Semua orang tua pasti menginginkan anaknya lahir sehat tanpa kekurangan apapun. Namun rahasia Tuhan tidak ada yang tahu. Tidak semua anak bisa lahir sehat karena ada sebagian anak yang menyandang cerebral palsy, sejak lahir ataupun menjelang usia balita .
Memperingati Hari Cerebral Palsy Sedunia yang biasa diperingati pada minggu pertama Oktober, Rumah Cemara menurunkan sebuah tulisan mengenai kisah orang tua yang merawat anak pengidap cerebral palsy atau lumpuh otak. Tulisan dan rangkaian foto ini adalah karya Iqbal Kusumadireza, jurnalis lepas asal Bandung dalam liputannya di Yogyakarta. Selamat membaca!
Media & Data-RC
Cerebral palsy (CP) adalah beberapa gangguan pada anak yang memengaruhi kemampuannya bergerak dan mempertahankan keseimbangan tubuh. CP adalah kecacatan motorik yang paling umum terjadi di masa kanak-kanak. CP biasanya disebabkan oleh perkembangan otak yang tidak normal atau kerusakan pada otak yang sedang berkembang yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk mengendalikan otot-ototnya.
Mayoritas penyebab CP adalah kerusakan saraf otak atau disebut juga sebagai lumpuh otak. Kondisi ini bahkan bisa terjadi sejak bayi. CP juga bisa memengaruhi fungsi tubuh lain, misalnya bernapas, buang air kecil dan besar, makan, hingga bicara.
Di Indonesia, CP termasuk jenis kelainan yang mendapat perhatian khusus karena termasuk dari delapan jenis kecacatan yang didata oleh pemerintah. Sejak 2007, data penyandang disabilitas di Indonesia dikumpulkan melalui Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan RI. Dari data Riskesdas ini, prevalensi anak dengan cerebral palsy di Indonesia pada 2013 mencapai 0,09% dari jumlah anak berusia 24-59 bulan.
Merawat anak dengan cerebral palsy tentu memerlukan perjuangan tersendiri. Seperti yang dilakukan dua orang ibu di Yogyakarta yang merawat anaknya pengidap CP. Keduanya merawat sang anak hingga usia menjelang dewasa. Mereka bekerja keras merawat anak dan tanpa lelah menggali informasi mengenai CP agar anaknya bertahan hingga saat ini.
Kami menemui Hertiana Prasetyowati, 54 tahun, di rumahnya, di daerah Tegalrejo, Yogyakarta, akhir September lalu. Perempuan yang akrab dipanggil Ibu Ana ini dengan tegar dan sabar merawat putrinya sejak didiagnosis menyandang CP di usia tiga tahun hingga kini berusia 18 tahun.
Dengan mata berkaca-kaca, ia bercerita putrinya ketika lahir itu normal seperti anak lainnya, tidak ada tanda-tanda cacat fisik ataupun cacat lainnya. Sang putri, Annisa Hilma, baru diketahui menyandang cerebral palsy pada Januari 2005, ketika mengalami kejang-kejang hingga akhirnya ia memutuskan untuk melakukan perawatan EEG (elektroensefalografi) di ICU Anak RS dr. Sardjito Yogyakarta. Hampir selama satu bulan ia sempat down saat dokter yang merawat anaknya mengatakan putrinya sudah tidak bisa disembuhkan.
“Putri ibu sudah gak bisa sembuh. Ibu jangan nangis, jangan sedih. Ibu punya hubungan batin dengan anak ibu. Harus kuat, anak ibu pasti kuat,“ ucapnya mengenang perkataan dokternya.
Setelah dirawat di rumah sakit ini, ia bersama suami memutuskan untuk kembali melakukan pengobatan untuk sang anak. Bagaimanapun caranya, agar sang anak kembali bisa gerak badannya.
Bersama suami, ia mencoba pengobatan alternatif untuk terapi saraf putrinya di daerah Wanayasa, Banjarnegara, Jawa Tengah. Terapi rutin yang dilakukan hampir setiap hari selama tiga tahun untuk memperbaiki saraf-saraf putrinya tersebut membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Putrinya dapat kembali menggerakan leher dan matanya kembali berfungsi normal.
Menurutnya, sang anak ini secara fisik badannya seperti anak lainnya, tapi kemampuan kognitifnya seperti bayi berumur 10 atau 12 bulan.
Ia juga menceritakan, putrinya hampir setiap hari mengalami kejang-kejang. Dalam satu hari bisa tiga atau empat kali mengalami kejang. Dokter yang merawatnya pun sempat memberi resep obat kejang dengan dosis yang paling tinggi sebanyak 2x10ml untuk anaknya.
Ia mengaku, hampir semua obat kejang yang ada di Indonesia sudah pernah dicoba untuk putrinya, namun tetap tidak membuahkan hasil. Saat catatan medis Nissa menunjukkan hampir semua obat yang mendapat izin edar Badan POM RI pernah diresepkannya, dokter yang merawat putrinya ini sempat merekomendasikan pengobatan ke luar negeri untuk mencoba pengobatan yang belum mendapat izin edar Badan POM RI. Negara terdekat yang sudah mengizinkan peredaran obat itu adalah Australia. Tapi rekomendasi itu diurungkannya karena terbentur biaya yang sangat mahal.
Lain pula pengalaman Reny Indrawati (41), yang anak laki-lakinya didagnosis mengidap lumpuh otak saat berusia 18 bulan. Ketika ditemui di rumahnya di daerah Godean, Yogyakarta, ia bercerita ketika itu anaknya sempat menderita demam tinggi dan dibawa ke dokter. Namun ketika itu dokter berkata itu hanya demam biasa.
Sebenarnya Reny sudah curiga saat Adnan, anak laki-lakinya itu menginjak usia 12 bulan. Perkembangan motoriknya agak lambat. Ia tidak seperti anak seusianya. Ia belum bisa merangkak, hanya bisa merayap. Itu pun hanya satu sisi bagian badan. Selain itu, Adnan juga tidak bisa berdiri atau duduk layaknya anak lainnya. Ketika berdiri atau duduk, pasti terjatuh karena tidak dapat mengendalikan keseimbangan badannya.
Setelah melalui berbagai macam terapi, kini Adnan sudah dapat menggunakan sepeda roda tiga. Ia bisa masuk sekolah alam yang berada tak jauh dari rumahnya.
Terpicu rasa penasaran akan penyakit yang diidap buah hatinya, Reny bahkan sempat menerjemahakan salah satu buku yang ditulis oleh pasangan ahli orthopedi asal Turki, Nadine Berker dan Salim Yelcin. Menariknya, pada 2018 lalu, Reny bahkan bisa bertemu dengan kedua penulis ahli orthopedi itu di Yogyakarta. Mereka mengadakan diskusi bersama ibu-ibu yang tergabung dalam WKCP (Wahana Keluarga Cerebral Palsy) Yogyakarta.
WKCP adalah komunitas yang didirikan oleh sejumlah orang tua yang memiliki anak penyandang CP. Komunitas yang berdiri sejak 2012 ini menjadi wadah berbagi informasi dan pengetahuan mengenai cerebral palsy bagi anggota-anggotanya.
Salah satu informasi yang berkembang di komunitas ini adalah pengobatan cerebral palsy dengan menggunakan minyak CBD (cannabidiol) yang dihasilkan dari tanaman ganja, seperti yang dilakukan Thailand, Australia, bahkan Malaysia. Pengobatan kejang-kejang pada penyandang CP dengan menggunakan minyak CBD ini menurut berbagai penelitian dapat mereduksi intensitas kejang hingga separuhnya. Namun sayangnya ganja, bahan baku utama minyak CBD masih dilarang oleh Pemerintah RI karena termasuk narkotika golongan satu.
Pengetahuan mengenai manfaat ganja untuk medis sendiri di Indonesia telah berkembang dalam beberapa tahun belakangan. Prof. Musri Musman, seorang peneliti dari Universitas Syah Kuala telah melakukan penelitian pustaka dan mengumpulkan riset para peneliti dari beberapa negara sejak 2005 mengenai kandungan senyawa kimia yang ada dalam tanaman ganja (Cannabis sativa).
Dalam referensi yang dikumpulkannya, disebutkan bahwa penggunaaan ganja untuk pengobatan harus dilakukan dengan dosis yang terukur dan bukan dengan dioles, tetapi diminum atau dimakan. Hal itu akan sangat efektif untuk merangsang saraf pusat pada penderita CP. Menurutnya, beberapa riset ilmiah yang pernah ia baca menjelaskan bahwa minyak CBD yang murni dihasilkan oleh ekstrak tanaman ganja mampu mereduksi dan mengendalikan kejang-kejang pada penderita CP dengan sangat efektif.