Awal Ramadan lalu, seorang YouTuber asal Bandung bernama Ferdian Paleka, membuat kesal banyak orang di jagat maya. Ia merekam aksi menjahili (prank) orang-orang yang ditemuinya, yakni memberikan sampah yang dikemas seolah-olah bingkisan sembako. Sejumlah waria turut jadi korban prank tersebut.
Unggahan rekaman video tersebut diprotes warga. Ferdian dan teman-temannya pun dilaporkan ke Polrestabes Bandung atas pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU ITE jo Pasal 310 KUHP. Mereka menjadi tersangka pencemaran nama baik.
Sempat beberapa hari buron, Ferdian akhirnya dicokok polisi pada 8 Mei 2020.
Tapi belum genap sebulan mendekam di tahanan, YouTuber kelahiran 1999 itu dibebaskan.
Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/ PUU-VI/ 2008, ketentuan dalam UU ITE tersebut hanya bisa diproses secara hukum apabila ada pihak yang mengadukan atau melaporkannya. Hal ini dikenal sebagai delik aduan (klacht delicten).
Menurut keterangan, ada empat waria atau transgender perempuan (transpuan) yang jadi korban kelakukan jahil Ferdian, tapi hanya dua yang secara resmi mengadukan perbuatan tersebut untuk diproses hukum. Keduanya telah mencabut aduan mereka.
Mencabut laporan dalam sebuah perkara delik aduan memang diperkenankan. Tapi apakah hal itu benar-benar dilakukan atas kesadaran penuh korban, mengingat dukungan agar kasus ini diproses secara hukum sangatlah besar. Maka sangat disayangkan apabila aduan tersebut dicabut karena faktor-faktor lain di luar keinginan korban.
Kasus ini menarik bila ditelaah dari perspektif korban. Kalau tidak mendapat banyak dukungan dari masyarakat agar Ferdian diperkarakan secara hukum, mungkin kedua korban yang resmi mengadukan pelaku tadi enggan membuat delik aduan ke polisi. Buktinya setelah pelakunya ditahan, mereka malah mencabut aduannya.
Di masyarakat, perlakuan keji terhadap transpuan banyak terjadi. Video prank Ferdian bukanlah satu-satunya. Olok-olok, diskriminasi layanan publik, bahkan sampai penganiayaan yang menyebabkan kematian adalah sejumlah perlakuan yang kerap diterima waria.
Posisi waria sebagai kelompok minoritas yang terpinggirkan merupakan salah satu faktor penyebab dijadikannya mereka sebagai objek tindakan tak beradab. Mereka pun rentan menjadi korban kejahatan.
Pelaku menyadari posisi korban yang, karena terpinggirkan (marginalised), akan membuatnya kesulitan menyeret pelaku untuk menjalani proses hukum. Posisi korban yang lemah sangat mungkin dimanfaatkan para pelaku untuk bisa lepas dari jerat hukum.
Kita sering menganggap, kerugian yang diderita korban terbayarkan atau terselesaikan dengan ditangkap atau ditahannya pelaku. Dalam penegakan hukum, korban merupakan unsur penting yang tidak hanya bertindak sebagai pelapor, tapi juga menentukan apakah pelaku dapat dijatuhi hukuman pidana atau tidak.
Bagi korban yang berasal dari kelompok rentan, perlindungan terhadap mereka tidak bisa diabaikan begitu saja. Intimidasi psikis maupun fisik sangat mungkin dialami selama proses hukum berlangsung. Pencabutan aduan terhadap Ferdian oleh kedua korban, atau terhadap kasus-kasus serupa sehingga proses hukum tidak dapat dilanjutkan, sangat mungkin terjadi atas pengabaian perlindungan saksi dan korban.
Sistem hukum pidana Indonesia menjamin perlindungan terhadap saksi maupun korban dalam proses peradilan hukum pidana melalui UU RI No. 31 Tahun 2014 jo UU RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tujuan UU ini supaya saksi dan korban dapat terbebas dari rasa takut dan ancaman saat mengungkapkan suatu tindak pidana.
Walaupun demikian, pakar hukum pidana Unpad, Nella Sumika Putri merasa kelompok minoritas, khususnya waria, sejauh ini belum mendapatkan cukup perlindungan dalam menyelesaikan berbagai kasus hukum yang mereka hadapi.
Menurut Nella, dibebaskannya Ferdian Paleka bisa menjadi preseden bahwa prank terhadap kelompok minoritas dan terpinggirkan, yang dianggap tidak akan mampu memperkarakan pelaku secara hukum, tetap bisa dilakukan.
Maka, tindakan korban prank sembako sampah yang mengadukan penghinaan terhadap mereka kepada penegak hukum merupakan langkah maju, imbuh dosen FH Unpad ini. Hal ini menunjukkan kesadaran yang semakin baik bahwa mereka juga bagian dari masyarakat. Di depan hukum, semua warga negara memiliki hak yang sama untuk mendapat perlakukan yang adil, tidak diskriminatif.
Penyandang gelar doktor hukum pidana itu berharap, kejadian ini bisa menjadi titik balik tidak hanya bagi transpuan dalam mendapat perlakukan setara sebagai pemenuhan hak-hak warga negara di hadapan hukum.
Menurutnya, penguatan masyarakat yang menjadi korban dan saksi sebuah perkara pidana harus disertai dengan upaya perlindungan hukum yang memadai. Dengan demikian, mereka dapat leluasa memberikan keterangan dalam tiap tahapan proses peradilan. Untuk itu, UU Perlindungan Saksi dan Korban harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen.