Cerebral palsy (CP) alias lumpuh otak adalah gangguan atau kelainan neurologis yang memengaruhi gerak, pembentukan otot, dan koordinasi tubuh seseorang. Kelainan ini bisa berbeda antara satu pasien dengan pasien lainnya atas jenis dan tingkat kerusakan yang dimiliki setiap orang. Karena otak terdiri dari berbagai bagian, maka setidaknya terdapat empat jenis CP dengan gejala yang beragam dan dialami oleh pengidapnya seumur hidup.
Lumpuh otak jenis kejang atau spastik merupakan yang paling umum dialami. Institut Nasional Biomedis dan Kesehatan Masyarakat AS (NIH) menyatakan, dari seluruh diagnosis lumpuh otak, 80 persennya merupakan jenis spastik. Para pengidapnya mengalami refleks berlebihan dan otot yang kaku, terkadang nyeri, dan sebagian besar mengalami kesulitan berjalan tergantung pada tingkat kelenturan organ tubuh mereka.
Selain spastik, terdapat tiga jenis lagi kelumpuhan otak, yakni diskinetik, ataksik, dan kombinasi jenis-jenis lumpuh otak tersebut.
Jenis lumpuh otak diskinetik ditandai dengan tremor dan gemetar, refleks atau gerakan yang tidak dimaksudkan, berbagai ketegangan otot, serta gerakan menggeliat yang lamban. Sementara jenis ataksik ditandai dengan lemahnya koordinasi fisik dan kesulitan menyeimbangkan tubuh.
Secara global, prevalensi lumpuh otak berkisar antara 1,5 hingga 4,0 kasus per 1.000 kelahiran hidup (CDC, 2020). Kasusnya lebih umum terjadi pada laki-laki.
Sayangnya, data resmi mengenai lumpuh otak di republik ini sangat terbatas. Satu-satunya dokumen resmi yang pernah menunjukkan prevalensi lumpuh otak secara nasional hanyalah sebuah grafik batang di sebuah halaman laporan Riset Kesehatan Dasar Republik Indonesia Tahun 2010. Dokumen itu melaporkan pengidap lumpuh otak di Indonesia pada anak usia 24-59 bulan sebesar 0,09 persen.
Kualitas Hidup Pasien
Banyak orang tua khawatir akan harapan hidup anak mereka yang mengidap lumpuh otak. Harapan hidup mengacu pada waktu rata-rata kelangsungan hidup seseorang. Karena merupakan rata-rata, durasi hidup sebagai individu sebenarnya bisa lebih panjang atau lebih singkat dari harapan hidup mereka.
Angka harapan hidup pasien sangat bergantung pada beratnya disabilitas yang dialami.
Sebenarnya lumpuh otak bukanlah kondisi yang mengancam jiwa kecuali jika disertai dengan masalah kesehatan yang serius. Ada sejumlah kondisi kesehatan dan komplikasi yang dapat memengaruhi harapan hidup pasien seperti malnutrisi atau strok akibat kejang.
Kejang-kejang lazim dialami oleh pasien lumpuh otak. Kondisi ini terjadi akibat lonjakan aktivitas listrik di otak secara tiba-tiba. Bagi orang tua, kejang yang dialami pasien memang menjadi momok karena terjadi berulang-ulang dan tidak dapat diprediksi. Hertiana Prasetyowati, akrab dipanggil Ana (54) punya kisah tersendiri soal kejang yang dialami anaknya, Annisa Hilma (18) sejak 2005.
Saat dilahirkan, Nissa merupakan anak perempuan yang “normal” lazimnya anak-anak seusianya, tidak ada cacat fisik maupun yang menunjukkan ia mengalami cacat mental.
Barulah pada Januari 2005, Nissa mengalami kejang hingga orang tua dan tenaga medis yang menanganinya kala itu memutuskan untuk melakukan pemeriksaan EEG (electroencephalography) untuk mengukur aktivitas listrik pada otaknya di Ruang ICU Anak RS dr. Sardjito, Yogyakarta.
Pascakejang parah yang mengharuskannya dirawat di ICU selama nyaris sebulan itu, Nissa dinyatakan tidak akan bisa sembuh seperti sedia kala. Ia didiagnosis mengidap cerebral palsy jenis spastik. Tentu hal ini meninggalkan duka mendalam bagi sang ibu. Terlebih sejak kejadian lima belas tahun lalu itu, Ana kerap menyaksikan tanpa bisa berbuat apa-apa saat Nissa mengalami kejang yang terjadi hampir saban hari.
Kalau sudah kejang, semua kemampuan yang sudah dipelajari melalui terapi dan bimbingan hilang tak berbekas dari ingatan Nissa, sehingga terpaksa harus diulang dari awal. Karena terjadi hampir tiap hari, maka anak dan ibu itu kini memfokuskan diri untuk mengatasi kejang tersebut dibantu seorang dokter spesialis anak di kotanya.
Perawatan Kejang
Sebenarnya siapapun dapat mengalami kejang kapan saja dan pada usia berapa pun, terlepas dari kondisi kesehatannya. Kejang dapat terjadi karena berbagai alasan, antara lain demam pada usia balita, paparan racun, kelainan metabolisme dan elektrolit, strok atau cedera otak. Pasien lumpuh otak lebih mungkin menderita gangguan kejang atau epilepsi dengan kisaran kasus antara 30-50 persen, karena area tertentu di otak mereka telah rusak.
Epilepsi atau ayan adalah kelainan kronis ditandai dengan kejang berulang yang tidak dapat diprediksi. Pada masa kanak-kanak, epilepsi adalah masalah serius. Jika kejang berlangsung lebih dari lima menit, mereka berisiko mengalami kerusakan otak dan masalah kesehatan lainnya. Ini adalah apa yang dialami Nissa saat berusia tiga tahun hingga ia didiagnosis mengalami lumpuh otak jenis kejang.
Kejang merupakan kondisi serius karena dampaknya yang berkisar dari cedera fisik akibat tak sadarkan diri dan terjatuh hingga organ vital tubuhnya terbentur, efek kejang berulang terhadap otak, hingga kematian.
Kemungkinan cedera lebih tinggi saat kejang yang dialami tidak terkendali, durasi kejang yang panjang, di mana terjadinya, dan apakah kejangnya berkembang menjadi keadaan darurat seperti terjadi benturan kepala.
Cerebral palsy tetap merupakan kelainan seumur hidup, dengan gejala mulai dari kejang ringan hingga ketidakmampuan untuk mengontrol anggota tubuh dan kejang parah. Sementara penelitian untuk penyembuhan masih dilakukan, para ilmuwan terus berfokus untuk mengidentifikasi berbagai bentuk pengobatan yang efektif untuk membantu mengendalikan gejalanya, yakni kejang.
Pada 2011, hasil penelitian tentang pengobatan nyeri pada pasien cerebral palsy dipublikasikan National Institute of Health. Sebanyak 83 orang dewasa dengan cerebral palsy berpartisipasi dalam penelitian ini yang mengujicobakan 23 obat berbeda untuk nyeri termasuk ganja.
Tungkai, punggung bagian bawah, dan pinggul dilaporkan sebagai area nyeri yang paling umum. Laporan kajian menyebutkan, perawatan yang dinilai paling meringankan adalah ganja.
Terapi Ganja
Bentuk terparah dari cerebral palsy yakni ketidakmampuan berjalan dan berbicara. Meskipun anggota badan lainnya bisa sangat kaku, otot leher mereka lemah, sehingga sulit bagi mereka untuk mengangkat kepala. Kondisi ini jelas membuat pasien mengalami nyeri parah.
Sejumlah penelitian tentang pemanfaatan ganja medis untuk gejala kejang pada pasien lumpuh otak menunjukkan banyak manfaat terapeutiknya. Salah satu studi yang menunjang temuan ini diterbitkan pada 2014. Kajian tersebut menunjukkan, ganja efektif mengurangi kejang otot yang menyakitkan, kondisi yang dialami sebagian besar pasien lumpuh otak (Syed, et al, 2014).
Minyak ganja atau minyak CBD (cannabidiol), sebuah nama untuk begitu banyak senyawa yang terkandung dalam tanaman ganja, menjadi populer setelah televisi nasional AS memberitakan bocah perempuan yang berhenti mengalami kejang-kejang hampir 50 kali dalam sehari setelah rutin ditetesi minyak ganja secara oral.
Perawatan minyak CBD menjadi begitu sukses sehingga Charlotte, nama bocah itu, akhirnya berhasil disapih dari obat-obat antikejang lainnya yang pernah diresepkan. Dia juga mulai berjalan, berbicara, dan bahkan bersepeda, hal-hal yang sulit dia lakukan sebelumnya.
Walaupun terapi ganja untuk kejang pada anak telah menjadi begitu populer terutama setelah yang dialami Charlotte, kekhawatiran banyak orang tua untuk mulai memanfaatkannya adalah karena efek memabukkan ganja. Belum lagi di banyak negara termasuk Indonesia, ganja digolongkan sebagai tanaman terlarang. Hukuman penjara menanti bagi siapapun yang memanfaatkannya selain untuk keperluan iptek.
Ana dan teman-teman sesama orang tua pasien CP di kotanya kerap mendiskusikan terapi ganja yang di beberapa negara telah resmi digunakan untuk mengatasi kejang pada anak. Bahkan ibunda Nissa ini telah direkomendasikan untuk mengikuti terapi yang belum diperkenankan dilakukan di Indonesia.
Kekhawatiran akan efek memabukkan ganja sudah tidak begitu dipedulikan oleh para orang tua yang anaknya mengidap lumpuh otak di komunitas itu. Menyaksikan anak sendiri mengalami kejang tanpa bisa berbuat apa-apa merupakan siksaan batin tersendiri. Belum lagi saat kejang terjadi, tidak ada orang lain yang berada di dekatnya. Kejadian fatal seperti benturan pada kepala bisa saja menimpanya.
Pengidap lumpuh otak di Indonesia hingga kini hanya bergantung pada obat-obatan yang sudah mendapat izin Badan POM untuk mengatasi kejang. Tapi masalah dengan obat-obatan tersebut adalah ketika anak-anak mengalami kejang berulang kali, dosis obatnya harus ditambah. Persoalannya, tiap obat memiliki ambang batas dosisnya masing-masing. Ini berarti saat batas itu tercapai, pasien harus mengganti dengan pengobatan lain.
Menambah jenis obat serta meningkatkan dosisnya tentu berpengaruh pada kesehatan anak, terutama jika usianya masih sangat belia. Itu karena obat-obatan memiliki sejumlah efek samping yang sangat serius bagi organ tubuh. Belum lagi, obat-obatan tersebut kebanyakan hanya meminimalisasi frekuensi kejang yang terjadi dalam sehari bukan mengendalikan masalahnya, yakni lonjakan aktivitas listrik di otak secara tiba-tiba.
Untuk bisa mengikuti terapi CBD, warga negara Indonesia mau tidak mau harus meninggalkan negeri ini dan tinggal di negara di mana terapi tersebut diizinkan. Salah seorang anggota komunitas tersebut pernah melakukannya di Australia. Hasilnya pun signifikan terutama untuk kejang yang dikhawatirkan oleh banyak orang tua pengidap lumpuh otak.
Sebenarnya kalau mau, para orang tua pengidap cerebral palsy ini bisa saja mengekstrak minyak CBD secara swadaya. Toh ganja sangat mudah ditanam. Mengekstrak minyak CBD pun bisa dilakukan dengan peralatan sederhana alias skala rumahan seperti yang dilakukan kerabat Charlotte di Amerika sana.
Harapan terhadap CBD
Walaupun sudah tidak lagi mempermasalahkan potensi mabuk atau halal-haramnya tanaman ganja, tapi para orang tua pengidap lumpuh otak masih memedulikan hukum pidana yang menyertai pemanfaatan tanaman tersebut di republik ini. Ironisnya, mereka paham betul kalau derita anak-anak mereka saat mengalami kejang akan berakhir bila memanfaatkan minyak ganja yang memiliki properti antiayan dan telah dibuktikan melalui berbagai kajian ilmiah.
Ganja kini telah menjadi harapan bagi lebih dari puluhan ribu pengidap lumpuh otak di Indonesia agar bisa terbebas dari periode kejang yang dapat berakibat fatal. Harapan tersebut diwakili oleh pernyataan Ana, yang putrinya didiagnosis mengidap lumpuh otak lima belas tahun lalu dan telah mengonsumsi semua obat antikejang di Indonesia tanpa hasil yang memadai. Buktinya, hingga kini hampir tiap hari putrinya itu mengalami kejang.
Berkat kemajuan teknologi informasi, berbagai hasil penelitian mengenai lumpuh otak dan minyak CBD bisa segera diketahui oleh seluruh pengguna internet termasuk keluarga pasien CP di Indonesia.
Setidaknya terdapat tiga manfaat ganja bagi pasien lumpuh otak yang telah dilaporkan sejumlah penelitian. Pertama, mengatasi kejang. Minyak CBD dapat secara dramatis mengurangi frekuensi kejang pasien lumpuh otak atas kandungan antiepilepsinya. Hal ini diperkuat beberapa laporan anekdotal dari keluarga yang mengalami kesuksesan dari pengobatan ini.
Kedua, mengurai ketegangan atau kaku. CBD dikenal sebagai pelentur otot, penguat suasana hati, penghambat hormon otak yang memancarkan perasaan negatif, dan dianggap sebagai penambah kadar kimia penghambat ekspresi berlebihan impuls saraf. Oleh karena itu, CBD bermanfaat bagi pasien lumpuh otak spastik yang bermasalah dengan ketegangan otot dan gerakan tubuh mengejang.
Ketiga, meredakan nyeri kronis. Minyak ganja juga dapat membantu pasien lumpuh otak yang menderita nyeri otot dan sendi kronis karena tidak dapat sepenuhnya meregangkan anggota badan. Minyak CBD telah terbukti memiliki khasiat pereda nyeri dengan meningkatkan kadar serotonin, yakni zat kimia tubuh yang bertanggung jawab untuk persepsi nyeri dan meredakan peradangan.
Minyak CBD juga dapat mengatasi masalah seperti insomnia atau gangguan tidur (karena mempromosikan pelepasan melatonin), suasana hati atau depresi, kesulitan berbicara, dan bahkan sembelit.
Pada peringatan Hari Cerebral Palsy Sedunia tahun ini, Rumah Cemara berupaya meningkatkan kesadaran para pembuat kebijakan beserta masyarakat akan berartinya izin penelitian terapi ganja bagi pasien cerebral palsy dan keluarganya. Upaya pemanfaatan tanaman ini bukan merupakan klaim sepihak mereka yang menginginkan supaya ganja bisa dikonsumsi sebebas-bebasnya di Indonesia, tetapi merupakan tindakan kemanusiaan untuk mengakhiri penderitaan puluhan ribu lebih pasien lumpuh otak yang harus mengalami kejang-kejang tanpa kenal waktu.
Pemanfaatan ganja bagi para pengidap lumpuh otak ini sangat mungkin dilakukan melalui skema penelitian atau riset pengobatan menimbang ganja masih terdaftar sebagai narkotika golongan satu yang pemanfaatannya hanya diperkenankan untuk keperluan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai ketentuan dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika).
Sebagai warga negara, para pasien lumpuh otak ini mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 Ayat 2 UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
Kajian-kajian yang telah dimuat di berbagai jurnal kesehatan mengungkapkan bahwa minyak CBD yang diperoleh dari tanaman ganja memiliki tingkat keamanan yang memadai. Badan POM AS (FDA) pun mengizinkan obat yang mengandung 98 persen CBD itu digunakan untuk dua jenis kejang atau ayan pada anak-anak, yakni sindrom Dravet dan Lennox-Gastaut pada Juni 2018.
Dari segi mutu, dalam berbagai uji klinis, pengidap sindrom Lennox-Gastaut yang mengonsumsi Epidiolex®, jenama minyak CBD yang mendapat izin edar FDA pada Juni 2018, mengalami periode kejang yang lebih rendah ketimbang mereka yang tidak mengonsumsinya selama studi 14 minggu. Setengah dari mereka yang mengonsumsi 20 mg/kg Epidiolex tiap harinya, mengalami pengurangan kejang antara 42-44 persen.
Uji klinis lain selama 14 minggu dilakukan untuk mengamati pengidap sindrom Dravet. Dalam kajian ini, mereka yang mengonsumsi Epidiolex mengalami penurunan episode kejang hingga 26 persen daripada mereka yang tidak mengonsumsinya. Dosis Epidiolex yang diberikan pada uji coba ini sebesar 20 mg/kg per hari.
Dari segi keterjangkauan, bahan baku penghasil minyak CBD yakni tanaman ganja jauh lebih tersedia ketimbang bahan baku obat antiepilepsi lainnya seperti berbagai jenis pil benzodiazepine. Sebagaimana diketahui, ganja merupakan jenis tanaman semak yang dapat tumbuh subur di berbagai kondisi tanah. Dengan kemajuan teknologi pertanian, ganja dapat ditanam secara hidroponik, di dalam pot, di dalam maupun di luar ruangan.
Pertaruhan Hak Konstitusional Warga
Selain jaminan hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, pemerintah sebagai representasi negara bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau yang dijamin Pasal 19 UU Kesehatan. Elaborasi pasal tersebut kurang lebih sama dengan penjabaran Pasal 5 Ayat 2 UU tersebut untuk terapi lumpuh otak yang hingga saat ini belum ada perawatan dengan hasil memadai bila menggunakan obat-obatan yang hanya diperkenankan oleh Badan POM RI saat ini.
Sesuai ketentuan pasal tersebut, negara menjamin ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan. Ini berarti pemerintah wajib menyediakan upaya kesehatan melampaui batas-batas perizinan obat yang dikeluarkan badan negara apapun dengan segala kewenangan maupun otoritas yang dimilikinya. Dengan kata lain, jaminan ketersediaan itu tidak terbatas pada satu badan negara saja. Institusi negara yang memiliki mandat untuk penyediaan layanan kesehatan melalui skema penelitian sangat mungkin melakukan hal tersebut atas nama tanggung jawab negara terhadap kesehatan warganya.
Dalam pemenuhan hak konstitusional warga negara, Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945 menyatakan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan. Mengacu pada ayat ini, apa yang dialami Hertiana Prasetyowati dan anaknya, Annisa Hilma sejak 15 tahun lalu sangat jauh dari gambaran hidup sejahtera lahir dan batin. Tentunya hal ini juga berlaku terhadap lebih dari puluhan ribu pengidap cerebral palsy di seantero negeri.
Pengorbanan waktu dan sumber daya yang mereka miliki untuk perawatan lumpuh otak anggota keluarganya tidak membuahkan hasil yang memadai hanya karena negara tidak atau belum pernah mengambil tanggung jawab untuk menyediakan bentuk upaya kesehatan yang efisien seperti memanfaatkan minyak CBD dari tanaman ganja.
Ganja memang dilarang pemanfaatannya melalui UU Narkotika kecuali untuk keperluan iptek. Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah pelarangan tersebut menggugurkan hak konstitusional atas layanan kesehatan serta kesejahteraan lahir dan batin warga negara?
Dalam UU Narkotika, ganja yang terdaftar sebagai narkotika golongan satu dapat dimanfaatkan untuk keperluan iptek. Ketentuan tersebut sesungguhnya selaras dengan apa yang tertuang dalam Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945, bahwa setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Ketentuan dalam UUD 1945 itu, khususnya dalam hal pemanfaatan ganja untuk terapi kejang bagi pasien lumpuh otak merupakan “ujian” konstitusional bagi negara ini. Apakah pemerintah mengambil tanggung jawabnya untuk menunaikan kewajiban penyediaan layanan kesehatan lewat pemanfaatan iptek tersebut, atau dalam hal ini mengabaikan kewajibannya karena pelarangan pemanfaatan ganja merupakan kebijakan populer – berdasarkan asumsi bahwa antinarkoba merupakan sikap mayoritas warga.
Bagi Rumah Cemara, negara wajib melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan kualitas hidup anak-anak pengidap lumpuh otak di Indonesia. Caranya adalah dengan menyediakan terapi CBD bagi para pasien melalui skema penelitian. Sesuai Pasal 8 Ayat 2 UU Narkotika, ganja sebagai bahan baku minyak CBD dapat dimanfaatkan untuk keperluan ini dalam jumlah terbatas.
Melalui penerapan kebijakan tersebut, pemerintah berdaulat menunaikan kewajiban yang dimandatkan Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945 sekaligus terhindar dari pelanggaran UU Narkotika RI dan Konvensi Tunggal Obat-Obatan Narkotika 1961. Sebab meski merupakan senyawa yang terkandung dalam tanaman ganja, CBD (cannabidiol) tidak pernah terdaftar sebagai zat yang diatur baik dalam UU maupun konvensi PBB tentang narkotika.
1 Comment