close
WhatsApp Image 2022-06-16 at 11.43.30 AM
Gambar Ilustrasi: @abulatbunga

Pada zaman Hindia Belanda, pembatasan penggunaan candu dimulai sejak 1 September 1894. Pemerintah Hindia Belanda yang memonopoli perdagangan candu, mendatangkannya dari Timur Tengah kemudian diolah dan diedarkan kepada mereka yang memiliki surat keterangan boleh menghisap madat. Hal ini disampaikan Sumarmo Masum dalam Penanggulangan Bahaya Narkotika dan Ketergantungan Obat (1987).

Di awal abad ke-20, Belanda menyepakati perjanjian global yang diinisiasi oleh Amerika Serikat dan Inggris soal candu yang bertempat di Den Haag, Belanda. Perjanjian itu mencantumkan pelarangan candu untuk diperdagangkan kecuali bagi kepentingan medis. Namun Belanda hanya mengesahkan perjanjian tersebut bagi hukum yang berlaku di negaranya saja. Di Hindia Belanda, candu tetap bebas diperdagangkan.

Pada 1913, sebagai respons terhadap minimnya peran Belanda dalam menekan masalah candu di Hindia Belanda, sekelompok orang bergabung dan menyepakati pembentukan organisasi gerakan anti-candu.

Abdul Wahid, dalam makalah berjudul “Perang Salib Anti-Candu di Jawa: Kebangkitan dan Perkembangan Gerakan Anti-Candu di Jawa Akhir Kolonial” yang dipresentasikan pada konferensi Pengobatan Kolonial di Masa Pasca Kolonial: Kesinambungan, Transisi, dan Perubahandi Jakarta, 27-30 Juni 2018, mencatat setidaknya ada tiga organisasi semacam itu, yakni Anti-Candu Vereeniging (AOV), International Order of Good Templars (IOGT) yang berkantor di Batavia, serta Netherlands-Indische Anti-Candu Vereeniging (NIAOV) yang berkantor di Bandung.

Untuk menyediakan layanan dan bantuan kesehatan bagi pecandu (pemadat), AOV membangun rumah sakit dan klinik yang fokus pada penanganan masalah ketergantungan candu. Upaya ini tidak bisa dilakukan AOV tanpa donasi dan begitulah tampaknya cara AOV menjaga keberlangsungan lembaganya.

Pada 1917, AOV membuka Asosiasi Rumah Sakit Anti-Madat (Anti-Opium Hospitaal Vereeniging) di kawasan Manga Dua Jakarta saat ini, yang dahulu masih bernama Jacatraweg, setelah berhasil mengumpulkan dan menerima donasi lebih dari 15 ribu gulden.

Pada enam bulan pertama, rumah sakit ini telah menerima dan menangani 342 pecandu. Sayangnya, donasi yang diterima dan dikelola hanya cukup untuk pengelolaan biaya rumah sakit selama 1 tahun. Pemerintah kolonial pun menolak memberikan bantuan dana. Akhirnya, rumah sakit ditutup.

Baca juga:  Waria atau Transpuan, Jangan Merendahkan!

Selanjutnya, AOV tetap mengoperasikan layanan melalui sumbangan dan donasi serta berjejaring dan bekerja sama dengan organisasi anti-candu lain dan memberikan layanan rujukan ke rumah sakit. AOV berhasil mengumpulkan sumbangan sebesar 40 gulden setiap bulannya.

Dengan usaha itu, AOV berhasil mendirikan klinik di dua tempat, yakni Pasar Senen dan Jacatraweg serta membiayai penanganan pecandu di rumah sakit lain. Dalam makalahnya, Abdul Wahid menuturkan, AOV mengucurkan dana 4.200 gulden pada 1930 untuk menangani 500 pecandu. Lalu pada 1932, AOV menangani 1.500 warga Tionghoa, 9 warga Belanda, dan 500 pribumi.

Di samping rumah sakit, AOV juga membuat fasilitas pendukung pemulihan pecandu seperti Roemah Pertemoean di Pasar Senen dan Roemah Singgah di Jatinegara, Jakarta. Di tempat-tempat itu, pasien menjalankan kegiatan berkelompok seperti membaca, diskusi, atau berlatih dan berolahraga. Selain dikembangkan untuk mencegah kekambuhan, layanan tersebut juga berupaya mendukung dan memfasilitasi mantan pecandu untuk melakukan resosialisasi dan mendapatkan kehidupan yang “normal” di masyarakat luas.

AOV juga menyisihkan 20 persen anggarannya untuk melakukan edukasi dan meningkatkan pengetahuan warga mengenai dampak buruk candu. Pertama, AOV memberikan ceramah-ceramah dan mengunjungi sekolah-sekolah. Kedua, AOV menerbitkan media komunikasi, informasi, dan edukasi seperti buku, leaflet melalui kerja sama dengan media Bacaan Rakyat (Volkslectuur). Serta ketiga, AOV menyelenggarakan parade anti-candu, pekan anti-candu, dan kampanye lainnya.

Di tanah jajahan Inggris tersebut, gerakan anti-candu menengarai candu yang beredar secara masif di wilayah mereka menguntungkan dan melanggengkan pemerintahan kolonial. Maka dari itu, AOV turut berpartisipasi dan bahkan menjadi pemangku kebijakan dalam pergerakan nasional anti-kolonial di Malaysia dan Tionghoa.

Masih menurut Abdul Wahid, AOV memberdayakan seluruh akses terhadap saluran politik yang dibuka pemerintah kolonial. Mereka tidak secara langsung menunjukan sikap anti terhadap pemerintah dan kolonial. Tetapi yang jelas, AOV telah berkontribusi dalam upaya mengampanyekan pesan bahwa penggunaan candu (madat) adalah masalah kesehatan masyarakat.

Baca juga:  Membangun Solidaritas Melawan Prasangka

Di masa pasca kemerdekaan, saat tren penyalahgunaan narkotika semakin meningkat, pemerintah mulai mempertimbangkan bahaya laten yang mengancam generasi muda bilamana tidak ada upaya rehabilitatif atau pengobatan bagi penyalahguna narkotika. Pada 1971, Presiden Soeharto menetapkan Indonesia Darurat Narkoba.

Berdasarkan penetapan itu pula maka pada 12 April 1972 di kompleks RS Fatmawati, Jakarta atas prakarsa Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin bersama dengan dr. Herman Susilo (Kadinkes DKI Jakarta), Prof. dr. Kusumanto Setyonegoro (Ditkeswa Depkes) dan bagian Psikiatri Universitas Indonesia dibentuk dan dioperasikannya Unit Ketergantungan Narkotika. Unit ini  akhirnya berganti nama menjadi Lembaga Ketergantungan Obat (LKO) dan selanutnya di tahun 1978 statusnya meningkat menjadi Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO).

Selain Rumah Sakit Ketergantungan Obat, pada 31 Oktober 1974, ibu negara, Tien Soeharto meresmikan pendirian Rumwattik Pamardi Siwi yang difungsikan sebagai tempat penanganan anak nakal dan ketergantungan narkotika. Awal berdirinya Pamardi Siwi lebih diprioritaskan untuk tempat penahanan sementara bagi anak-anak dan wanita dewasa sebelum kasus diajukan ke pengadilan. Balai ini merupakan pilot project yang diinisiasi oleh Polda Metro Jaya dan Pemerintah Daerah DKI Jakarta yang notabene realisasi dari Badan Koordinasi Pelaksana Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1971.

Yang tidak mungkin luput dari sejarah rehabilitasi narkotika di Indonesia adalah pelaksanaan rehabilitasi narkotika oleh Pesantren Suryalaya atau biasa dikenal Inabah. Kemasyhuran Inabah tidak hanya di dalam negeri saja, melainkan hingga dibukanya cabang Inabah di luar negeri yakni di Kedah, Malaysia.

Pesantren Suryalaya didirikan pada 1905 oleh Syekh Abdullah bin Nur Muhammad bertempat di wlayah kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pada 1971, banyak orang tua di daerah setempat yang menitipkan anaknya ke pesantren tersebut agar dibina dan dididik dari perilaku negatif yang dilakukan. Banyak para keluarga dan orang tua saat itu yang menitipkan anaknya karena merasa tidak sanggup mendidik anak-anaknya yang mayoritas memiliki masalah atas penyalahgunaan narkotika.

Secara resmi Pondok Pesantren Suryalaya Inabah I berdiri dan dikembangkan pada 1972. Pondok Inabah I didirikan atas prakarsa sesepuh Pondok Pesantren Suryalaya yakni Abah Anom. Pesantren ini didirikan khusus untuk merehabilitasi para penyalahguna narkotika dengan basis agama. Hingga saat ini, Suryalaya tersebar di 12 cabang di dalam negeri di seputaran wilayah Tasikmalaya dan Ciamis dan di Malaysia khusus untuk remaja putra.

Baca juga:  Risiko OD, Sebaiknya Ada Teman Saat Pakai Narkoba

Program rehabilitasi dengan pendekatan metode yang terukur dan berbasis bukti yang sempat merajai metode rehabilitasi narkotika di Indonesia salah satunya adalah therapeutic community (TC). Pendekatan berbasis kelompok dengan seperangkat nilai dan norma yang diterapkan dalam keseharian secara terstruktur dinilai cukup efektif bagi para pengguna narkotika yang sering dicap buruk dan diberikan stigma sebagai “sampah masyrakat” (junkie).

Pendekatan rehabilitasi berbasis teori pembelajaran yang mengusung beberapa teori seperti classical conditioning yang dicetuskan Ivan Pavlov, operant conditioning oleh BF Skiner dan lain-lain memprioritaskan kemampuan para residen (pasien rehabilitasi) untuk mengambil makna dan pembelajaran yang disampaikan setiap harinya baik melalui tanggung jawab yang diberikan atau melalui sesi-sesi edukasi dan khususnya pendekatan kelompok.

Hingga saat ini, lembaga rehabilitasi telah tersebar hampir di seluruh pelosok tanah air, rehabilitasi pemerintah, swasta, atau berbasis pendekatan alternatif dan keagamaan pun sudah turut diatur melalui UU Narkotika. Fasilitasi penguatan lembaga rehabilitasi yang disampaikan oleh pemerintah kian berkembang. Pendekatan rehabilitasi tidak lagi terfokus pada salah satu metode saja, melainkan pendekatan komprehensif sesuai kebutuhan klien penerima layanan.

Subhan

The author Subhan

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.