Hingga kini, gangguan jiwa masih dianggap aib, sekalipun oleh para pengidapnya. Walaupun tanda-tanda gangguan mentalnya masih bisa dikatakan ringan, namun kebanyakan orang enggan mencari bantuan profesional untuk pertolongan medis.
Pada sebuah kesempatan di Yogyakarta (2015), Eka Viora, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kemkes RI menyatakan, di banyak daerah, pengidap gangguan kesehatan jiwa belum tertangani dengan baik. Kurang dari 10% pengidap gangguan jiwa mendapatkan layanan terapi dari petugas kesehatan.
Namun seolah tidak simetris dengan hal tersebut, organisasi kesehatan dunia (WHO) menerbitkan sebuah dokumen berjudul “Rational Use of Benzodiazepine” pada 1996. Dalam dokumen itu, Wood, Katz, dan Winger melaporkan penelitian mereka bahwa 80% obat golongan benzodiazepine diresepkan oleh dokter umum dan spesialis nonpsikiatri sehingga menjadi golongan obat kedua terbanyak yang diresepkan setelah obat-obatan untuk jantung dan pembuluh darah.
Benzodiazepine secara farmakologis digunakan untuk mengatasi kecemasan, insomnia, dan gangguan kejiwaan lainnya. Oleh karena itu, obat-obatan golongan ini sering disebut sebagai obat penenang.
Perilaku masyarakat mengunjungi profesi kesehatan untuk keluhan kesehatan termasuk gangguan mental tergolong rendah. Hal tersebut turut ditunjang oleh tidak meratanya ketersediaan fasilitas layanan kesehatan. Maka dengan perkembangan pemanfaatan teknologi internet di segala bidang, penjualan obat penenang di Indonesia saat ini tentu makin marak.
Seorang narasumber yang diwawancarai Rumah Cemara menyatakan keengganannya ke dokter karena melalui pembelian daring (online) itu, ia dapat membeli obat yang diinginkan tanpa harus mengorbankan waktu kerjanya.
Ini artinya akan semakin sedikit saja yang mengunjungi petugas kesehatan untuk mengobati gangguan mentalnya. Pertanyaannya kemudian, apakah pihak-pihak yang berwenang mengetahui adanya fenomena penjualan obat secara daring ini?
Benny Ardjil, mantan Deputi Bidang Terapi & Rehabilitasi BNN saat ditemui kemarin menyatakan, mereka (pihak-pihak berwenang tersebut -red) sudah tahu. “Coba saja tanyakan ke BNN atau BPOM!” pintanya.
Di tengah minimnya pengidap gangguan jiwa yang masih belum mendapat layanan terapi dari petugas kesehatan, maraknya penjualan obat-obatan untuk gangguan jiwa secara daring menjadi tamparan keras bagi otoritas kesehatan nasional. Terlebih, tiap 10 Oktober diperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia.
Para penjual daring ini sangat percaya diri membanderol dagangannya hingga 500% di atas harga eceran tertinggi (HET) obat yang ditetapkan Kemkes RI, namun mereka memiliki pelanggan yang tidak sedikit dan berkesinambungan.
Para pelanggan sebenarnya mengetahui risiko kerugian yang akan dihadapinya, yaitu obatnya palsu atau pesanannya tidak pernah tiba. Namun kengganan mengorbankan waktunya untuk ke fasilitas perawatan kesehatan, stigma terhadap dirinya dari kenalan yang mungkin akan ditemui di fasilitas tersebut, hingga ketiadaan tanggungan asuransi membuat mereka mau tak mau mencoba layanan daring ini.
Rumah Cemara sempat mencoba menebus resep obat anticemas dari seorang dokter untuk keperluan liputan ini. Hampir semua apotek di Bandung, bahkan yang terkenal lengkap, tidak memiliki stok obat tersebut. Namun, ketika kami mengetik nama obat tersebut ditambah kata “jual” di mesin pencarian internet, hasil yang diperoleh dan tercatat adalah sebagai berikut: Sekitar 57.700 hasil (0,47 detik).
Sebenarnya siapa yang punya peran memiliki, menyimpan, dan menjual obat-obatan? Dalam kasus ini jelas bukan apotek. Namun, entah siapa mereka ini. Bahkan di halaman situs jejaringnya, mereka memamerkan jumlah stok obat yang mereka miliki sementara apotek tidak memilikinya sama sekali.
Dalam pengantarnya, Seminar Nasional Benzodiazepine yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia (PDSKJI) Seksi Psikiatri Adiksi serta Departemen Psikiatri FK Unpad 30 September hingga 1 Oktober 2016 lalu menyatakan, yang pasti menjadi korban adalah pasien-pasien gangguan jiwa yang memerlukan obat-obatan tersebut. Mereka mengalami kesulitan untuk mendapatkan benzodiazepine sehingga selain akan menderita juga menghambat proses penyembuhan.
Untuk siapapun, khususnya di Indonesia, yang berjuang agar pengidap gangguan kesehatan jiwa mendapatkan penanganan sesuai dengan amanat UU Kesehatan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sesuai konstitusi kita, selamat Hari Kesehatan Jiwa Sedunia!