close
FeaturedKomunitas

Diskriminasi terhadap Pengidap HIV Justru Memperburuk Penyebaran Virusnya: Hentikan!

72318345
Gambar Ilustrasi: Tamil News

Diskriminasi yang terus mendera para pengidap HIV tanpa disadari dapat menciptakan permasalahan baru, yaitu mempercepat penyebaran kasus HIV. Epidemi yang masih terus berjalan ini menciptakan pertanyaan, sejauh mana penanganannya saat ini? Sayangnya, salah satu hambatan terbesar dari penanganan HIV adalah stigma yang terus menyelimuti penyintas dengan rapi. Krisis kesehatan yang seharusnya ditangani secara medis ini dipandang sebagai krisis moralitas.

Dampak negatif dari diskriminasi dapat menciptakan konsep diri yang buruk bagi orang-orang dengan HIV. Lebih buruk, seorang pengidap HIV bahkan bisa menyebarkan virusnya tanpa atau dengan disadari. Contohnya, dalam utas akun Twitter @afifanharyawan, ia menuliskan pengalamannya sebagai tenaga kesehatan yang turut melayani pasien-pasien HIV. Dalam sebuah kasus, ia menemukan seorang pasien yang akhirnya memutus pengobatannya karena mendapat perlakuan buruk dari masyarakat atas status HIV positif yang ia dan anaknya miliki.

Kicauan tentang hilangnya pasien HIV dari pengobatan karena diskriminasi yang diterimanya

Dalam kasus di atas, yang sangat disayangkan adalah terputusnya pengobatan dan adanya risiko tidak terkendalinya penyebaran virus HIV dari pasien yang bersangkutan. Kasus lain dialami oleh A (27), seorang pasien HIV. Ia tertular dari temannya melalui penggunaan jarum suntik dalam prosesi perawatan kulit. Ia menggunakan jarum dari temannya yang ternyata merupakan jarum bekas penggunaan temannya yang positif HIV. Hal tersebut sangat disayangkannya dan membuatnya kecewa karena temannya tidak memberi tahu bahwa dirinya positif HIV.

Baca juga:  Ada Apa dengan Payudara? (1): Payudara dan Payujaka

Kasus penyebaran HIV sendiri akhirnya menjadi konsekuensi besar dari diskriminasi yang jarang disadari oleh masyarakat.

Dalam jurnal penelitian berjudul Tinjauan Hukum terhadap Perbuatan Menyebar Virus HIV/AIDS di Indonesia, dijelaskan bahwa diskriminasi menjadi hulu utama dari potensi penyebaran tersebut. Seorang penderita yang mengalami diskriminasi sosial dari lingkungan sekitarnya, membuatnya merasa terasingkan dan terkucilkan. Dalam kasus-kasus penyebaran virus yang disengaja ini, perasaan tertekan yang dirasakan pengidap membuatnya ingin agar mereka tidak sendiri dan tidak menanggung beban tersebut sendirian.

Hal di atas tidak terlepas dari perasaan ketidakadilan yang dirasakan oleh pengidap. Dalam konteks ini, pengidap HIV merasa bahwa ia seharusnya mendapat dukungan dan pertolongan tapi yang terjadi, ia malah dijauhi. Perasaan tersebut berpotensi melahirkan perbuatan-perbuatan yang membuatnya “tidak sendiri” dan balas dendam kepada masyarakat, seperti menyebarkan virus yang sengaja dilakukan.

Di sisi lain, ada banyak kasus di mana pengidap HIV memutuskan untuk mengedukasi masyarakat secara lebih luas agar virusnya berhenti di dirinya dan tidak menyebar ke orang lain. Sayangnya, tidak dapat dimungkiri bahwa ada pengidap HIV yang memutuskan tidak melakukan pengobatan atau sengaja menyebarkan virus ini atas rasa dendam karena diskriminasi tersebut.

Selain keinginan agar orang-orang merasakan hal yang sama, tetap tingginya penularan HIV juga disebabkan oleh para pengidap yang tidak ingin memeriksakan diri sehingga secara tidak sengaja menularkannya ke orang lain. Hal tersebut tidak terlepas dari stigma yang disematkan kepada orang-orang dengan HIV. Perasaan malu dan ketakutan akan mendapat dsikriminasi, bisa membuat seorang pengidap HIV mengurungkan keinginannya untuk memeriksakan diri.

Baca juga:  Ballata, Rumah bagi Semua Orang

Hasil penelitian berjudul Konsep Diri Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang Menerima Label Negatif dan Diskriminasi dari Lingkungan Sosial (Sarikusuma dkk., 2012), menjelaskan bagaimana label negatif dan diskriminasi pada pengidap HIV berpotensi memberi tekanan psikologis dan konsep diri yang buruk atas status positif HIV-nya.

Melalui diskriminasi dan berbagai stigma yang tumbuh di masyarakat, seorang pengidap HIV yang seharusnya fokus terhadap pengobatan dan kesehatannya menjadi disibukkan akan ketakutan terhadap ancaman diskriminasi. Konsep diri yang tercipta dalam diri seorang pengidap HIV berpotensi membuatnya berfokus pada perasaan bahwa dirinya tidak pantas membaur dengan masyarakat secara umum karena adanya ketakutan-ketakutan yang ada di masyarakat.

Sangat disayangkan bahwa tanpa disadari, masyarakat yang melakukan diskriminasi karena takut tertular justru berkontribusi terhadap penyebaran virus yang semakin sulit dikendalikan. Berbagai stigma tidak terlepas dari rendahnya pemahaman akan penyebaran virus HIV.

Banyak yang mengira berpegangan tangan, berpelukan, menggunakan kamar mandi yang sama, hingga menggunakan alat makan yang sama dapat menularkan HIV. Penularan HIV tidaklah semudah itu.

Seorang pengidap HIV baru dapat menularkan virusnya melalui hubungan seks tanpa kondom dan penggunaan alat suntik bekasnya. Sayangnya, pengetahuan mendasar ini justru belum banyak disadari masyarakat luas. Bahkan dalam banyak kasus, justru diskriminasi juga dilakukan oleh tenaga kesehatan sebagai pihak yang seharusnya memberi pertolongan dan perlindungan terhadap pasien HIV.

Baca juga:  Cap Buruk Narkoba

Diperlukan keseriusan dari berbagai pihak agar mata rantai penularan HIV dapat terputus. Masyarakat perlu membuka diri terhadap pengetahuan mendasar tentang HIV serta membuka diri dan mau bergaul dengan pengidap HIV sebagaimana mestinya. Selain itu, perlu adanya keseriusan pemerintah agar pengetahuan akan HIV serta risiko diskriminasi dapat sampai ke masyarakat dengan baik.

Hal-hal tersebut dibutuhkan agar berbagai program pencegahan dan pemutusan rantai penularan HIV dapat berjalan dengan baik dan efektif. Hal ini juga diperlukan agar para pengidap tidak kehilangan haknya sebagai manusia untuk memiliki kehidupan layak di tengah masyarakat pada umumnya.

Dhela Seftiany

The author Dhela Seftiany

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.