Zat-zat psikoaktif yang dikonsumsi di luar ketentuan medis, lazim disebut sebagai “penyalahgunaan obat”, mulai sering diberitakan di tanah air sejak akhir 1980-an. Ketika itu, media massa yang jumlahnya masih sangat terbatas memberitakan 3,4-methylenedioxy-methamphetamine (MDMA) yang didatangkan dari Belanda. Maklumlah, pada dekade 1970-1980-an, konsumsi rekreasional narkoba jenis ini marak di kelab-kelab dansa Amerika dan Eropa[1].
MDMA adalah nama generik sebuah narkoba sintetis yang berkhasiat mengubah suasana hati dan persepsi konsumennya, menghasilkan perasaan berenergi yang meningkat, euforia, kehangatan emosional, serta persepsi sensorik dan waktu yang terdistorsi. Nama jalanannya antara lain ekstasi atau molly.
Selain pernah diteliti militer AS pada 1950-an, MDMA tercatat digunakan oleh lebih dari seribu praktik psikoterapis pribadi di Amerika Serikat di awal 1980-an[2].
Informasi mengenai apa itu pil ekstasi, apa kandungannya, dan manfaatnya, adalah apa yang menjadi bahan liputan media massa Nusantara mengenai pil yang sedang digandrungi para penikmat hiburan malam sejagat zaman itu. Menariknya, sistem hukum pidana di Indonesia tidak mampu menjerat baik para pemasok maupun konsumen pil ekstasi, juga sabu-sabu (metamfetamina kristal), yang pasarnya makin marak di kota-kota besar Indonesia.
Sebelum 1997, pemasok ekstasi dan sabu-sabu beserta para konsumennya tidak bisa dipidana untuk kepemilikan kedua zat tersebut. Pasalnya, Indonesia belum meratifikasi Konvensi PBB mengenai Zat-zat Psikotropika 1971. Dengan demikian, aparat penegak hukum tidak dapat memidanakan kepemilikan zat-zat psikotropika. Sabu-sabu dan pil ekstasi adalah dua zat psikotropika yang paling populer di Indonesia dengan jumlah konsumen yang terus bertambah hingga saat ini.
Yang juga menarik adalah ketiadaan hukum pidana kepemilikan zat-zat psikotropika di Indonesia, padahal secara internasional, PBB sudah membuat kesepakatan aturan zat-zat psikotropika pada 1971. Pada masa itu, Indonesia baru meratifikasi kesepakatan PBB untuk obat-obatan narkotika 1961 dan menjadikannya sebagai UU Narkotika pada 1976. Tapi hukuman mati, UU tersebut sudah mengaturnya untuk kepemilikan jumlah tertentu narkotika di Indonesia. Sementara untuk urusan psikotropika, Indonesia tidak mengaturnya sama sekali.
Hampir secara bersamaan, pada 1990-an, putaw (heroin) yang didatangkan dari wilayah Segi Tiga Emas (Thailand, Myanmar, Laos) dan sabu-sabu yang berasal dari Filipina mulai marak dikonsumsi di kota-kota besar Indonesia selain pil ekstasi yang dari Belanda[3].
Karena berbagai jenis zat tersebut banyak dipasok, kematian-kematian akibat kelebihan dosis, khususnya heroin tidak dapat dielakkan. Kasus-kasus kematian yang terjadi mulai diberitakan. Kematian aktor Ryan Hidayat dan gitaris Bunga, Galang Rambu Anarki (1997) menjadi satu penanda waktu maraknya konsumsi heroin di negeri ini.
Pada masa itu, banyak bermunculan organisasi kemasyarakatan antizat-zat tersebut dengan nama-nama sangar. Sebutlah GANNAS (Gerakan Anti-Narkoba Nasional), GRANAT (Gerakan Nasional Anti-Narkotika), atau GERAM (Gerakan Rakyat Anti-Madat). Mereka menuntut pemerintah supaya lebih represif terhadap konsumsi dan pemasok zat-zat psikoaktif tersebut. Peran serta mereka diatur dalam UU.
Republik ini akhirnya mengesahkan UU Psikotropika pada 1997 dan menambah hukuman serta menggantikan UU Narkotika 1976 menjadi UU RI No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Sejak itu pabrik-pabrik atau laboratorium gelap ekstasi dan sabu-sabu di Indonesia mulai diungkap hingga kini. Tempatnya berkisar dari rumah toko, unit apartemen, rumah di perkampungan padat, hingga sel penjara[4],[5].
Berbeda dengan “narkoba tradisional” seperti ganja, heroin, atau kokain yang berasal dari tumbuhan, ekstasi dan sabu-sabu ini dihasilkan secara sintetis menggunakan seperangkat peralatan laboratorium yang dapat dikemas dan dipindah-pindah[6]. Bahan bakunya pun zat-zat yang bisa ditemukan pada bahan baku kosmetik, wewangian, obat flu dan batuk, hingga bahan bangungan[7],[8].
Tidak sampai di situ, awal 2017 lalu Kementerian Kesehatan RI menerbitkan peraturan tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Peraturan ini setidaknya menambah 49 zat narkotika golongan I, 5 zat narkotika golongan II, dan 1 zat narkotika golongan III yang terdaftar dalam Lampiran I UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Penerbitan permenkes ini amat erat kaitannya dengan zat-zat baru yang turut diberitakan seperti “tembakau super” berbagai merek yang dituduh sebagai ganja sintetis. Tembakau yang direndam dengan sejumlah cairan (terdaftar di Permenkes RI No.2 Tahun 2017) memang akhirnya memiliki efek psikoaktif. Dan barang siapa yang menguasainya tanpa hak, dipidana sesuai UU Narkotika.
Ada juga obat bernama Flakka (sudah terdaftar juga di Permenkes RI No.2 Tahun 2017). Di banyak saluran berbagi video, konsumen obat ini digambarkan sebagai orang yang agresif. Kerap disebut obat zombie.
Terlepas dari dahsyatnya efek konsumsi flakka, obat-obatan yang digolongkan sebagai new psychoative substances ini banyak yang bahan bakunya mudah ditemukan serta murah juga sintetis, yang berarti tidak bergantung pada musim tanam serta panen.
Di kasus Kendari, Sulawesi Tenggara, pertengahan September 2017 lalu, para remaja yang dilarikan ke rumah sakit bereksperimen dengan sejumlah obat yang memang dapat diperoleh secara sah di gerai-gerai farmasi. Namun, tetap harus sesuai prosedur seperti adanya resep yang mengindikasikan kebutuhan obat dan seterusnya. Mereka mendapatkan zat-zat tersebut dari oknum medis bukan dari jalanan.
Andai yang mereka konsumsi adalah flakka, tembakau super, atau minuman oplosan yang bahan-bahan bakunya bukan berasal dari pembuatan produk farmasi seperti bahan baku hexymer (obat parkinson) atau dextromethorphan (obat batuk), maka penyerahannya tidak dilakukan di gerai-gerai farmasi. Dan yang memberikan keterangan atas kasus keracunan konsumsi zat-zat tersebut, tentu bukanlah Badan POM.
Di sini saya ingin memberikan tekanan kepada media massa atas kejadian di Kendari pertengahan September 2017 lalu. Ada media yang lebay dan cenderung menakut-nakuti masyarakat, namun ada pula media yang menghadirkan farmakolog untuk menjelaskan apa itu sebenarnya PCC. Sebagai tambahan informasi, carisoprodol yang terdapat pada PCC (paracetamol, caffeine, dan carisoprodol) telah ditetapkan sebagai narkotika golongan I dalam Peraturan Menkes RI No. 7 Tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika.
Yang paling mengganggu dari kejadian Kendari tahun lalu itu adalah pesan teks yang dibagi di berbagai media sosial. Berisi seolah obat tersebut bisa diperoleh di kios dekat sekolah dasar dengan harga tidak kurang dari Rp500 per butir.
Di zaman isu yang ramai di media sosial dapat mengisi ruang-ruang pemberitaan konvensional, berbagai hoaks mengenai narkoba kerap diliput media-media massa ternama dengan motif yang pasti tidak untuk mencerdaskan, mendidik, atau memberi informasi objektif kepada masyarakat.
Motif yang kian lazim dijumpai dalam pemberitaan kasus narkoba adalah untuk mendongkrak popularitas satuan aparat dari penangkapan yang mereka lakukan. Tidak perlulah berton-ton narkoba di tengah samudera sebagai barang buktinya, cukup penangkapan di kamar indekos dengan barang bukti alat konsumsi dan narkoba yang tidak akan cukup untuk dikonsumsi oleh dua orang. Misalnya, hanya setengah linting ganja dan bong.
Sejumlah politikus juga punya motif yang kira-kira serupa dengan memberi komentar antinarkobanya di media massa atas penangkapan penyelundupan puluhan kilo narkoba atau seorang pesohor yang kedapatan memiliki narkoba untuk konsumsi pribadinya.
Antinarkoba merupakan sikap yang populer. Ini adalah cara murah bagi seorang politikus untuk memelihara konstituennya. Padahal, sikap inilah yang memungkinkan narkoba jadi bernilai tinggi karena pasokan dan permintaannya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, lalu tata niaganya kemudian dikuasai oleh sindikat kejahatan. Sikap antinarkoba secara sadar diambil oleh pihak-pihak yang pro status quo, oleh mereka yang selama ini mendapat keuntungan ketika narkoba menjadi komoditas terlarang.
Tentu ada banyak pula yang mengambil sikap ini hanya karena ikut-ikutan, hanya supaya populer dan disukai masyarakat. Mereka tidak sadar kalau sikapnya itulah yang membuat narkoba menjadi semakin berbahaya. Mulai dari biaya puluhan triliun rupiah per tahun yang dikeluarkan masyarakat untuk konsumsinya, kematian-kematian akibat bahan baku yang tidak terawasi, kelebihan populasi penjara, keterlibatan oknum dalam bisnis narkoba, hingga penyuapan aparat penegak hukum demi keringanan hukuman dan jaminan keamanan berbisnis.
Yang dibidik dari pemberitaan narkoba adalah informasi sensasional yang menakut-nakuti. Bahkan hoaks seperti permen narkoba yang mudah diperoleh di sekolah-sekolah sering pula diwartakan oleh media massa ternama. Celakanya, di balik berita-berita yang mengkhawatirkan masyarakat tersebut, terdapat pihak-pihak yang mendapat panggung untuk kepentingan pribadinya.
————————————————————–
[1] An Exploration of The History and Controversies Surrounding MDMA and MDA – Pentney AR. Journal of Psychoactive Drugs, 2001
[2] Rediscovering MDMA (Ecstasy): The Role of The American Chemist Alexander T. Shulgin – Udo Benzenhöfer, Torsten Passie. Addiction, 2010
[3] Narcotics Control Strategy Report. 2001. Indonesia Released by the Bureau for International Narcotics and Law Enforcement Affairs, U.S Department of State Washington, D.C.
[4] Penegakan Hukum Kejahatan Tindak Pidana Narkoba di Indonesia – Bareskrim Polri, 2014
[5] Menhuk dan HAM: Pabrik Narkoba di Lapas Cipinang, Memalukan! – Kompas.com, 8 Agustus 2013
[6] “Moving Meth Lab” Rolls Out New Problems – Joy Howe. WJBF, November 11, 2008
[7] Lampiran II Daftar Prekursor Narkotika – UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
[8] Methamphetamine: Fact vs. Fiction and Lessons from the Crack Hysteria – Carl L. Hart et al., 2014