer beserta persenjataannya dalam kontraterorisme. Tumpasnya sumber pembiayaan untuk kontestasi kedua kekuatan ini akan mewujudkan perdamaian yang hakiki di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.