Senin lalu saya berbicara di acara bincang-bincang soal narkoba yang digelar Komite Nasional Pemuda Indonesia Kota Bandung. Dalam diskusi, ada sebuah pernyataan yang sebenarnya sudah sering saya dengar sejak buku saya terbit dan mulai didiskusikan pada 2014.
Kira-kira begini pernyataannya, di Amerika atau Portugal tingkat pendidikan masyarakatnya sudah tinggi. Jadi saat konsumsi narkoba dilegalkan, mereka tidak akan menyalahgunakannya. Indonesia beda. Diancam hukuman mati saja masih banyak yang coba-coba sampai ketagihan, apalagi tidak dilarang.
Sebagai pria berdarah Jawa yang lahir dan tumbuh besar di negara kepulauan ini, saya jelas tersinggung! Sedih juga sih, kenapa setelah 74 tahun Indonesia merdeka, ada saja warganya, bahkan para pejabatnya, yang masih bermental bangsa terjajah. Merasa rendah di antara bangsa-bangsa lain.
Sebagaimana kita ketahui, narkoba sudah dikonsumsi umat manusia sejak ribuan tahun lalu. Pemanfaatan opium untuk pengobatan dan rekreasi misalnya, telah dilakukan Bangsa Sumeria di dataran rendah Mesopotamia (sekarang meliputi selatan Irak, Kuwait, dan Iran bagian barat) pada 3400 SM. Risalah mengenai pemanfaatan ganja bisa kita temui di naskah-naskah papirus Bangsa Mesir Kuno yang berasal dari tahun 1550 SM.
Untuk tanaman bernama Latin Cannabis sativa itu, orang-orang Aceh punya kearifannya sendiri dalam memanfaatkannya.
Mengutip Murizal Hamzah dalam “Hikayat ‘Cimeng’ di Negeri Syariat” yang tayang di Sinar Harapan 2 Juli 2008, tanaman ini memang didatangkan Belanda dari India sebagai penghalau hama pohon kopi di Gayo, Aceh pada abad ke-19. Tapi kemudian masyarakat di sana jadi tahu kalau tanaman ganja juga efektif mengendalikan gulma, hama, dan penyakit-penyakit tanaman budi daya utama mereka seperti cabai atau tembakau.
Tak heran bila kemudian seluruh petani di Aceh jadi penanam ganja. Itu berlangsung sebelum Indonesia mengesahkan Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika (1961) pada 1976 yang menitahkan pelarangan dan pemidanaan pemanfaatan ganja kecuali untuk keperluan iptek.
Maksud saya begini, walaupun tentu ada saja warga Aceh yang memanfaatkan ganja untuk pengobatan dan rekreasi di tengah kegunaan utamanya sebagai penghalau hama sehingga para petani menanamnya, pada masa itu tidak semua orang Aceh mengonsumsi ganja.
Sampai sekarang pun, kita tahu tanaman ini tumbuh subur di sana padahal polisi sering banget diliput media membumihanguskan berhektar-hektar ladang ganja di provinsi itu. Tapi toh tidak semua penduduk Aceh yang cukup umur nyimeng. Bahkan ironisnya, sekarang sabu-sabu lebih mudah didapat di sebagian besar wilayah Serambi Mekah itu.
Tak hanya ganja. Sejarawan, James R. Rush dalam Opium to Java: Jawa dalam Cengkeraman Bandar-Bandar Opium Cina, Indonesia Kolonial 1860-1910 (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2000) mengemukakan, terdapat lebih dari seribu rumah candu (opium den) di seantero Pulau Jawa. Opium atau candu diketahui secara luas oleh masyarakat Jawa sebagai penangkal wabah penyakit yang disebabkan sanitasi yang buruk serta pereda lelah setelah seharian bekerja di perkebunan (obat tjape).
Rush melaporkan wawancara yang dilakukan pada 1890, bahwa para pelanggan tetap rumah-rumah candu itu pada mulanya mencoba opium sebagai upaya terakhir mengobati salah satu dari keadaan-keadaan berikut, yakni sakit kepala, demam, dan menggigil termasuk malaria; sakit perut, diare, disentri, dan asma; TBC (batuk berdarah); lemah, letih, lesu, dan gelisah.
Masih menurut Rush, tercatat bahwa rata-rata upah harian pekerja perkebunan kopi swasta di Jawa Timur pada 1888 adalah 37 sen. Di perkebunan yang dikelola pemerintah di Jawa Tengah, upah maksimalnya 10 sen per hari.
Sejumlah pemilik rumah candu desa pada 1880-an melaporkan, jarang terjadi orang mengeluarkan lebih dari 20 sen sehari untuk membeli opium. Pengeluaran harian mereka untuk opium rata-rata 5 sen. Para konsumen opium ini tidak harus merampas harta orang lain demi membeli narkoba.
Sekali lagi, di tengah melimpahnya tempat konsumsi serta terjangkaunya harga candu pada masa itu, tidak semua pemuda Jawa menjadi pecandu.
Jadi jangan mentang-mentang tingkat pendidikan bangsa Indonesia rendah, maka kemudian jadi bodoh dan ugal-ugalan untuk mengonsumsi sebuah narkoba hingga akhirnya ketagihan. Kita punya kearifan dan kebijaksanaan sebagai lawan kata “kebodohan” dalam mencerna informasi dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari termasuk dalam menghadapi adanya sebuah zat psikoaktif di lingkungan kita.
Menurut saya, itu tergantung bagaimana cara otoritas sebuah wilayah (dalam hal ini negara) memandang narkoba. Saya menggambarkan dua cara pandang berbeda pada bagan berikut:
Salah satu dari kedua cara pandang atau perspektif itu diimani oleh sebuah negara beserta kewenangannya untuk membuat kebijakan, menugaskan aparat, serta punya sumber daya penuh untuk menyampaikan informasi mengenai narkoba ke warganya.
Cara Pandang 1 menggambarkan, negara mengakui kalau narkoba merupakan komoditas yang faktanya telah dimanfaatkan umat manusia sejak ribuan tahun lalu baik untuk pengobatan maupun rekreasi. Karena diakui sebagai komoditas yang saat diperjualbelikan dan dikonsumsi bisa saja merugikan warganya, maka negara membuat kebijakan untuk mengendalikan seluruh aspek ekonomi narkoba.
Warga negara pada cara pandang ini dianggap sebagai manusia yang mampu menggunakan akal dan nuraninya dalam mengolah bermacam informasi untuk pilihan yang baik bagi kehidupannya. Di sini, warga negaranya tidak dianggap pada dasarnya bodoh karena dijajah ratusan tahun oleh bangsa lain maupun karena tingkat pendidikan formalnya yang rendah. Manusia diperlakukan sebagai mahluk yang punya kearifan inheren.
Dengan demikian, pesan-pesan informasi yang disampaikan mengenai narkoba adalah yang sebenar-benarnya, yakni komoditas yang tiap jenisnya punya manfaat dan mudaratnya masing-masing. Sebagai tambahan, negara juga menyediakan informasi untuk mencegah dampak merugikan dari konsumsi narkoba, bukan informasi yang hanya sekadar bertujuan untuk menghentikan konsumsinya.
Sementara Cara Pandang 2 menggambarkan, negara menganggap narkoba sebagai setan-biang-kejahatan yang wajib ditumpas. Ini sesuai dengan mukadimah Konvensi Tunggal PBB mengenai Narkotika (1961) yang merupakan kesepakatan internasional pertama untuk melarang pemanfaatan ganja, koka, dan opium sejak PBB dibentuk pasca-Perang Dunia II. Berikut kutipannya:
Recognizing that addiction to narcotic drugs constitutes a serious evil for the individual and is fraught with social and economic danger to mankind,
Dokumen resmi konvensi bisa diunduh di sini.
Memahami bahwa ketagihan obat-obatan narkotika merupakan kejahatan serius bagi individu dan penuh dengan bahaya sosial dan ekonomi bagi umat manusia,
Conscious of their duty to prevent and combat this evil,
Menyadari akan tugas mereka (negara-negara penanda tangan) untuk mencegah dan memerangi kejahatan ini,
Considering that effective measures against abuse of narcotic drugs require co-ordinated and universal action,
Menimbang bahwa langkah-langkah efektif memberantas penyalahgunaan obat-obatan narkotika memerlukan koordinasi dan tindakan universal,
Indonesia meratifikasi konvensi setebal 25 halaman tersebut pada 1976 diikuti penerbitan UU Narkotika pertama republik ini pascakemerdekaan dan kembali masuk sebagai negara anggota PBB (1966).
Sebagai negara yang tunduk pada rezim pemberantasan narkoba internasional, sejak 1976 hingga sekarang pemerintah menerapkan kebijakan yang melarang, memberantas, serta memerangi pemanfaatan semua jenis narkoba yang terdaftar pada rezim tersebut.
Sebagai bukti, masyarakat Indonesia tahu kalau kecubung (Datura metel) bisa dimanfaatkan sebagai obat asma dan sakit gigi serta penghilang kesadaran. Tapi karena PBB tidak mendaftarkannya sebagai narkotika maupun psikotropika, maka dalam UU Narkotika pun tanaman ini tidak terdaftar.
Cara pandang dan kebijakan negara yang dipengaruhi rezim pelarangan narkoba internasional ini berdampak pada cara pandang terhadap warganya. Rakyat dianggap tak mampu menggunakan akal dan nuraninya dalam membuat pilihan saat berhadapan dengan narkoba. Maka yang disampaikan negara kepada warganya adalah informasi yang menakut-nakuti bahkan ancaman hingga hukuman mati agar menjauhi narkoba si biang kejahatan.
Selain cara pandang, tabel berikut menyuguhkan argumentasi berdasarkan data bahwa penduduk negara maju dengan tingkat pendidikan yang tinggi tidak melulu taat pada hukum atau kebijakan narkobanya:
Perhatikan baris kedua tabel di atas. Prevalensi konsumen sabu-sabu atau metamfetamin di AS, 310 kali lebih banyak ketimbang di Portugal. Padahal di Portugal kepemilikan narkoba ini diperbolehkan hingga 1 gram, sementara kepemilikan metamfetamin tanpa resep untuk pengobatan ADHD dan obesitas eksogen di AS ilegal dan diancam pidana penjara.
Pada 2012, 16.000 resep untuk metamfetamin ditebus secara resmi buat pengobatan, tapi 1,2 jutaan warga AS tercatat mengonsumsi narkoba ini di tahun yang sama. Sabu-sabu yang dikonsumsi kebanyakan produksi rumahan oleh kimiawan amatir. Di tahun ini pula polisi narkoba AS (DEA) menyita 3.898 kg metamfetamin ilegal dan 11.210 laboratorium gelapnya.
Beralih ke baris ketiga. Di kelima negara dalam tabel, hanya Portugal yang mendekriminalkan kepemilikan heroin, opioid jalanan terpopuler sampai tahun lalu sebelum digantikan fentanyl, hingga 1 gram. Tapi prevalensi konsumennya hampir dua kali lipat lebih sedikit dibanding di AS yang diklaim sebagai negara maju dengan tingkat pendidikan masyarakatnya yang tinggi. Begitu pula jika dibandingkan dengan Malaysia yang boleh dikatakan tingkat pendidikan masyarakatnya juga tinggi.
Pada baris keempat, kita bisa membandingkan antara Portugal, AS, dan Australia yang kebijakan ganjanya mirip-mirip, yakni dekriminalisasi termasuk untuk tujuan rekreasi. Ketiganya merupakan negara maju dengan tingkat pendidikan masyarakat yang tinggi. Tapi kenapa prevalensi konsumen ganja di AS, 3,60 kali lebih tinggi dibanding Portugal? Australia pun prevalensi konsumen ganjanya dua kali lipat dari Portugal.
AS menjadi negara dengan prevalensi penduduk terbanyak yang ketagihan narkoba disusul Australia sebagaimana tertera pada baris kelima tabel di atas. Jumlah penduduk yang ketagihan narkoba di AS hampir tiga kali lebih banyak, dan di Australia jumlahnya hampir dua kali lebih banyak, dari yang ada di Portugal.
Bahkan di negaranya CR-7 itu, prevalensi penduduk yang ketagihan narkoba tidak jauh berbeda dengan di Malaysia dan Indonesia!
Belum lagi bila memperhatikan baris keenam. Tingkat kematian akibat overdosis narkoba di Portugal bahkan lebih rendah dari Malaysia yang secara umum menerapkan hukum yang sangat represif untuk semua jenis narkoba. Baru Agustus lalu saja pemerintah negeri jiran itu mendiskusikan secara terbuka izin budi daya ganja untuk keperluan pengobatan dan penelitian.
Cara pandang Portugal terhadap narkoba sehingga menerapkan kebijakan dekriminalisasi kepemilikan komoditas ini untuk konsumsi pribadi membuktikan kalau tingkat pendidikan formal di sebuah negara tidak ada hubungannya dengan kearifan masyarakatnya untuk memilih tidak atau mengonsumsi narkoba!
Kebijakan dekriminalisasi kepemilikan berbagai jenis narkoba untuk konsumsi pribadi di Portugal sejak 2001 memberikan dunia pelajaran bahwa cara pandang mengakui-narkoba-sebagai-komoditas alih-alih setan telah membuat warganya arif dan bijaksana dalam memutuskan konsumsi narkoba. Cara pandang itu pula yang membuat pemerintah Portugal menyediakan layanan kesehatan bagi konsumen narkoba yang lebih beragam.
Layanan yang disediakan Portugal mulai dari pemberian informasi narkoba berdasarkan fakta dan cara mengurangi dampak merugikan dari konsumsinya, klinik-klinik substitusi narkoba, hingga tidak melakukan intervensi apapun terhadap konsumsi narkoba yang berdasarkan bukti-bukti ilmiah potensi ketergantungan serta tingkat bahayanya relatif rendah seperti ganja.
Jadi pernyataan kalau kebijakan seperti di Portugal tidak mungkin bisa diterapkan di tanah air karena tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, menurut saya hanya alasan atas kemalasan para pembuat kebijakan saja untuk tidak mengubah cara pandang yang niscaya akan mengubah kebijakan dan informasi tentang narkoba yang lebih menyejahterakan rakyat.
Atau boleh jadi, kemalasan mengubah cara pandang serta kebijakan dikarenakan para penyelenggara negara kita saat ini banyak mendapat rezeki dari pemidanaan kepemilikan dan pemanfaatan ganja serta narkoba lainnya yang sudah 48 tahun statusnya terlarang (1971-2019).
Kalau negara sungguh berniat meruntuhkan pasar gelap narkoba, kebijakan seperti di Portugal layak untuk diimplementasikan. Kecuali para pemimpin negeri ini memang propasar gelap, sehingga “perang terhadap narkoba” perlu diteruskan dengan anggaran yang terus diperbanyak terlepas dari fakta bahwa belum pernah ada negara di dunia ini yang memenangkan perang yang digelorakan Presiden AS, Richard Nixon hampir setengah abad lalu itu!