close
Eman-HWC

Memiliki tubuh sempurna memang keinginan semua orang. Dalam jenjang kehidupan, manusia menginginkan kesempurnan dimulai dari masa kecil, muda, dan hingga menjadi tua. Apa jadinya jika manusia tidak memiiki bentuk tubuh yang sempurna atau cacat?

Perasaan manusia tentang kesempurnaan bentuk harus dicederai oleh kenyataan bahwa cacat menjadi masalah besar untuk menjalani hidup. Tetapi Eman Sulaiman membuktikan bahwa cacat tidak membuatnya putus asa dan mengasingkan diri dari masyarakat. Eman berdiri walaupun tidak memiliki kaki, memerintahkan rekan setimnya untuk konsentrasi saat bermain sepak bola di Lapangan Street-Soccer Bawet, Bandung.

“Jaga, jaga, jaga!” teriaknya.

Eman Sulaiman, laki-laki kelahiran Majalengka, 7 Februari 1988 ini seorang difabel (differently able) sejak lahir. Kaki kanannya hanya mencapai pergelangan sekitar mata kaki sedangkan kaki kirinya sebatas lutut.

Awal mula menerima takdir seperti ini tentu berat bagi siapa pun tak terkecuali Eman. Olok-olok saat di sekolah dan dari masyarakat kerap membuatnya sakit hati. “Ahh sia buntung! (Ahh dasar buntung!),” salah satu dari banyak makian padanya saat sekolah.

Sepak bola adalah olahraga rakyat yang mendunia. Di mana pun dan siapa pun bisa memainkan si kulit bundar. Tidak peduli ras, agama, jenis kelamin, difabel, atau gembel sekalipun.

Semua orang berhak bermain bola, sepak bola milik semua orang bukan hanya milik FIFA seperti yang telah diterangkan Wakteum PSSI, Hinca panjaitan. “Sepak bola itu bukan milik masyarakat, tetapi milik FIFA yang dimainkan oleh masyarakat seluruh dunia, jangan salah kita,” terang Hinca dalam sebuah episode acara Mata Najwa.

Dalam film Kapten Tsubasa, keterangan sang kapten bahwa bola adalah teman, dan teman tidak akan pernah menyakiti, berlaku pada Eman. Sepak bola mengubah hidupnya. Awalnya sepak bola dikenalkan oleh kakaknya saat SD untuk sekedar bermain saling oper bola di ruang tamu rumahnya. Akhirnya Eman menjadi juara sekaligus pemain terbaik se-Kecamatan Maja, Majalengka pada 2016.

Baca juga:  Arini, Ibu Rumah Tangga yang Bangkit Meski Positif HIV

Pada 2010, Eman membuat sebuah klub bernama Majachelsea FC. Klub futsal yang awalnya hanya beranggotakan 3 orang, kini menjadi tim yang solid beranggotakan 12 orang. Saat kompetisi Segar Futsal Cup diselenggarakan di Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, mereka mengikutinya tanpa target yang muluk. Mereka sadar, masuk final saja sudah jadi sebuah prestasi bagi klub yang baru lahir. Namun siapa sangka, mereka memenangkan kejuaraan itu.

Nampaknya Majachelsea FC ‘ketagihan’ menjadi juara. Buktinya, mereka 3 kali menjuarai kompetisi kecamatan (2011, 2012, 2014) dan mencapai babak 8 besar Bupati Cup Majalengka 2015. Klub ini memang unik. Mereka tidak memiliki pelatih kepala atau pun manajer untuk mengatur tim. Mereka lebih mengedepankan kolektivitas, kebersamaan, dan rasa hormat satu sama lain.

Kondisi fisik tidak menyurutkan kemampuan pria penggemar Liverpool ini. “Saya tidak pernah merasa berbeda hanya karena cacat. Bukan jadi alasan untuk berkecil hati,” ujar Eman.

Eman mengingat ucapan gurunya saat SMP. “Kalau dengan kekurangan kamu terus minder, kamu tidak akan pernah maju,” kenangnya. Eman memegang teguh ucapan itu hingga sekarang, sebagai dorongan tanpa henti.

Siapa yang menyangka awalnya Eman bermain sebagai penyerang sebelum sekarang menjadi kiper? Saat itu orang-orang beranggapan dia tidak bisa apa-apa, sampai kemudian dia bisa mencetak gol. Saat ini posisi penjaga gawang adalah tugas utamanya.

Rumah Cemara tiap tahun mewakili Indonesia di kancah Homeless World Cup (HWC). Kompetisi sepak bola jalanan (street-soccer) internasional ini diikuti kaum miskin kota, pengidap HIV, anak jalanan, dan kaum marjinal lainnya dari seluruh dunia. Eman mengetahui HWC sejak 2014. Sebelumnya, dia menonton perjuangan Ginan Koesmayadi di HWC 2011 pada acara Kick Andy.

Baca juga:  PBB Laporkan, Rehab Narkoba Paksa Terus Beroperasi di Asia Timur dan Tenggara

Terinspirasi dari kegigihan Timnas Indonesia untuk HWC, Eman sering bercanda, “Kumaha mun urang main di Eropa ngawakilan Indonesia, nyak? (Bagaimana seandainya saya bermain di Eropa mewakili Indonesia, ya?)”.

Pada 2016, candaan itu menjadi kenyataan. Ucapan adalah doa, dan setiap doa selalu didengarkan Tuhan. Ya, Eman lolos seleksi Timnas HWC 2016. Sebelumnya tidak pernah ada dari kalangan difabel yang menjadi anggota Timnas Indonesia untuk HWC. Eman tergolong sebagai miskin kota dalam kriteria HWC. Kaum difabel memiliki Paralympic Games untuk kejuaraan olahraga dunia.

“Doa dari orang tua adalah kunci utama kesuksesan saya,” ujar penggemar Bima Sakti ini. Orang tua menjadi faktor penyemangat dan pemecah konsentrasi baik saat latihan maupun bertanding di training camp HWC. Tujuan membahagiakan orang tua adalah penyemangatnya sedangkan ingatan rindu bertemu terkadang membuatnya tidak berkonsentrasi.

Orang tua sejak kecil menekankan bahwa Eman tidak berbeda dengan orang lain. Sejak SD hingga lulus dari Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon, dukungan orang tua, saudara, pacar, dan teman-teman menjadi energi luar biasa baginya.

Bethany Hamilton, wanita kelahiran Hawaii, 8 Februari 1990 adalah seorang pemain selancar profesional yang memiliki satu lengan. Ia kehilangan lengan kirinya karena serangan ikan hiu pada 2003. Setelah peristiwa itu, putus asa, masa depan suram, dan ketakutan menghantui kehidupannya. Ia sadar, semuanya tidak sama seperti dulu lagi. Bahkan, ia tidak bisa main gitar lagi seperti dulu ketika sering tampil di depan publik untuk bernyanyi.

Baca juga:  Tentang Ekspor Ganja dan Kepanikan Kita

Namun, dengan dukungan penuh dari kedua orang tua dan kedua kakaknya, Bethany mulai pulih. Orang-orang terdekat yang ada di sekitarnya membantunya agar melihat dari sudut pandang yang berbeda dalam menyikapi kehidupannya.

Sebulan setelah kejadian itu, dengan semangat baru, Bethany kembali turun ke laut dengan papan selancarnya. Awalnya, ia memulainya dengan susah payah. Jika dulu untuk mulai berdiri di papan selancar dan menjaga keseimbangannya bisa diatur dengan dua tangan, sekarang ia hanya mengandalkan satu tangan.

Ia terus berlatih keras dengan kondisi barunya itu, tanpa mengenal putus asa. “When you fall in the impact zone, get up, because you never know what’s over the next wave,” ujar peraih juara pertama dua kali dalam National Scholastic Surfing Association (NSSA) National Competition 2004 dan 2005 ini.

Eman pun bukan tanpa kendala menjadi kiper. Terkadang kerikil di dalam lapangan membuat tapak kakinya sering terluka. Dia tidak pernah memakai sepatu seperti pemain lainnya.

Peraturan HWC mensyaratkan setiap pemain wajib mengenakan sepatu. Karena itu, Timnas HWC Indonesia membuatkan sepatu khusus untuk Eman. “Kurang nyaman sih memakai sepatu karena belum terbiasa, tetapi ini bukan kendala serius,” ujar bungsu dari 8 bersaudara ini.

Tidak menyerah dan terus mencoba dengan keras. Segala usaha akan menghasilkan hal terbaik seperti dalam penggalan lirik lagu “Fix You” dari Coldplay, “But if you never try, you’ll never know”.

Pledoi tentang kesetaraan dan hak asasi kaum difabel maupun termarjinalkan menjadi salah satu kampanye. Eman berujar, “Nih saya yang tidak sempurna saja bisa, kalian yang sempurna pasti jauh lebih bisa!”

Rizky RDP

The author Rizky RDP

Sering menulis dengan tangan kiri, tim rusuh di Rumah Cemara, Tramp Backpacker, passion pada sepak bola dan sejarah. sering berkicau di @Rizky91__

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.