close
Methadone
Ilustrasi penyerahan dosis metadon di loket klinik PTRM (Foto: CU Anschutz Today)

Badan Narkotika Nasional (BNN) melansir angka prevalensi penyalah guna narkoba mencapai 3,3 juta orang atau 1,77 persen dari total penduduk Indonesia usia 10-59 tahun pada Peringatan Hari Anti-Narkoba Nasional 2018.

Pemerintah mengalokasikan anggaran triliunan rupiah untuk BNN namun pemberantasan narkoba tampak masih jauh panggang dari api. Apakah kita masih mau memilih contoh dan logika kebijakan yang terbukti gagal?

***

Yosi Ani Safitri rutin mendatangi Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung setiap Selasa dan Jumat. Perempuan berusia 42 tahun ini menjalani ritual tersebut sejak RSHS membuka Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) pada tahun 2006 silam.

Dokter dan perawat di Klinik PTRM RSHS sudah mengenalnya. “Ini namanya Mama Meta, Mas,” kata petugas yang bertanggung jawab meramu metadon bagi klien klinik tersebut.

Sekali datang, Yosi bisa mengambil setidaknya 25 paket metadon THD (take home dose). Setiap paket terdiri dari tiga botol. “Kebanyakan dari mereka bekerja jadi tidak bisa hadir langsung. Tapi ada ketentuan klien juga harus datang sebulan minimal sekali buat konsultasi dengan dokter,” imbuh Yosi yang tercatat sebagai pendamping metadon di Yayasan Grapiks—organisasi nirlaba yang melakukan pencegahan HIV-AIDS pada komunitas pengguna narkoba suntik serta lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki di Bandung.

Metadon adalah opiat buatan yang termasuk dalam golongan II narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang berkhasiat pengobatan. Produksinya berbentuk cairan, tablet, dan bubuk. Namun yang ada di Indonesia berbentuk cairan yang diminum.

Dosis metadon THD yang Yosi ambil berbeda-beda takarannya. Dokter yang menentukan dosis setiap botolnya setelah melakukan pemeriksaan dan konsultasi dengan klien. Sifat metadon yang lebih stabil dari heroin membantu peminumnya bertahan lebih lama dengan sensasi penurunan kesadaran yang minim. Efeknya bisa bertahan antara 22-32 jam.

“Setiap paket sudah dicampur sirop biar ga pait kata anak-anak,” ungkap Yosi merujuk pada klien yang didampinginya.

Baca juga:  Harapan untuk Polisi Kita

Fasilitas kesehatan yang menggelar PTRM idealnya mempertahankan pasien selama mungkin saat menjalani terapi ini. Penurunan dosis dilakukan bertahap dan bila memungkinan, berhenti. Klien atau konsumennya adalah pecandu narkoba suntik kelas berat yang sadar dampak buruk dari kebiasaan menyuntik. Salah satu dampak buruk penggunaan jarum suntik tidak steril secara bergantian oleh pecandu adalah penularan HIV-AIDS.

Adi Marcel, 44 tahun sudah menjalani terapi ini sejak 2006 silam. Awalnya dia mendapat jatah metadon 125 miligram sebagai pengganti pemakaian putaw. Sekarang jatah metadon Adi hanya 25 miligram setiap harinya. “Maunya bisa cepat berhenti,” kata Adi yang harus membayar Rp15 ribu untuk setiap dosis metadon di PTRM RSHS Bandung.

Menurut Adi, PTRM itu membuat hidupnya lebih baik. Dia bisa bekerja dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Empat tahun belakangan, Adi aktif sebagai konselor di Yayasan Grapiks. “Tidak parno (paranoid) sama polisi juga karena legal (untuk konsumsi metadon). Jadi banyak hal positif,” kata Adi lagi.

Jika tidak konsumsi metadon sehari saja, tubuh bakal bereaksi. Demam, tubuh menggigil, tulang seperti ditusuk-tusuk, diare, hingga mual hanyalah sebagian gejala dari mereka yang ketagihan heroin. Karena heroin dan metadon sama-sama opioid, maka gejala putus zatnya pun serupa.

“Kalau sudah begitu yang kepikiran hanya bagaimana bisa dapat barang (baca: putaw). Yang dipikir setiap hari mabok, bagaimana dapat uang biar bisa mabok lagi. Capek hidup di lingkaran seperti itu. Berhentinya, ya nahan badan aja,” ujar Jimmy, 38 tahun yang memilih berhenti dari heroin dengan risiko kesakitan pada tubuhnya selama kurang lebih dua pekan sejak 28 Agustus 2005 silam.

Bandingkan dengan metadon yang tersedia dan bisa diakses di layanan kesehatan. Bahan bakunya terjamin, ada kepastian harga, dan klien bisa mengisi waktunya dengan hal-hal yang berkualitas, alih-alih memikirkan cara mendapatkan opioid di jalanan.

Sejak dibuka pertama kali, Klinik PTRM RSHS mencatat setidaknya ada 493 klien terdaftar. Rumah sakit rujukan tingkat Provinsi Jawa Barat ini mengampu 15 klinik layanan PTRM yang tersebar di seluruh Jawa Barat. “Rata-rata kunjungan pasien per hari sekitar 54 orang. Kami menyebutnya klien,” ujar Ketua Tim PTRM RSHS Bandung, Lucky Saputra saat ditemui awal Oktober 2018 lalu.

Baca juga:  Tes HIV

Setiap klien, ungkap Lucky, mendapatkan kontrol dari dokter kesehatan jiwa setiap bulannya. Makanya ada kewajiban klien metadon untuk sebulan sekali hadir ke klinik.

“Kalau yang sudah bagus (kondisinya) kita turunkan dosisnya sampai akhirnya tidak menggunakan. Ada juga yang meningkat karena HIV-AIDS. Karena sekitar 80 persen yang terdaftar itu positif HIV. Ada juga yang meninggal karena over dosis tapi karena menggunakan obat lain (di luar klinik),” tegas Lucky yang sehari-hari berpraktik sebagai dokter spesialis kejiwaan ini.

Apakah program ini memungkinan adanya pengguna baru heroin?

Lucky menyanggahnya. Setiap klien harus lolos penilaian awal yang disebut addiction severity index. Penilaian ini mencakup ketergantungan heroin dari klien yang bersangkutan, kegagalan klien saat memutuskan ketergantungan heroin dalam jangka 12 bulan terakhir, hingga klien harus dapat dukungan keluarga sebagai pendamping yang biasanya diserahkan ke lembaga swadaya masyarakat.

“Pasien-pasien kita adalah (pengguna narkoba suntik) yang hardcore. Kalau baru nyuntik sekali ke sini tidak bisa masuk,” kata Lucky membuat ilustrasi ketatnya pengawasan untuk mengakses metadon.

PTRM ini bisa jadi bukti pemerintah berhasil mengontrol peredaran narkotika. Produksinya berada di bawah Kimia Farma, salah satu badan usaha milik negara yang bergerak di bidang farmasi. Setiap klinik PTRM menerapkan biaya yang berbeda-beda sesuai dengan peraturan daerah atau peraturan yang berlaku di fasilitas kesehatan.

“Ketentuan dari direktur rumah sakit itu Rp15 ribu, kalau buat ganti gelasnya Rp2 ribu. Kalau di puskemas ada juga yang harganya Rp5 ribu. Uangnya masuk ke negara karena rumah sakit membayar ke Kimia Farma,” terang Lucky.

Pengguna Berkurang Signifikan

Program ini juga memperlihatkan adanya penurunan jumlah pengguna narkoba suntik dalam konteks penularan HIV-AIDS. Laporan Situasi Perkembangan HIV-AIDS & Penyakit Infeksi Menular Seksual di Indonesia Januari-Maret 2018 oleh Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit di Kementerian Kesehatan RI membenarkan adanya penurunan jumlah infeksi HIV menurut faktor risiko pengguna narkoba suntik.

Baca juga:  Memperkenalkan HIV-AIDS dengan Remontada

Penurunannya tercatat dari 2.780 pengguna narkoba suntik pada 2010 menjadi 832 orang pada 2017. Sempat ada kenaikan menjadi 3.299 orang pada 2011 namun terus menurun pada tahun-tahun berikutnya.

Keberhasilan ini menjadi bukti negara bisa mengelola narkoba dan dampak buruknya. Lantas kenapa tidak, pemerintah mengubah cara pandang dan strateginya untuk menanggulangi masalah narkoba. Selama ini, pemerintah menggunakan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika untuk menggelar serangkaian program dan kegiatan pemberantasan narkoba.

Peneliti persoalan narkotika, Patri Handoyo, dalam bukunya War On Drugs: Refleksi Transformatif Penerapan Kebijakan Global Pemberantasan Narkoba di Indonesia percaya layanan terapi rumatan metadon apabila digelar hingga tingkat kecamatan bisa meruntuhkan bisnis heroin di pasar gelap.

Sebagai ilustrasi, seorang klien metadon di PTRM RSHS Bandung hanya perlu mengeluarkan uang Rp15 ribu untuk setiap dosis yang dikonsumsinya. Jika dia mengonsumsi heroin atau putaw di jalanan maka biayanya akan jauh berbeda. “Sekarang baru ada lagi putaw di jalanan. Harga satu paket buat sekali pakai bisa hampir Rp1 juta,” kata Adi.

Jika seseorang mengonsumsi metadon selama 14 hari, ia hanya akan mengeluarkan biaya Rp210 ribu—yang tidak mencapai 2 persen dari harga putaw untuk dikonsumsi selama 14 hari tersebut.

Patri memandang PTRM memenuhi prasyarat kebijakan peresepan narkoba, yaitu dekriminalisasi dan regulasi pasar. Metadon sebagai narkotika tidak dapat dijadikan barang bukti kejahatan jika dimiliki atau dikuasai seseorang. Pemilik atau penguasanya berstatus pasien. Metadon juga diproduksi untuk diserahkan ke konsumen oleh negara di tempat-tempat yang telah ditunjuk.

Baca lanjutan artikel ini: Perang yang Boros Anggaran dan Gagal

Adi Marsiela

The author Adi Marsiela

Jurnalis di Bandung. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.