close
Untitled
Gambar Ilustrasi: Alessandro Garofalo / Reuters

Pekan lalu, Gubernur Bali, I Wayan Koster menandatangani sebuah surat keputusan yang menetapkan 29 Januari sebagai Hari Arak Bali. Alasan pemilihan tanggal itu ialah untuk mengenang terbitnya Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/ atau Distilasi Khas Bali selain tujuan-tujuan lain yang berhubungan dengan pelestarian budaya.

Arak memang terkenal di masyarakat Bali sebagai penghangat suasana, sajian kepada tamu kehormatan, juga keperluan upacara adat. Jadi meski selama bertahun-tahun konsumsinya kalah populer dari minuman Barat macam wishkey atau tequila bahkan di kampung halamannya sendiri, masyarakat tetap membuatnya pada skala rumahan lantaran nilai-nilai budaya yang melekat padanya. Dengan demikian, eksistensinya tetap terjaga.

Kebijakan Progresif

Sebelum peraturan yang tanggal pengesahannya ditetapkan sebagai Hari Arak Bali itu diberlakukan, jumlah konsumsi arak di wilayah Bali tidak saja jauh di bawah minuman Barat. Para perajinnya pun bekerja secara sembunyi-sembunyi lantaran peredarannya dibatasi, izin produksinya sulit didapat, juga tidak ada proteksi dalam persaingan usaha terutama dari importir minuman-minuman Barat yang menguasai pasar. Padahal, Bali adalah produsen arak terbesar di Indonesia. BPOM melaporkan, 442 jenis produk arak terdaftar pada 2020 di provinsi ini.

Sejak 29 Januari 2020, Pemerintah Provinsi Bali memberikan perhatian khusus terhadap produksi dan distribusi minuman beralkohol khas Bali. Produk-produk ini didefinisikan sebagai, minuman yang dibuat dari bahan baku lokal secara tradisional dan turun-temurun, dikemas secara sederhana, mengandung etanol (C2H5OH) yang diproses dari bahan hasil pertanian dengan kandungan karbohidrat dengan cara fermentasi dan distilasi (penyulingan).

Peraturan ini sekaligus menjamin bahwa kandungan produk yang dihasilkan bukanlah metanol (CH3OH) yang selama ini bertanggung jawab atas kematian akibat konsumsi minuman oplosan. BPOM menerbitkan izin edar untuk berbagai produk olahan arak bali yang perajinnya banyak yang merupakan pelaku UMKM. Dari segi pengawasan, pemerintah melalui otoritas yang berwenang menjamin mutu produk arak dan berbagai olahannya sehingga tidak membahayakan konsumen.

Selain itu, Kanwil Bea dan Cukai Provinsi Bali juga menerbitkan pita cukai yang tarifnya proporsional demi memprioritaskan perlindungan berbagai produk olahan arak bali sehingga mampu bersaing dengan minuman-minuman yang telah lebih dulu mendunia.

Peraturan gubernur tersebut diterbitkan untuk lebih melindungi ekosistem industri arak dan minuman beralkohol khas Bali lainnya. Dalam salah satu ketentuannya disebutkan, arak yang diproduksi petani merupakan bahan baku yang kemudian disalurkan melalui koperasi. Dari koperasi, bahan baku arak disalurkan kepada produsen yang memiliki izin usaha industri sesuai aturan dari Kementerian Perdagangan RI.

Baca juga:  Pengurangan Dampak Buruk Konsumsi Narkoba

Produsen pemilik izin usaha tersebut wajib menaati keamanan dan mutu sesuai aturan BPOM. Produk minuman beralkohol yang telah memenuhi standar mutu dan keamanan akan diberikan izin edar dari BPOM dan harus memiliki pita cukai dari Kementerian Keuangan RI supaya dapat beredar secara resmi di masyarakat.

Lembaga pemerintah yang juga berperan dalam penguatan industri minuman khas Bali tersebut adalah Kanwil Kementerian Hukum dan HAM RI Bali. Institusi ini membantu pendaftaran hak cipta produk-produk arak bali. Sebagai informasi, hak atas kekayaan intelektual suatu produk arak bali tidak diberikan kepada individu, melainkan secara komunal.

Dikutip dari pemberitaan, alasan pemberian hak kekayaan intelektual secara komunal adalah karena pola yang dimiliki Gubernur Koster, bahwa perajin arak tidak boleh individu tapi diserahkan pada setiap desa. Dari pola tersebut, Kanwil Kementerian Hukum dan HAM RI Bali akan membantu pendaftaran hak cipta pada yang komunal sehingga tidak akan ada persaingan antarindividu dalam industri minuman khas Bali.

Pemberian hak kekayaan intelektual secara komunal di lain sisi akan menciptakan kompetisi yang lebih sehat antara warga desa pemilik hak cipta produk A dengan warga desa pemilik hak cipta produk B.

Cap Tikus Minahasa

Dalam hal pelestarian budaya dan upaya menyejahterakan rakyat dari industri minuman beralkohol tradisional, Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan di awal 2019 meresmikan sebuah jenama cap tikus. Kadar alkoholnya dipatok 45 persen dan dibanderol Rp80 ribu per botol ukuran 320 ml.

Tidak seperti arak bali yang hak ciptanya diserahkan ke komunitas secara komunal, hak cipta merek cap tikus ini didaftarkan atas nama Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan. Terobosan itu dilakukan untuk menjamin mutu, keterjangkauan harga, serta menyiasati aturan soal distribusinya, bahwa minuman ini hanya bisa dijual perajinnya ke pabrik – tidak boleh langsung ke masyarakat.

Di Minahasa, ribuan warga mengandalkan aren dan produksi minuman cap tikus sebagai penghasilan utama. Dengan aturan tentang distribusinya, cap tikus yang dibuat petani aren banyak yang diselundupkan ke luar wilayah lantaran jumlahnya terlalu banyak untuk bisa diserap pabrik minuman beralkohol pemiliki izin dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulawesi Utara yang berjumlah 10 perusahaan per 2019.

Baca juga:  Menteri Kesehatan yang Bukan Dokter dan Layanan Kesehatan ala Pancasila

Industri cap tikus yang resmi dimiliki pemerintah kabupaten sejak awal 2019 memang ditujukan untuk kesejahteraan petani aren dan perajin cap tikus di Minahasa Selatan. Mereka tidak perlu lagi menyelundupkan produknya ke luar wilayah karena bisa diserap oleh industri milik pemerintah ini. Industri ini juga untuk mengangkat derajat cap tikus serta membersihkan citra minuman tradisional sebagai bahan baku minuman oplosan yang banyak merenggut nyawa lantaran kandungan metanol serta ketiadaan pengawasan mutu.

Saat peresmian Cap Tikus 1978, Bupati Minahasa Selatan, Christiany E Paruntu juga berharap agar cap tikus menjadi minuman kebanggaan warga Sulawesi Utara. Menurutnya, untuk menjamin keamanan masyarakat, produk konsumsi tubuh memang harus terdaftar sehingga jelas pertanggungjawabannya. Peresmian industri cap tikus milik pemerintah ini mempertimbangkan potensi bisnis yang bisa sekaligus menerapkan aturan tentang minuman beralkohol demi perlindungan konsumen.

Melindungi Pasar Minuman Beralkohol Lokal

Liburan akhir tahun sudah lama menjadi andalan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI dalam mengeruk pendapatan negara. Sektor pariwisata pada liburan akhir tahun 2022 tentunya lebih menggeliat ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Sejak tahun lalu, pembatasan sosial sebagai protokol pencegahan covid-19 sebenarnya sudah mulai melonggar.

Salah satu komoditas yang kecipratan berkah liburan akhir tahun adalah minuman beralkohol. Sepertinya sudah jadi tradisi kalau minuman beralkohol harus menemani malam pergantian tahun. Tapi tak hanya jelang akhir tahun, menggeliatnya pariwisata di banyak tempat turut meningkatkan kebutuhan akan komoditas ini.

Sebenarnya konsumsi minuman beralkohol per kapita di Indonesia berada di bawah negara-negara lain di kawasan Asia seperti Malaysia, India, atau Turki, yakni 0,6 liter (WHO, 2014) dan jumlah ini mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir (BPS, 2021). Tapi ternyata dari 0,6 liter yang dilaporkan WHO, konsumsi alkohol ilegal di Indonesia lebih besar dari yang resmi, yakni 0,5 banding 0,1 liter per kapita.

Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah untuk melindungi minuman beralkohol tradisionalnya sebenarnya juga bakal berdampak untuk menurunkan konsumsi alkohol tak berizin di Indonesia. Sebelum Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan atau Provinsi Bali menerapkan kebijakan progresif untuk minuman lokal mereka, arak maupun cap tikus banyak yang dijual secara tidak resmi alias tidak memiliki izin edar dan berpita cukai.

Baca juga:  Pentingnya Peraturan Anti-Diskriminasi bagi Kelompok Rentan

Hal seperti itu terjadi di banyak daerah Indonesia yang punya minuman beralkohol khasnya seperti tuak di Sumatera Utara, lapen di Yogyakarta, ballo di Sulawesi Selatan, atau sopi di Nusa Tenggara Timur. Minuman-minuman lokal tersebut ditumpas di zaman penjajahan melalui pembentukan Komisi Pemberantasan Alkohol oleh Belanda pada 1918.

Kasijanto Sastrodinomo, seorang sejarawan dalam artikelnya menulis, minuman-minuman beralkohol lokal tersebut menurut polisi digolongkan sebagai “gelap” alias tidak berizin. Secara tidak resmi, minuman beralkohol lokal diberantas karena dianggap pesaing minuman impor serta arak buatan pabrik milik pengusaha Belanda di bawah bendera industri spiritus di Surabaya kala itu.

Setelah lebih dari tujuh dasawarsa Indonesia merdeka, keadaannya masih sama. Dari sekian banyak minuman beralkohol lokal asli Indonesia, hanya segelintir yang berizin. Di bar dan tempat khusus penjualan minuman beralkohol lainnya, produk impor masih kita dapati mendominasi daftar minuman yang dijual.   

Bukan hanya tidak diakomodasi untuk bersaing di pasar dalam negeri, minuman beralkohol lokal kerap ditumpas aparat karena produksinya tidak berizin. Belum lagi, penetapan cukai yang sangat tinggi selalu dipromosikan para politikus sebagai kebijakan untuk membatasi konsumsi masyarakat akan produk yang dianggap banyak mudaratnya seperti minuman beralkohol dan rokok.

Fakta menunjukkan sebaliknya. Pendapatan negara dari cukai minuman beralkohol justru meningkat dari Rp3,58 triliun pada 2011 menjadi Rp5,33 triliun pada 2017 walaupun tarif cukainya dinaikkan rata-rata 11,66% pada 2014 dan penjualan bir di minimarket telah dilarang pada 2015. Pendapatan ini tercatat terus mengalami kenaikan, yakni sebesar Rp5,76 triliun pada 2020.  

Fakta menyedihkan lainnya ialah, Indonesia tercatat mengimpor minuman beralkohol senilai 40,44 juta dolar pada 2018. Angka ini naik dari 10,09 juta dolar pada 2015.

Nampaknya, dengan beraneka ragam jenis minuman beralkohol lokal khas Nusantara, negeri ini membutuhkan lebih banyak kepala daerah yang berpihak pada minuman beralkohol tradisional di wilayah kerjanya. Upaya ini harus dilakukan bukan saja untuk membuat minuman lokal sebagai tuan rumah di negeri sendiri, tapi yang lebih penting lagi untuk mengakhiri perang terhadap minuman beralkohol lokal yang rentan untuk diproduksi tanpa legalitas dan perlindungan.

Jadi untuk malam tahun baru lusa, rayakanlah dengan arak bali, cap tikus, atau ciu bekonang!

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.