close
nalaoxone
Kit Nalokson yang sejak Maret 2019 lalu tersedia di 29 puskesmas kota London, Inggris (Foto: @SW_PublicHealth/Twitter)

Bubuk putih yang marak disuntikkan sejak 1990-an di kota-kota besar Indonesia lazim disebut “putau”. Ia berasal dari kata “putih”, warna bubuk zat itu. Kandungannya heroin (diacetylmorphine) dan tentu saja bahan campuran lain yang larut dalam air.

Laporan Strategi Pengendalian Narkotika yang diterbitkan Department of State Amerika Serikat pada 2001 mengungkapkan, putau didatangkan ke Indonesia dari wilayah Segitiga Emas (Thailand, Myanmar, dan Laos). Namun hingga 2017, putau di Indonesia berwarna kecokelatan. Konon, jenis ini didatangkan dari Afganistan. Maklumlah sejak 2001 hingga kini, Afganistan merupakan negara penghasil opium ilegal terbesar di dunia.

Getah dari kuncup bunga opium popi (tanaman Papaver somniferum) mengandung alkaloid di antaranya kodein dan morfin. Nama opioid sekaligus mengategorikan zat-zat turunan getah tanaman ini. Sehingga, jenis obat-obatan yang bekerja pada reseptor opioid di otak untuk menghasilkan khasiat seperti-morfin dinamakan opioid, termasuk yang sintetis.

Dalam dunia medis, kodein dipakai untuk meredakan nyeri tingkat sedang, batuk, dan diare. Sementara morfin digunakan sebagai pereda nyeri tingkat sedang hingga parah, biasanya pasien kanker serta untuk pembiusan prabedah.

Sebagai pereda nyeri yang ampuh, opioid sintetis banyak dibuat karena tidak perlu mengandalkan budi daya tanaman opium. Fentanyl adalah salah satunya. Yang berbentuk koyok bagi pasien kanker masuk dalam Daftar Obat-obatan Esensial WHO, yakni daftar obat-obatan paling aman dan efektif dalam sistem kesehatan.

Tercatat, fentanyl merupakan opioid sintetis yang paling banyak digunakan dalam dunia medis pada 2017. Di AS saja, ada lebih dari dua juta resep dokter untuk menebus fentanyl sepanjang 2016.

Baca juga:  Opium dan Umat Manusia

Selain fentanyl, metadon dan tramadol adalah opioid sintetis yang konsumsinya cukup dikenal di Indonesia. Metadon diresepkan untuk terapi substitusi ketergantungan heroin. Sementara tramadol untuk meredakan nyeri.

Selain untuk anestesi, fentanyl juga diresepkan untuk perawatan paliatif pasien kanker di Indonesia. Saya tahu karena pada pertengahan 2018, orang tua sejawat saya di Bandung diresepkan fentanyl buatan Johnson & Johnson sebelum akhirnya meninggal karena kanker.

Keberadaan putau di Indonesia sempat menghilang sepanjang 2017-2018. Kini, bubuk itu beredar lagi di Bandung. Pertengahan hingga akhir 2018, sempat saya temui bubuk putih yang saya duga kuat itu fentanyl di pasar gelap. Khasiatnya sama seperti putau yang pernah saya konsumsi, tapi aroma atau wanginya berbeda saat disuntikkan. Efeknya sangat kuat. Sedikit saja sudah terasa “badai”. Terlebih buat yang sudah lama tidak pakau.

Putau yang beredar sekarang warnanya kecokelatan. Banyak laporan menyebutkan, itu merupakan campuran fentanyl dan heroin serta berbagai zat yang dapat larut di air. Maklumlah, buatan pasar gelap. Mereka memproduksi dengan bahan baku murahan supaya bisa dapat untung setinggi-tingginya.

Bila kelebihan dosis putau yang sekarang ini, dibutuhkan lebih dari satu ampul nalokson untuk menyelamatkan nyawa. Nalokson adalah obat penawar opioid. Idealnya, obat ini tersedia di tiap instalasi gawat darurat rumah sakit. Tapi kenyataannya, terlebih di Indonesia, tidak demikian. Belum lagi adanya pemidanaan konsumen narkoba yang membuat takut mereka untuk membawa temannya yang overdosis putau ke rumah sakit.

Baca juga:  Aruna dan Wabahnya

Berikut ini saya akan memberikan kiat atau tips supaya konsumsi putau (apapun isinya) tidak membuat overdosis yang sering berujung kematian.

Pertama. Pastikan bubuk (dan mungkin sejumlah butiran) putau yang kamu dapat dari pasar gelap, benar-benar mengandung opioid. Caranya adalah dengan membakar sedikit bubuk itu di atas kertas timah atau aluminium. Bila benar mengandung opioid, bubuk atau butiran yang digarang di atas kertas aluminium akan berubah menjadi minyak dan mengeluarkan asap. Asap ini kalau diisap rasanya pahit.

Konsekuensi membeli narkoba di pasar gelap adalah kita tidak bisa memastikan zat yang dijual itu benar-benar opioid atau hanya campuran zat yang bisa larut di air yang bisa jadi sangat beracun.

Seorang sejawat saya baru-baru ini meninggal saat menyuntikkan entah bubuk apa yang dia beli sebagai putau di sebuah wilayah Jakarta Utara. Saksi mata mengatakan, tidak ada gejala overdosis opioid saat ia menyuntik hingga tewas.

Menurut saksi mata, almarhum meninggal dengan meremas kacamata yang digenggamnya saat menyuntik. Wajahnya tampak seperti kesakitan, meringis sejadi-jadinya dan mengerang kesakitan. Ini berbeda dengan gejala overdosis opioid yang dikenal secara umum.

Laman situs WHO menjelaskan gejala kelebihan dosis opioid. Mereka menyebutnya sebagai “tiga serangkai overdosis opioid”, yakni pupil mata yang mengecil, hilangnya kesadaran atau pingsan, dan tertekannya pernapasan yang lazim ditandai dengan ngorok atau mendengkur.

Baca juga:  Dilbert: You Must Work for The UN

Jelas yang disuntikkan sejawat saya itu bukan putau!

Kedua. Larutkan putau sesuai dosismu. Kalau kamu sudah lama tidak pakau entah karena keinginan sendiri atau karena masa pengucilan di panti rehab, rumah sakit, atau penjara, dosismu tentu sudah jauh berkurang. Ini terjadi karena toleransi tubuhmu terhadap zat itu jauh menurun. Larutkan putau seperempat atau setengah dari dosis terakhirmu yang mungkin sudah mingguan, bulanan, bahkan tahunan lalu.

Saring putau yang sudah larut dengan kapas saat menyedotnya ke dalam tabung suntikan. Di saat darurat, kamu bisa menggunakan filter rokok yang telah dipadatkan dengan cara meremas-remasnya sebelum digunakan untuk menyaring. Penyaringan dibutuhkan supaya partikel yang tidak larut di air tidak turut masuk ke dalam darahmu saat disuntikkan.

Partikel-partikel yang tidak larut itu memang sengaja ditambahkan produsen gelap agar barangnya berat dan terlihat banyak.

Ketiga. Pompa masuk kembali ke tubuhmu seperempat darah yang sebelumnya ditarik agar bercampur dengan putau dalam tabung suntikan yang kamu inginkan lewat pembuluh darah. Tunggu lima hingga sembilan detik untuk mengetahui reaksi zat itu pada tubuhmu. Bila sudah cukup atau bahkan membuatmu sengsara, segera cabut suntikan dari uratmu. Lebih baik membuang narkoba yang sudah bercampur darah daripada kehilangan nyawa!

Bila efeknya masih dirasa kurang, dorong lagi darah yang tersisa di tabung suntikan secara bertahap seperti pada langkah sebelumnya.

Semoga tulisan ini membantumu untuk bisa tetap hidup dan menikmati apa yang kamu harapkan dari konsumsi putau. Sebelum adanya klinik peresepan putau atau heroin di tanah air, hanya ini yang bisa kita lakukan. Tapi yang penting buat saya adalah tetap berjuang supaya negara menyediakan layanan kesehatan bagi konsumen narkoba yang lebih beragam dari sekadar terapi rumatan metadon!

Tags : fentanylheroinmorfinmorphinenaloksonnaloxoneoverdosisputau
Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.