Sungguh saya muak mengikuti berita-berita penangkapan pesohor atas dugaan kepemilikan narkoba. Pasalnya saat mereka dibawa ke kantor polisi untuk pengusutan lebih lanjut, konferensi pers segera digelar. Lalu para tersangka kasus narkoba itu menangis, menyesal, dan beberapa minta maaf ke publik saat itu juga.
Sepintas tak ada salahnya apa yang mereka lakukan. Boleh jadi itu merupakan bentuk penyesalan mereka karena tidak bisa menjaga diri saat mengonsumsi narkoba sehingga harus tertangkap polisi. Semestinya kalau lebih hati-hati, mereka tidak akan digelandang ke kantor polisi dan diumumkan ke publik lewat konferensi pers.
Masalahnya adalah, proses penangkapan oleh polisi dan diumumkan melalui konferensi pers belumlah membuktikan kalau mereka bersalah. Asas praduga tak bersalah tetap berlaku sampai mereka ditetapkan bersalah oleh hakim walaupun barang bukti kasusnya dipajang di konferensi pers.
Nunung yang ditangkap atas kepemilikan 0,36 gram sabu-sabu Juli 2019 lalu tidak hanya meminta maaf kepada Tuhan, keluarga, dan rekan-rekan kerjanya. Ia juga meminta maaf kepada masyarakat Indonesia. Permintaan maaf itu ia sampaikan di Polda Metro Jaya melalui sorotan kamera media.
Saya tidak menyalahkan Nunung karena meminta maaf, tapi….
Dengan kekayaan Nunung, belanja narkobanya tentu tidak perlu melanggar harta orang lain. Nggak mungkin lah Nunung mencuri uang teman kerja atau orang tuanya untuk beli sabu, terlebih mencuri uang dari orang yang tak dikenalnya. Saya tidak menemukan kerugian masyarakat atas konsumsi narkoba Nunung.
Malah boleh jadi, konsumsi sabu Nunung justru membantunya tetap produktif. Syuting terus bisa berjalan dan rekan-rekan satu timnya juga diuntungkan karena proses produksi sesuai tenggat sehingga honor mereka dibayar tepat waktu. Masyarakat pun terhibur dengan performa Nunung di layar kaca.
Kalau konsumsi narkoba Nunung tidak merugikan masyarakat, lain hal dengan kelakuan Setya Novanto (Setnov). Mantan Ketua Umum Golkar ini divonis kurungan penjara 15 tahun karena terbukti menggelapkan dana proyek KTP elektronik oleh Pengadilan Tipikor Jakarta 2018 lalu. Setnov jelas merugikan masyarakat. Atas kelakukannya itu, waktu pembuatan KTP di berbagai tempat jadi berlarut-larut.
Saya segarkan kembali ingatan akan drama KTP Elektronik Setya Novanto ini.
Pada 17 Juli 2017, KPK menetapkan Setnov sebagai tersangka karena diduga mengatur pemenang lelang proyek KTP elektronik pada kurun 2010-2011. Kerugian negara akibat kelakuannya itu mencapai 2,3 triliun rupiah.
Tidak seperti Nunung yang langsung dijemput paksa di rumahnya empat puluh lima menit pascapenangkapan kurir narkobanya, KPK butuh tiga kali penolakan panggilan terlebih dulu sebelum menjemput paksa Setnov di kediamannya, tepatnya pada 15 November 2017. Bodohnya, KPK gagal menangkapnya karena mantan Ketua DPR RI ini tidak ada di tempat.
Setnov akhirnya sukses digelandang ke markas KPK usai dijemput di RS Cipto Mangunkusumo lima hari pascapenggerebekan di rumahnya yang gagal tadi.
Sebagai buronan yang merugikan negara triliunan rupiah, keberhasilan penangkapan Setya Novanto tentu menarik bagi awak media. Saat keluar dari gedung KPK usai pemeriksaan, Setnov sempat dimintai keterangan oleh wartawan. Alih-alih menangis dan meminta maaf kepada publik seperti yang dilakukan Nunung atau Lucinta Luna, Setnov yang mengenakan rompi oranye tahanan KPK itu malah berniat melakukan perlawanan terhadap proses hukum yang dilakukan KPK.
Permintaan maaf kepada masyarakat seperti yang dilakukan Nunung maupun Lucinta Luna baru dilakukan Setya Novanto saat pembacaan nota pembelaan alias pleidoi. Sebagai informasi, pleidoi dibacakan terdakwa (atau kuasa hukumnya) setelah tuntutan dibacakan jaksa. Pleidoi sangat mungkin memengaruhi vonis hakim yang diputuskan pada agenda sidang selanjutnya.
Bagaimana tangis Setnov tidak pecah, ia dituntut jaksa kurungan penjara 16 tahun!
Tanpa maksud berburuk sangka, tangis dan permintaan maaf Setnov ke masyarakat di ruang sidang ia butuhkan demi memengaruhi vonis hakim pascatuntutan jaksa yang mungkin beratnya tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mungkin saja tangis dan permintaan maaf Nunung atau Lucinta Luna juga bermotif sama, supaya penegak hukum tidak menetapkan hukuman maksimal.
Tapi sekali lagi, konsumsi narkoba Lucinta atau Nunung tidak merugikan masyarakat. Mereka membeli obat-obatan dari kocek sendiri. Sedangkan Setnov?
Dari LHKPN di situs KPK, kekayaan Setnov yang dilaporkan saat menjabat Ketua DPR RI pada 13 April 2015 sebanyak Rp114.769.292.937 dan US$49.150. Jumlahnya naik dari Rp79.789.729.051 dan US$17.781 yang dilaporkannya pada 2009. Harta senilai itu antara lain berupa 16 bidang tanah, sebagian beserta bangunan yang tersebar di Jakarta, Bogor, hingga Kupang, juga lima unit mobil. Sebagian patut diduga berasal dari uang rakyat.
Meminta maaf kepada publik sambil menangis tidak perlu dilakukan Nunung, Lucinta, atau pesohor lain saat konferensi pers di kantor polisi atas kepemilikan narkoba untuk konsumsi pribadi. Masyarakat mungkin kecewa mengetahui ternyata idolanya mengonsumsi narkoba. Tapi kecewa tidak sama dengan dirugikan seperti apa yang telah Setnov perbuat kepada para pembayar pajak terutama yang hingga kini belum punya KTP elektronik.
Saat ini ada tren, saat menggelar konferensi pers atas keberhasilan pengungkapan kasus narkoba seorang pesohor, tersangka diminta memberi pernyataan setelah polisi selesai membacakan kasusnya. Ini kelakuan tak beradab, karena saat itu tersangka tentu sedang dalam kondisi tertekan dan ketakutan.
Dalam kondisi demikian labil dan merasa bersalah, saat berbicara di depan banyak wartawan, tentu tersangka tak kuasa menahan tangis. Permintaan maaf pun terlontar secara spontan sebagai ucapan seseorang yang baru saja digelandang aparat penegak hukum berseragam lengkap (dan bersenjata) dengan kedua tangan diborgol dan dikenakan rompi tahanan.
Saat Lucinta Luna menangis dan meminta maaf di konferensi pers jajaran Polres Jakarta Barat sekitar dua minggu lalu, saya merasa tidak harus memaafkannya. Lucinta tidak mencuri uang saya untuk beli narkoba yang dikonsumsinya. Ia tidak merugikan saya sepeserpun dan mungkin juga hal yang sama dialami kebanyakan warga Indonesia. Jadi buat apa minta maaf, Lucinta?
Untuk menghentikan drama yang nampaknya digandrungi penegak hukum narkoba saat ini, saya usul supaya saat konferensi pers pascapenangkapan kasus narkoba, apalagi yang tersangkanya pesohor, polisi wajib melindungi tersangkanya dengan menolak permintaan wartawan agar tersangka memberi pernyataan. Apalagi siapa yang tahu kalau ternyata tersangka masih berada di bawah pengaruh narkoba sehingga permintaan maafnya tidak dilakukan secara sadar.
Kalau dalam keadaan sadar, mereka mungkin akan menyatakan berniat melakukan perlawanan terhadap proses hukum yang dilakukan polisi narkoba seperti yang disampaikan Setnov saat dimintai pendapat oleh wartawan. Setnov yang menggunakan uang rakyat untuk memperkaya diri sendiri saja berani bilang begitu, apalagi pesohor yang tertangkap atas kepemilikan narkoba yang dibeli pakai uang sendiri!
Terakhir. Polisi boleh saja menggelar konferensi pers segera setelah pengungkapan sebuah kasus kejahatan, karena itu merupakan prestasi mereka yang perlu diketahui orang banyak – biar segera naik pangkat ya, Pak, Bu? Tapi demi menjunjung asas praduga tak bersalah, polisi tidak seharusnya menghadirkan sosok tersangka apalagi mengizinkannya menyatakan pendapat saat konferensi pers.
Jadi, Nunung, Lucinta, permintaan maaf kalian saya tolak yes!