close
FeaturedKebijakan

Setelah Thailand, Negara Mana yang Akan Legalkan Ganja di Asia?

cannabis-in-a-pill-ss-1_660
Ilustrasi ganja untuk pengobatan (Foto: Pharmaceutical Journal)

Konsumsi, penjualan, dan penanaman ganja untuk pengobatan telah diizinkan melalui perubahan UU Narkotika di Thailand. Perubahan tersebut disahkan parlemen Negeri Gajah Putih itu 25 Desember 2018 lalu.

Menurut Biro Pengendalian Narkotika Thailand, obat-obatan berbahan baku ganja nantinya diizinkan untuk merawat efek samping kemoterapi, Parkinson, epilepsi, multiple sclerosis, dan pengobatan tradisional untuk kanker. Melalui perubahan UU ini pula, dokter dan tabib yang izin praktiknya dikeluarkan Kementerian Kesehatan Thailand nantinya bisa meresepkan obat-obatan ini.

Akhir November lalu, Korea Selatan (Korsel) juga mengizinkan pemanfaatan ganja medis. Tidak seperti Thailand yang melegalkan budi daya ganja, revisi UU Narkotika Korsel hanya mengizinkan impor cannabidiol, zat nonpsikoaktif ganja yang memiliki efek medis.

Wacana ganja medis juga mengemuka di Malaysia saat masyarakat memprotes vonis mati seorang pria berusia 29 tahun yang menjual minyak ganja pada orang-orang yang menderita penyakit berat September lalu. Saat itu, banyak orang memperkirakan, Malaysia akan menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mengizinkan pemanfaatan ganja untuk obat.

Dikutip dari sejumlah pemberitaan, manfaat ganja dibahas dalam rapat kabinet. Kalau memang memiliki nilai medis, maka pengendalian obat-obatan berbahan baku ganja akan dilakukan oleh menteri kesehatan. Meski demikian, perdebatannya masih panjang. Yang sudah disepakati saat ini adalah penghapusan hukuman mati dari sistem hukum Malaysia yang diusulkan untuk segera disahkan parlemen. Ini menjadi catatan kemajuan tersendiri!

Selama ini, negara-negara di wilayah Asia terkenal gencar ‘memerangi’ narkoba. Korsel sendiri mengkritik kebijakan ganja rekreasional di Kanada yang disahkan tahun lalu. Pemerintah Korsel bahkan menghukum warganya yang ketahuan mengonsumsi ganja di negara-negara yang melegalkannya saat mereka kembali ke tanah air.

Thailand menggelorakan kembali “perang terhadap narkoba” pada 2003 yang merenggut ribuan nyawa dan memenjarakan lebih dari 50 ribu orang hanya dalam beberapa bulan. Karena kebijakan tersebut, saat ini populasi narapidana di Thailand merupakan yang terbanyak keenam di dunia. Human Rights Watch menyoroti tindakan keras pada waktu itu sebagai ancaman besar terhadap supremasi hukum dan demokrasi di negara itu.

Baca juga:  Kenapa Berita soal HIV-AIDS Kota Bandung Bikin Heboh?

Di Filipina, 12 ribuan orang diperkirakan mati dibunuh dalam penerapan kebijakan antinarkoba Rodrigo Duterte sejak ia terpilih sebagai presiden pada 2016. Ratusan ribu lainnya dipenjara atas konsumsi dan kepemilikan narkoba.

Sebenarnya Filipina sudah menghapus hukuman mati untuk kejahatan narkoba pada 2006. Duterte menembak mati belasan ribu tersangka pengedar narkoba di luar sistem hukum (extrajudicial killing). Di kawasan Asia, selain Filipina, hanya Nepal, Buthan, dan Kamboja yang tidak memberlakukan hukuman mati dalam kebijakan narkobanya.

Vonis mati atas kasus narkoba di Indonesia masih terus dijatuhkan pengadilan sampai sekarang walaupun eksekusi mati terakhir dilakukan pada 2016. Pada September 2018, 117.282 terpidana narkoba meringkuk di seluruh lembaga pemasyarakatan di Indonesia yang berkapasitas 126.078 penghuni.

Berton-ton ganja kering disita polisi sebagai barang bukti. Ratusan hektar lahan ganja pun dibumihanguskan tiap tahunnya. Tapi, ganja tetap dikonsumsi dan diperjualbelikan di Indonesia. Di antara narkoba lain yang dilarang, ganjalah yang paling banyak dikonsumsi.

Badan Narkotika Nasional memperkirakan kebutuhan tahunan ganja bagi 1,99 juta konsumennya di Indonesia sebanyak 134,83 ton pada 2014. Karena ilegal, masih sangat jarang yang memanfaatkan ganja untuk pengobatan di sini. Kebanyakan konsumsi ganja di Indonesia untuk rekreasi.

Sama dengan di Indonesia, konsumsi ganja di Thailand punya riwayat panjang. Selain untuk rekreasi, ganja dimanfaatkan untuk masakan dan pengobatan. Jenis ganja khas di sana bernama “Thai stick” yang di Amerika dipopulerkan oleh serdadu Perang Vietnam.

Pada 1934, Thailand mulai memidanakan budi daya ganja. Hukuman untuk tiap batang pohon yang tertangkap kala itu tidak lebih dari satu tahun penjara. Barulah pada 1979, Thailand mengesahkan UU Narkotikanya yang melarang pemanfaatan segala bentuk ganja. Siapapun yang tertangkap menanam dan memperjualbelikannya, dikenai hukuman 2-15 tahun penjara dan denda sampai Rp500 jutaan (U$40.000), termasuk hukuman mati.

Baca juga:  Antara Cinta dan Pemidanaan Ganja

Kebijakan ganja medis Thailand yang disahkan akhir tahun lalu tidak terjadi secara tiba-tiba. Pada 2016, Menteri Hukum Paiboon Koomchaya mengusulkan dekriminalisasi dan pengaturan ganja serta kratom, tanaman asli Thailand yang memiliki efek seperti opioid. Usulan itu dilandasi pandangannya bahwa hukum yang keras gagal menumpas kedua narkoba itu.

Pergeseran kebijakan di Thailand dan Korea Selatan untuk ganja mencerminkan cara pandang yang lebih terbuka. Ketimbang isu hukum pidana, mereka melihat ini sebagai isu kesehatan dan kesejahteraan. Meskipun sikap keduanya tetap keras terhadap konsumsi ganja untuk rekreasi, kebijakan ganja untuk keperluan medis akan membantu perubahan narasi mengenai ganja di kawasan Asia.

Perubahan sikap bisa dilihat dari yang dilakukan Kepolisian Thailand terhadap 100 kg ganja yang berhasil mereka sita sebagai barang bukti September lalu. Alih-alih memusnahkan, mereka menyerahkannya kepada peneliti yang membutuhkan ganja berkualitas tinggi untuk dijadikan obat dan produk farmasi lainnya.

Ketua Government Pharmaceutical Organization yang bernaung di bawah Kementerian Kesehatan Thailand, Sophon Mekthon menjelaskan, kualitas dan jenis ganja sangat bervariasi. Mereka butuh ganja lokal maupun impor yang cocok untuk tujuan pengobatan. Karena budi daya ganja masih ilegal ketika itu, para peneliti mendapatkannya dari polisi.

Bila pemanfaatan ganja tidak diizinkan, para peneliti tentu akan kesulitan melakukan uji klinis berbagai ekstrak ganja yang telah mereka hasilkan di laboratorium. Saat ini, memang sudah terdapat banyak hasil penelitian di jurnal-jurnal medis terkemuka yang membuktikan khasiat ganja bagi berbagai macam kanker. Tapi sebagian besar diuji pada sel-sel kanker yang tumbuh di laboratorium, bukan langsung pada manusia.

Selain untuk manfaat medis, para peneliti dan aktivis reformasi kebijakan narkoba di Thailand juga meyakinkan pemerintah bahwa menghapus pelarangan budi daya dan penjualan ganja akan meningkatkan pendapatan negara.

Baca juga:  Pasien tetap Bayar Jutaan Rupiah untuk Obat Generik Hepatitis C

Misalnya di Michigan, AS. Di sini terdapat hampir satu juta konsumen ganja. Pemanfaatan ganja untuk keperluan medis di Michigan disahkan pada 2008. Hingga Oktober 2018, sebanyak 297.515 pasien ganja medis terdaftar di sana. Atas potensi tersebut, negara bagian ini mengesahkan konsumsi ganja untuk rekreasi pada 6 Desember lalu.

Dengan disahkannya kebijakan tersebut, Michigan akan memperoleh pendapatan dari pajak penjualan ganja sebesar $130 juta atau setara Rp1,84 triliun per tahun. Selama ini, pendapatan Michigan dari ganja lebih sedikit dibanding Colorado yang jumlah penduduknya 3 juta lebih sedikit dan telah mengizinkan ganja untuk rekreasi 2012 lalu. Nantinya, pendapatan ini akan digunakan untuk perbaikan jalan, sekolah, dan infrastruktur perkotaan.

Negara-negara bagian di AS menarasikan ganja medis untuk perubahan kebijakan narkoba. Maklumlah, AS adalah negara yang memelopori “perang terhadap narkoba”. Sampai saat inipun, hukum nasional di sana masih menempatkan ganja dalam daftar narkoba terlarang. Polisi narkobanya (DEA) masih melancarkan operasi di negara tetangga seperti Meksiko atau Kolombia. Bahkan DEA juga punya kantor di Bangkok, Thailand.

Perubahan kebijakan narkoba, khususnya soal ganja, yang sedang berlangsung di Thailand tak terlepas dari perubahan serupa di Amerika dalam sepuluh tahun terakhir. Laporan-laporan penerapan kebijakan ganja di sana menunjukkan hasil positif terutama pergeseran kendali serta pendapatan besar dari organisasi kriminal ke pemerintah. Izin memanfaatkan narkoba untuk kesehatan memudahkan penerimaan masyarakat dalam perubahan ini.

Dalam kerangka narasi tersebut, siapa sangka kalau ternyata Ridrigo Duterte yang bangga dengan extrajudical killing-nya terhadap belasan ribu tersangka bandar narkoba bersedia mengesahkan aturan ganja medis di Filipina yang sudah diusulkan dalam sidang-sidang parlemen di sana sejak 2014?

Pertanyaan selanjutnya, negara mana lagi di Asia yang akan mengizinkan pemanfaatan ganja untuk kemaslahatan rakyatnya?

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

1 Comment

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.