Sepanjang 8-13 Agustus 2016, saya berkesempatan mengunjungi Cirebon, Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Denpasar untuk berdiskusi mengenai rencana revisi UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika). Rencana usulan pemerintah ini menjadi prioritas Program Legislasi Nasional DPR RI yang harus selesai pada 2016 ini.
Rumah Cemara (RC) dan Intuisi, Inc., sebuah perusahaan konsultan dan penelitian untuk penguatan komunitas, adalah penyelenggara rangkaian diskusi ini. Keduanya tergabung dalam kelompok diskusi Indonesia Cerdas NAPZA (dICerNA) yang bersama Komisi III DPR RI akan menyelenggarakan seminar nasional tentang revisi UU Narkotika. Seminar ini adalah tindak lanjut pertemuan dengan Komisi III DPR RI pada 19 Juli lalu.
Sebelum melakukan seminar nasional, dICerNA memerlukan masukan dari komunitas yang beragam dan tersebar di lima kota itu mengenai sejumlah aspek dalam UU Narkotika, di antaranya kesehatan, sosial ekonomi, dan hukum pidana.
Peserta diskusi adalah konsumen NAPZA ilegal. Peserta lainnya cukup beragam di masing-masing kota, di antaranya aktivis penanggulangan AIDS, praktisi bantuan hukum, konsumen narkotika medis (pasien), musisi, komikus, pembuat film, jurnalis, mahasiswa, dan keluarga konsumen NAPZA. Walaupun demikian, ada sejumlah kesamaan isi diskusi di kelima kota.
Di awal, sebagian besar memandang UU Narkotika merupakan sebuah produk jadi, pemberian (berkah), seakan ciptaan Tuhan yang tidak dapat digugat. Ada juga yang menyampaikannya sebagai ungkapan umum di masyarakat (common expression) bahwa, semua peraturan adalah baik, pelaksanaan atau implementasi di lapanganlah yang bermasalah.
Pandangan bahwa sebuah UU merupakan pemberian Tuhan menumpulkan kesadaran bahwa hal ini memiliki sejarah penciptaan atau hikayat. Jumlah peserta diskusi yang awam bahwa UU Narkotika berkaitan dengan pengesahan kesepakatan PBB oleh Indonesia lebih banyak lagi.
Maka ketika rencana revisi UU Narkotika digulirkan dalam diskusi, pendapat yang paling lantang diungkapkan adalah soal perbaikan implementasinya. Perbaikan ini terutama ditujukan untuk kebobrokan moral aparat sehingga terjadi ketidakadilan dalam menentukan hukuman. Salah satu usulan untuk hal tersebut adalah adanya lembaga independen pengawas BNN seperti halnya Kompolnas untuk Polri atau Komisi Yudisial untuk hakim.
Konsumen NAPZA ilegal, aktivis penanggulangan AIDS dan NAPZA (harm reduction), serta praktisi bantuan hukum mengelaborasi secara empiris usulan perbaikan implementasi.
Namun, kelompok ini justru yang paling frustrasi dengan upaya-upaya penegakan hukum kasus narkotika. Kendati UU RI No. 35 Tahun 2009 dianggap lebih baik dari UU Narkotika sebelumnya, produk-produk hukum turunannya tidak diimplementasikan untuk menciptakan keadilan. Terutama soal rehabilitasi, putusan hukuman tergantung pada jumlah uang yang dimiliki tersangka.
Putusan rehab hanya untuk pemilik uang banyak. Implementasi UU macam itu terus-menerus berlangsung walaupun kebijakan turunan UU Narkotika untuk rehabilitasi sudah banyak diterbitkan: MA (2010), Kejagung (2013), Ketua MA, Menkumham, Menkes, Mensos, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BNN secara bersama (2014).
Karena frustrasi dengan penegakan UU Narkotika yang tak kunjung adil, beberapa peserta mengusulkan supaya komoditas ini ‘dilegalkan’ saja. Walaupun dengan taraf berbeda, hal ini disampaikan oleh seorang praktisi bantuan hukum di Malang seperti juga praktisi seni dan komunitas korban pelarangan NAPZA di Denpasar.
Usulan atas dasar rasa frustrasi tersebut tentu belum memiliki konsep yang tegas. Dalam diskusi, ujian terhadap usul ‘legalisasi’ tersebut datang dari para aktivis yang akrab dengan isu globalisasi. Mereka membenturkannya dengan kepentingan bisnis perusahaan-perusahaan farmasi multinasional (kapitalisme global) yang siap memasok narkotika ke Indonesia jika pelarangannya dihapuskan.
Karenanya, monopoli menjadi bentuk kebijakan yang lebih masuk akal bagi para penguji tersebut. Monopoli atau penguasaan pasokan narkotika oleh pemerintah menutup celah komersialisasi komoditas ini oleh korporasi. Di Malang, Surabaya, dan Denpasar, pasien metadon memberikan kesaksian dan menjelaskan secara empiris tentang monopoli NAPZA yang meningkatkan kesejahteraan pasien ketimbang perusahaan farmasi.
Empat hal menjadi catatan diskusi di kelima kota. Pertama, komunitas umumnya tidak menyadari bahwa pelarangan narkotika memiliki asal-muasal, tidak ujug-ujug ada, apalagi merupakan pemberian Tuhan yang tidak bisa digugat. Untuk urusan narkotika, hukum di Indonesia berasal dari konvensi internasional. Urusan kesepakatan internasional ini kerap dipandang sebagai sesuatu yang ‘tinggi’, kelas atas, atau canggih milik para diplomat.
Kedua, uraian sejarah akan mengungkap motif penciptaan sebuah produk hukum yang seharusnya melindungi manusia. Keberpihakan pada kelompok bisnis tertentu dalam kebijakan NAPZA dikaburkan dengan propaganda yang tujuannya stigmatisasi. Pendidikan narkotika umumnya merupakan sosialisasi ancaman hukum pidananya. Sejarah pemanfaatan, riwayat kebijakan NAPZA, serta cara mengurangi risiko konsumsinya masih jarang diajarkan.
Ketiga, kelompok yang selama ini menjadi korban penghukuman dan pengacaranya, karena memiliki pengalaman, dengan sangat percaya diri ingin memperbaiki implementasi UU yang sudah ada, bukan mengubah cara pandang terhadap persoalan. Mereka ingin mendapat keadilan melalui instrumen hukum yang saat ini justru menciptakan dan memelihara pasar gelap tersebut, yaitu pelarangan dan pemidanaan.
Akibatnya, mereka menjadi frustrasi karena tentu saja tidak mungkin ada keadilan (yang mereka cari dan upayakan) dalam skema ekonomi pasar gelap. Maka hukum yang membentuk skema ekonomi pasar gelap ini harus diubah. Kelompok ini harus sering diajak diskusi mengenai materi yang tidak terbingkai oleh hukum positif tentang NAPZA.
Peserta program terapi rumatan metadon di Malang, Surabaya, dan Denpasar menjelaskan mekanisme pasar monopoli narkotika secara empiris. Pengaturan seperti yang diterapkan pada metadon sangat mungkin dilakukan untuk zat-zat lain yang digolongkan sebagai narkotika di Indonesia. Hal itu dinyatakan dengan tingkat kepercayaan diri yang tak kalah tinggi dengan kelompok pengacara sehingga meyakinkan peserta diskusi lainnya.
Keempat, bentuk-bentuk kebijakan selain pelarangan untuk narkotika masih belum diketahui, apalagi dipahami. Karenanya, yang mengusung kebijakan narkotika alternatif kerap dicurigai sebagai antek-antek kapitalisme global yang ingin memuluskan bisnis mereka di suatu wilayah. Padahal, sudah banyak negara yang menerapkan kebijakan narkotika alternatif dalam dua dekade terakhir. Hasil-hasil kajiannya sudah banyak dilaporkan.
Salah satu kajian adalah peresepan heroin di Swiss yang terbukti melenyapkan pengedar-pengedar gelapnya sejak 1994. Mereka kebanyakan menjadi pengedar agar bisa membiayai konsumsi heroin yang dijual sindikat tanpa jaminan mutu dan harga. Dengan adanya program ini, mereka dapat mengonsumsi heroin yang mutu dan harganya terstandarisasi. Kematian akibat konsumsi NAPZA tidak pernah terjadi lagi sejak program ini diselenggarakan di sana.
Laporan kajian seperti contoh di atas perlu diperbanyak supaya menjadi rujukan utama khalayak mengenai narkoba. Selain itu, sejarah tentang adanya UU Narkotika di Indonesia perlu dikemas secara menarik sehingga membumi dan tidak terkesan ‘kelas atas’ milik kaum intelektual atau diplomat semata.
Membangun kesadaran komunitas bahwa mereka memiliki peranan untuk bisa memperbaiki kebijakan publik perlu terus-menerus dilakukan. Secara simultan, hal tersebut dilakukan bersama dengan membangun kesadaran komunitas dalam demokratisasi di Indonesia.