Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan diputuskan Rapat Paripurna DPR RI besok, 14 Februari 2018, akan menentukan masa depan program penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia. Rumah Cemara mencatat sejumlah hal penting bila RKUHP disahkan dan akan menjadi awal kegagalan program penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia.
Indonesia adalah negara ketiga dengan jumlah infeksi HIV baru terbesar di Asia dan Pasifik di bawah India dan China, 48.000 infeksi baru pada 2016. Dengan perkiraan 620.000 orang dengan HIV-AIDS (ODHA), hanya 35% orang yang telah mengetahui status HIV-nya dan 13% orang yang telah mendapatkan pengobatan Anti-Retro Viral (ARV). Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat tertinggal dalam pencapaian the 2016 Political Declaration on Ending AIDS yang menargetkan 90% orang mengetahui status HIV-nya, 90% ODHA telah mendapat pengobatan ARV, dan 90% ODHA yang telah mendapatkan pengobatan ARV memiliki jumlah virus yang ditekan.
Dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019 Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, ditetapkan Target Tujuan 5 mengenai Penciptaan Lingkungan yang Mendukung. Berdasarkan target tujuan ini, pemerintah bersama dengan masyarakat sipil harus berperan secara signifikan dalam upaya penanggulangan HIV-AIDS. Mengubah aturan perundangan yang bersifat menghukum akan kontraproduktif dan menghambat akses dan menimbulkan permasalahan hak asasi manusia serta ketidaksetaraan gender, stigma, dan diskriminasi pada populasi kunci dalam penanggulangan AIDS.
Beberapa ketentuan RKUHP yang bersifat menghukum dan menghambat segala upaya penanggulangan HIV-AIDS tersebut terdapat dalam Bab XVI Tindak Pidana Kesusilaan, khususnya pada bagian-bagian di bawah ini,
Mempertunjukan Pencegahan Kehamilan. Pasal 481 RKUHP menyatakan, “Setiap orang yang tanpa hak mempertujukan suatu alat untuk mencegah kehamilan, secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, atau secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjukan untuk dapat memperoleh alat pencegahan kehamilan tersebut, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I”.
Pasal 483 RKUHP menyatakan, “Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 481 dan Pasal 482 jika perbuatan tersebut dilakukan petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana dan pencegahan penyakit menular”.
Zina dan Cabul Sesama Jenis. Pasal 484 Ayat 1 menyatakan, “Dipidana karena zina, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun untuk, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan (Huruf E).
Pasal 495 Ayat 1 RKUHP menyatakan, “Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain yang sama jenis kelaminnya yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun”.
Sementara Pasal 495 Ayat 2 RKHUP menyatakan, “Dipidana dengan pidana yang sama ditambah dengan sepertiga jika perbuatan cabul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara seks oral atau seks anal atau semua bentuk pertemuan organ non-kelamin dengan alat kelamin yang dilakukan secara homoseksual”.
Prostitusi Jalanan. Pasal 489 RKUHP menyatakan, “Setiap orang yang bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau di tempat umum dengan tujuan melacurkan diri, dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I”.
Tindak Pidana Narkotika. Selain pasal-pasal tersebut di atas, tindak pidana narkotika juga disepakati masuk dalam Tindak Pidana Khusus yang diatur oleh RKUHP. Masalah yang kami nilai akan timbul adalah, Kepastian Hukum khususnya bagi konsumen narkotika.
UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menerapkan teori double track system bagi pengguna narkotika, yang di dalam pengaturannya terdapat dua jenis pemidanaan yang berbeda yakni Pidana Penjara dan Rehabilitasi. Salah satu tujuan penerapan UU Narkotika yang tercantum dalam Pasal 4 Huruf D adalah “Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu Narkotika.”
Rumah Cemara mencatat sejumlah dampak yang potensial muncul dari kriminalisasi RKUHP yang berorientasi penjara ini pertama, pada beban anggaran negara di rumah tahanan negara (rutan) dan lembaga permasyarakatan (lapas) yang semakin meningkat. Kedua, peningkatan pemenjaraan pada populasi kunci yang dapat dipastikan berbanding lurus dengan meningkatnya prevalensi HIV di lapas dan rutan.
Ketiga, risiko semakin buruknya tingkat kesehatan di lapas dan rutan seiring dengan meningkatnya jumlah narapidana dan tahanan yang berdampak pada menurunnya kualitas hidup penghuni lapas dan rutan. Keempat, peningkatan kerentanan gangguan kesehatan yang dapat berdampak pada peningkatan infeksi penyakit menular seksual, gangguan mental/psikis dan krisis psikiatri.
Kelima, meningkatnya risiko penularan HIV yang semakin besar sebagai dampak dari kriminalisasi terhadap populasi kunci yang akan semakin menyulitkan pencapaian target 90-90-90. Keenam, dampak dari poin nomor 5 di atas adalah, semakin banyak orang-orang yang tidak mengetahui status HIV-nya dan semakin sedikitnya ODHA yang mendapatkan pengobatan yang berarti semakin meningkat infeksi baru dan tingkat kematian.
Dengan menerapkan RKUHP yang ada saat ini, kegagalan program penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia berdasarkan poin-poin di atas menjadi keniscayaan.
Karena itu, Rumah Cemara menuntut untuk pertama, dihapuskannya pasal-pasal di atas karena tidak berpihak kepada kelompok marginal dan rentan, terutama pada perempuan, anak-anak, ODHA, kelompok minoritas (agama, kepercayaan, gender, identitas berbeda), dan kelompok marginal lainnya.
Kedua, menolak dimasukannya pengaturan mengenai Tindak Pidana Narkotika ke dalam RKUHP. Ketiga, penerapan RKUHP yang ada saat ini akan mengancam program pemerintah terutama terkait target mengakhiri AIDS di tahun 2020 & 2030, dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) untuk menyejahterkan rakyat terutama dalam aspek kesehatan, pendidikan, dan sosial.