Program penanggulangan HIV-AIDS perlu menyasar kelompok perempuan di luar populasi kunci. Studi kualitatif Pusat Studi Penyakit Infeksi pada Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran memperlihatkan banyak perempuan di luar populasi kunci memiliki kerentanan serupa tertular HIV-AIDS. Struktur sosial yang tidak adil bagi perempuan ikut memperbesar kerentanan itu.
Studi bertajuk “Bagaimana Ketidakadilan Sosial Meningkatkan Kerawanan Transmisi HIV pada Perempuan: Studi Kualitatif dari Bandung, Indonesia” ini dipublikasikan jurnal internasional AIDS CARE pada 4 Agustus 2020. Jurnal tersebut menerbitkan penelitian multi disiplin terkait HIV-AIDS, termasuk di dalamnya perencanaan layanan, pencegahan, aspek sosial dan psikologis dari perawatan dan pengobatan.
Peneliti utama dalam studi ini, Annisa Rahmalia mengambil data dengan mewawancarai 47 perempuan dengan HIV serta menggelar diskusi kelompok dengan lima perempuan yang hasil tes HIV-nya negatif dan yang belum pernah tes HIV. Pengambilan data dilakukan pada 2017 lalu.
“Ada juga wawancara informal dengan dokter kandungan, bidan, dokter umum, serta lima konselor HIV guna mengeksplorasi layanan tes HIV dan reproduksi seksual,” kata Mawar Nita Pohan, peneliti lainnya yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi ketika diwawancarai Kamis, 10 September 2020.
Mereka menemukan ada penjelasan yang masuk akal mengenai paparan para respondennya pada HIV. Para perempuan yang jadi responden itu memiliki sejarah termarginalisasi dalam konteks norma sosial yang berlaku di masyarakat.
“Ada norma sosial yang membuat mereka tidak berdaya untuk keluar dari kondisi yang tidak normal secara sosial itu. Misal, perempuan yang sudah pernah melakukan hubungan seks luar nikah bakal dianggap tidak cukup baik buat menjalani kehidupan. Jadinya mereka merasa tidak ada pria baik yang bakal menginginkannya, itu dibentuk oleh norma sosial. Mereka jadi memarginalkan diri sendiri dan tidak ada daya buat keluar dari situ,” kata Mawar.
Perasaan termaginalkan itu muncul dalam hasil wawancara mereka. Ada delapan responden yang bercerai dan menikah kembali sebelum didiagnosa HIV. Keputusan untuk menikah kembali ini kerap berujung pada temuan hubungan seksual oleh suami barunya di luar pernikahan dan risiko HIV.
Mereka merasa harus menikah kembali agar pandangan sosial di masyarakat atas dirinya tidak menjadi buruk. Salah satu perempuan malah lebih memilih menikahi duda daripada bujang. Namun pada akhirnya, dia baru tahu kalau lelaki itu sudah memiliki istri lain setelah suaminya meninggal karena AIDS. “Dia merasa dirinya tidak cukup baik buat seorang bujang, jadi lebih memilih duda,” imbuh Mawar.
Perempuan yang berhubungan seks sebelum nikah secara suka sama suka juga harus menerima kenyataan saat didiagnosa HIV. Ada 17 responden yang menyatakan pertama kali berhubungan seks dengan pacarnya.
“Saya berhubungan seks dengan pacar waktu itu. Ketika saya menikah, saya merasa beruntung karena dia masih mau dengan saya meski tahu saya sudah tidak perawan. Jadi saat dia memberitahu kalau dirinya positif HIV, saya tahu saya harus menerimanya karena dia juga begitu saat menerima saya,” kata Rini, 38 tahun salah satu responden seperti dikutip dari jurnal tersebut.
Penelitian ini juga memaparkan enam perempuan yang mengalami pelecehan seksual berisiko terpapar HIV. Salah satunya, Mini, 37 tahun. Dia memandang dirinya sudah tidak berharga karena pelecehan seksual berulang oleh saudara tirinya sejak dia berusia delapan tahun.
“Saya merasa berdosa. Ketika saya bertambah tua, saya merasa seperti orang yang hancur. Saya merasa tidak berharga. Tidak ada orang baik yang menginginkan saya,” ujarnya kepada Annisa.
Pola pikir ini tertanam di benak Mini. Makanya, dia tidak segan mengencani pria yang sudah menikah, mengingat kondisinya yang tidak perawan. Seiring waktu, dia menikah dengan pengguna narkoba suntik. Saat keduanya didiagnosa HIV, Mini menyatakan hal itu pantas didapatnya.
“Karena kualitatif, dinamikanya jadi tinggi. Belum lagi masalah ekonomi. Saat disusur lagi, kejadian yang satu mengantarkan mereka pada kejadian lainnya,” imbuh Mawar.
Temuan penelitian ini mendapati perempuan yang pernah melakukan hubungan seks sebelum nikah bisa terdorong jadi pekerja seks. Beberapa perempuan malah dinasihati teman dekatnya untuk jadi pekerja seks karena kondisinya yang sudah tidak perawan. Kesempatan kerja yang terbatas, selain kerja pabrikan, jadi faktor pendorong bagi mereka untuk terlibat dalam kerja seks, seperti yang dialami oleh 10 responden.
Belum lagi, sambung Mawar, ada kebijakan yang diskriminatif untuk layanan kontrasepsi yang hanya bisa diakses oleh pasangan suami istri. “Kebijakan ini diskriminatif terutama buat perempuan,” ungkap Mawar.
Penelitian ini juga mendapati lima perempuan yang memilih menikah kembali karena alasan keuangan. Pola ini menempatkan mereka pada lingkaran perceraian dan pernikahan kembali yang kerap menggiring mereka pada paparan HIV.
Neni, yang disamarkan namanya, 40 tahun misalnya menikah hingga tiga kali. Pernikahan pertamanya saat dia berusia 15 tahun. Sebagai anak sulung dari enam bersaudara di keluarga miskin, Neni harus menerima perjodohan dengan kerabat jauhnya selepas lulus SMP.
“Saya hanya bertemu sekali sebelum pernikahan. Saya tidak mau menikah tapi orang tua memaksa karena itu bisa membantu keuangan mereka,” ujar Neni.
Hubungan seks pertama Neni terjadi di bawah paksaan suami yang usianya dua kali lebih tua darinya. Setelah beberapa bulan, Neni melarikan diri. Dia lantas didiagnosa positif HIV saat memeriksakan kehamilan dari pernikahan ketiganya.
Annisa memaparkan, kemiskinan disertai kekerasan dalam rumah tangga membuat respondennya berisiko HIV, seperti yang dialami Tati, 39 tahun. Perempuan ini terpaksa berhenti sekolah saat berusia 14 tahun dan menikah karena kondisi ekonominya.
Saat itu, orang tuanya terpaksa menerima lamaran dari pria berusia 20 tahunan. Kehidupannya tidak jadi lebih baik. Tati yang tidak pernah mendapat uang dari suaminya ini juga terpaksa pindah ke kontrakan yang lebih murah. Saat dia mendapati suaminya selingkuh, Tati malah jadi korban kekerasan. Suaminya menolak bercerai.
Tidak mau tergantung pada suaminya, Tati mencari pekerjaan. Akhirnya dia menemukan pria lain yang mau menafkahinya.
“Dia memberi uang Rp50 ribu setiap hari. Suami saya tidak pernah melakukan itu. Bahkan uang Rp10 ribu untuk membeli makanan saja sangat sulit. Saya sering merasa seperti pengemis harus meminta uang sama dia,” kata Tati sembari menambahkan pria itu kemudian meninggalkannya setelah dia hamil dan mengetahui dirinya positif HIV.
Dalam konteks perilaku berisiko seperti berhubungan seks bukan dengan pasangannya, tidak ada pilihan bagi perempuan untuk melindungi diri dari kehamilan tidak diinginkan. Sementara pria bisa lebih mudah mengakses kondom. “Perlindungan perempuan itu untuk konteks jangka panjang. Ada responden yang harus menghidupi anaknya hasil dari hubungan seks di luar nikah. Ada masalah sosial ekonomi yang mengantarkannya pada perilaku berisiko terpapar HIV,” tambah Mawar.
Dalam studi ini, Annisa sengaja merekrut responden yang sudah mengetahui dan mengakses layanan anti-retroviral (ARV) untuk pengobatan HIV-nya. Dia mewawancarai mereka guna menelusuri perjalanan hidupnya hingga terpapar HIV. “Aku merekrut responden yang beragam. Ada juga yang belum ARV, yang baru mulai atau baru mau mulai, sampai yang drop out. Tidak semuanya minum ARV teratur saat diwawancarai,” tutur Annisa.
Informasi tambahan mereka dapatkan lewat diskusi kelompok yang diikuti lima perempuan. Latar belakangnya, mereka berusia di bawah 20 tahun, menjadi pekerja seks tidak langsung karena memiliki pekerjaan utama lainnya, serta belum pernah melakukan tes atau hasil tes HIV-nya negatif.
“Mereka ini rentan secara ekonomi dan sosial sehingga terjebak praktik perilaku berisiko. Bukan jadi pekerjaan tapi dilakukan saat ada kebutuhan (uang). Prosesnya lewat diskusi kelompok agar mereka lebih nyaman dan mau terbuka membicarakan perjalanan hidupnya hingga memiliki risiko (terpapar HIV),” ujar Mawar yang menjadi fasilitator diskusi.
Studi yang mendapatkan bimbingan dari dokter spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Hasan Sadikin, Rudi Wicaksana, Professor Koen Peeters Grietens dan Professor Marie Laga dari Institute of Tropical Medicine, Antwerp, Belgia ini memperlihatkan ada kompleksitas faktor yang saling memengaruhi kerentanan perempuan terhadap HIV di Bandung.
Secara khusus, penyimpangan secara sadar dari norma-norma sosial seperti sejarah pelecehan seksual, hubungan seks sebelum dan di luar nikah, perceraian, atau pekerjaan seks membuka risiko tertular HIV bagi perempuan dari luar populasi kunci.
Annisa menambahkan, ketidaksetaraan sosial dan struktural seperti kemiskinan, kebijakan diskriminatif bagi pekerja seks, serta akses yang tidak setara dalam program kesehatan seksual dan reproduksi mempercepat mereka masuk jalur infeksi HIV. Upaya sosialisasi dan edukasi terkait HIV harus dilakukan secara cermat dan hati-hati.
“Penggunaan bahasa yang menilai perilaku tertentu dapat memperkuat marginalisasi,” terang Annisa dalam jurnalnya.
Dia juga menyatakan secara terbuka penelitiannya memiliki keterbatasan menyangkut pemilihan, pengambilan sampel, hingga proses pengumpulan data. Namun Annisa percaya ini adalah studi pertama yang menyelidiki titik temu antara karakteristik perempuan yang terinfeksi HIV di Indonesia dan kerentanan mereka dalam jalur pajanan HIV.
Strategi penanggulangan HIV dengan menjangkau populasi kunci merupakan prioritas. Namun perlu pendekatan dan penyesuaian juga untuk menjangkau mereka yang memiliki perilaku berisiko namun tidak terlihat di ‘permukaan’.
“Peningkatan akses pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi tanpa memandang status pernikahan. Memasukkan tes HIV dalam layanan tersebut bisa jadi kontribusi dalam pencegahan HIV di antara perempuan di Indonesia,” tutur Annisa.*******