close
FeaturedKebijakan

Oplosan: Buah Pelarangan Minuman Beralkohol ala Zaman Penjajahan

973130711_Arak
Pembuatan arak di pabrik Goan Soen di Djembatan Senti di Batavia, 1904 (Foto: KITLV)

Korban tewas akibat minuman oplosan bertambah. Di Kabupaten Bandung saja jumlahnya mencapai 44 jiwa dari total 307 orang yang dirawat di tiga rumah sakit. Dinas kesehatan setempat sampai menetapkan kejadian luar biasa pada 6-12 April lalu.

Kasus kematian akibat minuman oplosan terlalu sering terjadi. Penyebabnya adalah keracunan metanol (metil alkohol) yang digunakan produsen untuk menggantikan etanol (etil alkohol) dalam minuman yang dijual dengan berbagai kemasan, mulai dari plastik, botol air mineral, hingga botol bekas minuman beralkohol impor.

Metanol dan etanol adalah dua zat berbeda. Dengan rumus kimia CH3OH, metanol atau spiritus telah ditemukan sejak Zaman Mesir Kuno (3100 SM) untuk proses pengawetan mayat . Awalnya zat ini dihasilkan dari kayu melalui proses kimia tertentu, sehingga dikenal sebagai wood alcohol.

Lantaran banyak tersedia dan murah, metanol dijadikan bahan bakar ketika krisis minyak bumi terjadi pada 1970-an. Sepengetahuan saya, cairan ini  masih digunakan sebagai bahan bakar untuk menambal ban atau memanaskan makanan sepanjang pesta prasmanan.

Sedangkan etanol, C2H5OH, diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan distilasi (penyulingan) atau fermentasi tanpa distilasi. Cairan ini telah dikonsumsi manusia untuk efek psikoaktifnya setidaknya sejak 7000 SM, sehingga dikenal sebagai drinking alcohol.

Atas perbedaan keduanya, tentulah terdapat perbedaan efek antara “minuman beralkohol” yang mengandung etanol dengan “minuman oplosan” yang merupakan campuran metanol dan sejumlah bahan lain saat berada dalam tubuh.

Beragam suku di Indonesia memiliki berbagai jenis minuman lokal beralkohol. Sebut saja sopi di Flores, NTT, tuak di Medan, Sumut dan Lombok, NTB, arak di Bali, ciu di selatan Jateng, Cap Tikus di Minahasa, Sulut, atau ballo di Sulsel. Yang terkandung di dalamnya adalah etanol, bukan sari buah yang dicampur spiritus alias “oplosan”.

Baca juga:  Panduan Keamanan Digital Saat Berunjuk Rasa

Mengutip tulisan Kasijanto Sastrodinomo, tradisi minum minuman beralkohol sudah lama mengakar di masyarakat pribumi Nusantara. Dalam naskah kuno Negarakertagama yang ditulis pada zaman Kerajaan Majapahit (1365), diketahui minuman beralkohol menjadi bagian dari perjamuan agung di keraton seusai panen raya. Keberagaman jenis minuman beralkohol lokal seperti disebutkan di atas turut menegaskan fakta tersebut.

Sampai sini, saya ingin mengajak Anda memahami bahwa persoalan minuman beralkohol di Indonesia terjadi sejak zaman Belanda. Akar persoalannya sama, yakni keserakahan yang mendompleng dukungan ‘kelompok moral’. Jika pada zaman Belanda kepentingan importir dan industri mendompleng gerakan politik etis, kini kepentingan yang sama mendompleng fanatisme agama yang diperhitungkan mewakili suara mayoritas dalam pemilu.

Saya ingin mengulasnya begini: Sebagian pribumi Nusantara telah mengonsumsi minuman beralkohol lokal sebelum Belanda menjajah. Selama masa penjajahan, pengusaha Belanda melihat tradisi minum orang pribumi dan juga orang Belanda yang bermukim di Nusantara sebagai pasar. Pemerintah kolonial melihat ini sebagai sumber pendapatan negara melalui pengenaan pajak konsumsi (cukai).

Kemudian, di awal abad ke-20 kebijakan politik etis mengemuka. Sebuah buku yang menekankan bahwa konsumsi alkohol memiliki lebih banyak mudarat bagi manusia diterbitkan pemerintah kolonial (Het Alcoholkwaad. J Kats, 1920). Kats mengutip salah satu hasil Kongres Sarekat Islam 1915 dan sikap Boedi Oetomo agar orang-orang tidak lagi mengonsumsi minuman beralkohol melalui pelarangan dan pengenaan cukai yang tinggi.

Baca juga:  Pasien tetap Bayar Jutaan Rupiah untuk Obat Generik Hepatitis C

Kutipan-kutipan tadi ditujukan supaya gagasan buku tersebut terkesan mendapat dukungan dari organisasi kemasyarakatan dan elite pribumi sehingga dipatuhi masyarakat.

Pemerintah pun mengakomodasi kepentingan pengusaha maupun kehendak elite pribumi. Komisi Pemberantasan Alkohol (Alcoholbes-Trijdings-Commissie) dibentuk pada 1918. Namun, yang menjadi sasaran utama hanyalah minuman lokal seperti arak dan ciu yang populer di kalangan pribumi.

Kasijanto menulis, minuman-minuman beralkohol lokal tersebut menurut polisi digolongkan sebagai ‘gelap’ alias tidak berizin. Secara tidak resmi, minuman beralkohol lokal diberantas karena dianggap pesaing minuman impor serta arak buatan pabrik milik pengusaha Belanda di bawah bendera industri spiritus di Surabaya kala itu.

Setelah 70 tahun lebih Indonesia merdeka, keadaannya masih sama. Dari sekian banyak minuman beralkohol lokal asli Indonesia, hanya segelintir yang berizin. Di bar dan tempat khusus lainnya, produk impor masih kita dapati mendominasi daftar minuman yang dijual.

Bukan hanya tidak diakomodasi untuk bersaing di pasar dalam negeri, minuman beralkohol lokal kerap ditumpas aparat karena produksinya tidak berizin. Belum lagi, penetapan cukai yang tinggi selalu dipromosikan para pejabat sebagai kebijakan untuk membatasi konsumsi masyarakat akan produk yang dianggap lebih banyak mudaratnya seperti minuman beralkohol dan rokok.

Fakta menunjukkan arah sebaliknya. Pendapatan negara dari cukai minuman beralkohol justru meningkat dari Rp3,58 triliun pada 2011 menjadi Rp5,33 triliun pada 2017 walaupun tarif cukainya dinaikkan rata-rata 11,66% pada 2014 dan penjualan bir di minimarket telah dilarang pada 2015.

Baca juga:  Recommendation for UNGASS on The World Drug Problem 2016: Indonesia

Kebijakan minuman beralkohol zaman sekarang tak ubahnya dengan zaman kolonial, seolah membatasi konsumsi masyarakat sekaligus mengakomodasi importir hingga tega menumpas produk minuman beralkohol lokal karena dianggap pesaing. Akibatnya minuman oplosan marak dikonsumsi karena minuman beralkohol lokal tidak diakomodasi pemerintah, misalnya dengan pemberian izin produksi yang memungkinkan adanya kendali mutu dan harga jual.

Kasus-kasus kematian akibat minuman oplosan baru kita temukan pasca pemberlakukan otonomi daerah di era reformasi. Padahal, hingga dekade 1990-an, kita bisa menemukan minuman berkadar alkohol 20-55% di pasar swalayan tanpa berita korban tewas akibat minuman oplosan. Kini, minuman berkadar alkohol 5% pun hanya ada di hotel berbintang, restoran, bar, dan sejenisnya sesuai peraturan daerah di berbagai kabupaten dan kota di Indonesia.

Bahkan, untuk lebih mendulang suara mayoritas penduduk Muslim, sebuah rancangan undang-undang (RUU) tentang larangan minuman beralkohol resmi diinisiasi DPR RI pada 2014.

Jika diterapkan, RUU itu dampaknya bisa lebih parah dari kebijakan serupa di zaman penjajahan. Karena, mungkin saja tujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh minuman beralkohol tercapai, tapi pemerintah tidak akan bisa melindungi masyarakat yang dapat menjadi korban minuman oplosan.

Mungkinkah saat ini yang sedang mendompleng ‘kelompok moral’ bukan lagi importir dan industri legal, melainkan sindikat minuman oplosan?

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.