Seminggu sekali Jo, 36 tahun, harus datang ke sebuah rumah sakit di Jalan Veteran, Bandung, untuk mengambil antiretroviral (ARV). Sejak Covid-19 mewabah di Indonesia, sediaan obat HIV tersebut menipis.
Sebelumnya, Jo dan kawan-kawannya yang hidup dengan HIV-AIDS biasa mengambil ARV untuk sebulan terapi. Bagi Jo yang sehari-hari berjualan online, datang seminggu sekali mengambil obat tidak terlalu masalah. Selain itu, rumahnya yang di sekitar Jalan Ahmad Yani, cukup dekat dengan layanan ARV sehingga ia punya waktu yang fleksibel untuk mengambil obat seminggu sekali.
Berbeda dengan teman-temannya, terutama yang berasal dari luar Bandung dan terikat dengan jam kerja perusahaan, banyak yang kesulitan mengalokasikan waktu seminggu sekali untuk mengambil obat.
Untuk keperluan mendesak, pengambilan ARV memang bisa diwakilkan atau melalui layanan pesan antar. Tetapi ada jadwal pemeriksaan dokter yang tidak boleh dilewatkan oleh pengakses layanan ARV seperti Jo dan teman-temannya.
“Teman saya ada yang dari Subang ngambil obat di sini, kasihan repot. Bagi pegawai kantoran juga susah harus izin seminggu sekali untuk ambil obat. Perusahaan pasti akan bertanya-tanya mengapa orang ini sering izin. Tapi bagi pengacara alias pengangguran banyak acara seperti saya sih tidak ada masalah,” kata Jo sambil berseloroh, saat ditemui di Bandung, Rabu, 9 September 2020.
Kelangkaan ARV sudah sering dialami Jo setahun terakhir, terlebih saat wabah covid-19 melanda. Padahal, obat itu penting dikonsumsi karena berfungsi menekan human immunodeficiency virus (HIV) yang ada di tubuhnya. Tanpa terapi ARV, virus HIV akan terus menggerogoti sistem pertahanan tubuh seseorang sampai orang tersebut sakit. Saat sakit itulah, ia masuk dalam fase Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), stadium akhir dari infeksi HIV.
Dengan menjalani terapi ARV, orang dengan HIV-AIDS (ODHA) bisa hidup sehat walafiat, produktif, dan bebas dari ancaman AIDS yang bisa mematikan. Dengan catatan, ARV harus dikonsumsi rutin setiap hari seumur hidup. Dengan begitu, ketersediaan stok ARV mutlak diperlukan bagi ODHA.
Namun belakangan, yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Hal ini tentu memengaruhi ODHA untuk disiplin menjalani terapi. Bagaimana mau disiplin jika stok ARV di layanan kesehatan terbatas?
Kelangkaan stok ARV ini sudah terjadi berulang dan berkali-kali disuarakan sejumlah organisasi yang bergerak di bidang HIV-AIDS. Pada 20 Maret 2020 lalu, misalnya, ketika pandemi Covid-19 mulai masuk Indonesia, LSM Indonesia AIDS Coalition (IAC) merilis minimnya stok ARV karena impor ARV dari luar negeri terhambat.
Impor terhambat karena ditutupnya maskapai penerbangan untuk mengurangi meluasnya pandemi Covid-19. Koalisi itu mendesak agar pemerintah segera mencari solusi, termasuk mendukung industri obat ARV dalam negeri. Indonesia tidak perlu lagi tergantung pada impor ARV serta terhindar dari kelangkaan stok obat yang dikonsumsi setiap hari oleh lebih dari 130 ribu ODHA.
Disiplin Minum Obat
Stok obat yang minim sangat memengaruhi ODHA untuk disiplin menjalani terapi ARV. Keterbatasan stok membuat mereka harus lebih sering datang ke layanan untuk mengambil obat, yakni seminggu sekali. Padahal mereka lebih nyaman jika diberi stok obat sebulan atau bahkan dua bulan sekali.
Jenis ARV yang bisa didapat juga berganti-ganti. Mulai dari yang satu paket terdiri dari Duviral, Evafirenz, Nevirapine, kemudian paket Tenofevir dan Atripla, dan ada juga yang yang lebih praktis, yakni satu tablet mengandung beberapa jenis ARV, yakni FDC atau fixed-dose combination.
Jo lebih suka mengkonsumsi FDC karena lebih praktis dan tidak ribet. “Kalau obat selain FDC itu pecahan, ada yang tiga jenis salah satunya diminum sekali dan dua kali sehari. Kalau FDC kan cuma satu obat tapi memiliki beberapa kandungan, lebih praktis dan nyaman,” katanya.
Tetapi sudah lama ARV jenis FDC kosong. Akibatnya, pasien diberi obat pecahan yang tidak praktis. Jo dan teman-temannya sering merasa tidak nyaman minum obat pecahan terutama jika berada di tempat banyak orang, seperti saat rapat atau saat bersama keluarga yang notabene mereka tidak tahu status Jo.
Jadwal minum obat juga tidak bisa ditunda. Jo biasa minum jam 23.00 setiap harinya. Tepat di jam tersebut ia harus minum obat, tidak boleh kurang atau lebih. Begitu setiap harinya selama seumur hidup.
Ketika sedang “terjebak” dalam lingkungan banyak orang, ia tidak mungkin minum obat yang banyak jenisnya itu di hadapan mereka. Berbeda dengan obat FDC yang mudah diminum tanpa ketahuan orang lain.
“Kalau minumnya sampai tiga obat, kebayang kan gimana saya harus mengeluarkan tiga botol obat lalu dibuka satu-satu. Kadang saya suka pura-pura ke toilet untuk minum obat,” kata Jo.
Jo tidak membuka status dirinya sebagai ODHA kepada teman-teman maupun keluarganya. Di keluarga, hanya ibunya yang tahu statusnya. Ibunya lah yang memberikan dukungan penuh kepada Jo agar disiplin berobat.
“Buat apa juga membuka status kita, toh seandainya dibuka pun malah khawatir menimbulkan stigma. Kalau saya membuka status saya kemudian mendapat support, ya saya mau membuka diri,” katanya.
Hal itu pula yang memberatkan teman-teman Jo untuk mengambil obat seminggu sekali. Teman-temannya yang kerja kantoran harus izin ke kantornya sebelum mengambil obat. Sekali dua kali, mungkin kantor akan maklum. Tetapi kalau izin tersebut rutin seminggu sekali, tentu perusahaan akan bertanya-tanya.
Mereka tidak mungkin berterus terang mau mengambil obat HIV mengingat belum semua perusahaan bisa menerima karyawan dengan status HIV positif.
Jo sendiri pernah kerja di sebuah hotell di Makassar, sehingga bisa merasakan apa yang dialami teman-temannya yang terikat jam kerja formal. Idealnya memang stok obat bagi ODHA dua sampai tiga bulan sekali, sedangkan konsultasi ke dokter cukup di bulan ketiga pengambilan.
Saat ini, pengambilan seminggu sekali membuat konsultasi dengan dokter pun seminggu sekali.
Sempat Nge-drop
Pada 2015 ketika ia bekerja di Makassar, Jo merasa kesehatannya menurun. Tubuhnya lemas dan letih, untuk jalan pun tak bertenaga. Ia juga diserang sesak napas. Lantas ia menjalani tes HIV yang hasilnya menunjukkan bahwa kadar Cluster of Differentiation 4 (CD4)-nya 17 sel per millimeter kubik darah (mm3).
“Dokter sampai keheranan dengan hasil tes CD4 saya, kok masih bisa bertahan,” kenang Jo.
CD4 disebut juga sel limfosit T atau sel T yang yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh alami. Sel T menjadi bagian sel darah putih yang bertugas melacak dan membunuh pathogen penyakit seperti virus, jamur, bakteri dan penyebab infeksi lainnya. CD4 pada sistem imun yang sehat terdiri dari 500 hingga 1.600 sel/mm3. Manusia yang punya CD4 di bawah 200 sudah masuk kategori bahaya.
Jo masih beruntung karena punya kenalan seorang aktivis LSM di bidang pendampingan ODHA di Makassar. Aktivis tersebut bernama Kak Ilham. Di masa darurat CD4 itu Jo diminta segera menjalani terapi ARV. Dengan angka CD4 yang hanya 17, diperkirakan Jo akan masuk fase AIDS.
Dari sebuah layanan kesehatan di Makassar, Jo mendapat obat pecahan ARV yang jenisnya sangat beragam mulai Duviral, Evafirenz, Nevirapine. Obat ini diminum dua kali sehari setiap 12 jam, satu obat ada yang diminum sekali. Ia juga pernah mendapat ARV jenis Nevirapine, Tenofovir dan Atripla.
Jo bukan orang Makassar. Saat sakit itu ia ingin pulang ke Bandung. Sebelum ke Bandung, Kak Ilham menyarankan agar ia banyak beristirahat supaya benar-benar pulih.
Keinginan untuk sehat membuat Jo harus disiplin minum obat. Pada awal-awal terapi ARV ia mengaku repot karena harus minum beberapa jenis obat.
Ia biasa minum ARV tepat setiap jam 11 malam. Menurut Kak Ilham, dalam kondisi tertentu ada toleransi keterlambatan sampai 30 menit, tetapi jangan sering-sering. Jo tidak mau mengambil risiko. Maka ia berusaha disiplin minum obat tepat waktu setiap pukul 11 malam dengan bantuan alarm di ponselnya.
Selama tiga bulan pertama mengonsumsi ARV, kesehatannya perlahan pulih. Sesaknya sudah hilang dan CD4-nya naik menjadi 100, kemudian 200, dan terakhir 370. Tiga bulan pertama itu ia masih merasa lemas, selanjutnya lemasnya hilang. Ia bisa pergi ke Bandung dan sampai sekarang menjalani terapi ARV di layanan kesehatan di Jalan Veteran.
Selama rajin terapi ARV, ia juga disiplin menjaga hidup sehat, selalu mengonsumsi buah dan sayuran, bila perlu minum suplemen vitamin, dan berusaha olahraga rutin.
Jo bukan aktivis HIV. Ia tidak bergabung dengan LSM mana pun. Bagi orang awam seperti dirinya, ketersediaan ARV di layanan kesehatan sangat penting. Ia sudah disiplin minum obat dan menjaga kesehatan, namun selalu khawatir dengan stok obat yang tidak stabil.
Apa pun jenis obatnya, menurutnya yang penting stoknya melimpah. Walaupun, ia berharap stok obat FDC yang lebih diutamakan, mengingat obat ini lebih praktis karena terdiri dari satu tablet dan memiliki beberapa kandungan. FDC bukan obat pecahan yang repot saat diminum.
Ketersediaan stok ARV di layanan kesehatan yang terus berkurang membuat ia harus menerima beragam jenis obat ARV. Padahal, ganti-ganti obat juga menimbulkan efek tidak nyaman pada beberapa pasien. Ada yang merasa pusing dan mual. “Teman-teman yang sering ganti obat efeknya ada yang mual. Saya, alhamdulillah tidak. Cuma suka pusing.”
Ia juga berharap tarif untuk mengakses ARV tidak naik. Saat ini ia harus mengeluarkan biaya Rp65.000 dalam mengakses ARV untuk konsumsi sebulan. Sempat muncul wacana tarif itu akan dinaikan menjadi lebih dari Rp100.000. Namun wacana itu tidak terjadi. Penelusuran Redaksi Rumah Cemara, tarif itu biasa dikenakan untuk biaya administrasi dan konsultasi dokter.
Jo sendiri tidak memakai BPJS karena sudah nyaman berobat dengan bayar langsung seperti sekarang. Jika ia memakai BPJS, ia khawatir akan mendapat rujukan ke layanan kesehatan lain yang belum tentu senyaman layanan kesehatan yang ia akeses saat ini.
Selain itu, teman-temannya bilang BPJS harus menyiapkan banyak dokumen atau persyaratan dan rujukan. “Saya orangnya tidak mau ribet. Tapi kalau tarifnya naik, mungkin saya juga akan pakai BPJS. Tapi mudah-mudahan jangan naik lah,” ujarnya.
Banyak yang Meninggalkan ARV
Stok ARV yang tidak stabil bikin ODHA sulit konsisten menjalani terapi. Data menurut Female Plus, jumlah ODHA Kota Bandung yang menjalani terapi ARV sekitar 3.000 orang. Mereka merupakan masyarakat umum seperti Jo. Kebanyakan mereka patuh menjalani terapi ARV. Sementara di Jabar jumlah ODHA yang menjalani ARV sebanyak 13 ribuan. “Itu ODHA on ART, ODHA lama maupun ODHA baru yang terapi ARV angkanya segitu,” kata Koordinator Lapangan Female Plus, Dwi Surya.
Sekitar 3.000 ODHA yang rutin terapi ARV di Bandung didampingi 25 orang pendamping sebaya (PS). Namun ada ratusan orang yang putus terapi ARV atau lost to follow-up.
Sebagai LSM yang bergerak di bidang pendampingan ODHA, Female Plus terus menjangkau para ODHA yang lost to follow-up. Alasan ODHA putus terapi ARV sangat kompleks.
“Yang lost to follow-up ada ratusan. Cuma itu nggak bisa langsung disalahkan. Gimana mau ke layanan, stok ARV-nya juga nggak ada. Jadi, PS sudah merujuk yang lost to follow-up ke layanan, di layanannya stok ARV-nya itu nggak ada. Berarti pasti layanan utamakan yang benar-benar terapi ARV. Karena kalau sudah rutin terapi ARV kan nggak mungkin berhenti,” katanya.
Dalam kondisi kekurangan stok ARV seperti saat ini, PS maupun layanan kesehatan biasanya akan memprioritaskan ODHA lost to follow-up yang benar-benar memerlukan, misalnya mengalami gangguan kesehatan. “Tapi kalau masih jagjag waringkas, sehat, mah layanan nggak akan ngasih,” katanya.
ODHA yang lost to follow-up ARV tidak akan langsung sakit. Berbeda dengan makan cabai yang begitu berhenti langsung terasa pedasnya. Efek dari berhenti ARV bisa bertahun-tahun sebelum akhirnya mendekati fase AIDS.
Namun orang lost to follow-up bukan semata-mata karena kekurangan stok obat. Banyak sekali faktor yang membuat ODHA berhenti terapi ARV, mulai faktor biaya, merasa diri sehat sehingga memutuskan berhenti terapi, capek berobat, apalagi harus bertahun-tahun menjalani terapi selama seumur hidup.
“Ada titik jenuh, ya namanya obat seumur hidup harus diminum tiap bulan harus ke layanan segala macam. Pasti masalahnya itu,” katanya.
Menurut Dwi, masalah kepatuhan ODHA terhadap terapi ARV dilatarbelakangi beragam isu. Misalnya waria, mereka kebanyakan terhambat menjalani terapi karena masalah ekonomi.
Masalah ekonomi juga dialami ODHA dari kalangan ibu rumah tangga. Mereka juga memilih memutuskan berhenti terapi karena pasangannya pun berhenti terapi.
Isu lain lain muncul dari kalangan pengguna narkoba suntik, heteroseksual, perempuan, laki-laki, LSL (lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki-red), dan lain-lain. “Isunya sangat beragam, beda-beda. Masalah perempuan dan laki-laki beda dengan LSL,” terang Dwi.
Terlepas dari itu semua, ketersediaan obat ARV adalah persoalan penting yang tidak bisa dikesampingkan. Ribuan orang menggantungkan kesehatan hidupnya pada ARV. Mereka adalah warga Indonesia yang sudah seharusnya mendapat jaminan kesehatan dari negara. *******