Saat Rafli, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS), mengusulkan agar Indonesia mengekspor ganja, banyak orang nyinyir dengan usulan itu. Bagaimana opini Anda atas usulan tersebut?
Opini ini pertama kali dimuat di DW.com, 8 Februari 2020 dengan judul yang sama. Tautan: https://p.dw.com/p/3XM9j
Bahkan mereka yang berada di kubu liberal pun ikut nyinyir. Tapi menurut saya kenyinyiran kubu liberal itu lebih karena faktor ideologi yang berseberangan, ketimbang substansi masalah yang diajukan.
Ganja memang masih jadi isu sensitif di Indonesia, karena negara memidanakan tidak hanya penggunanya tapi juga tanamannya. Para pengguna ganja dipenjarakan, sementara tanamannya dimusnahkan. Atas dasar kajian ilmiah apa pemidanaan dilakukan, itu masih jadi misteri. Karenanya kenyataannya Indonesia belum pernah sekali pun melakukan penelitian ganja, dan tanaman ganja tidak boleh diteliti walau untuk kepentingan akademik.
Usulan Rafli adalah angin segar bagi terbukanya pemikiran dan kebijakan yang lebih fleksibel tentang ganja. Rafli bicara tentang kemungkinan potensi ekonomi yang besar dari ganja. Dia juga bicara tentang ganja yang bukan untuk mabuk-mabukkan, tapi ganja untuk medis. Semua itu dia usulkan karena di Indonesia, terutama di Aceh, ganja tumbuh subur secara alamiah, tapi Indonesia terlalu kaku melihat ganja.
Ingat kasus Fidelis?
Kita tahu dalam kasus Fidelis beberapa tahun lalu, di mana dia menanam ganja dan menggunakan ganja untuk pengobatan istrinya, sampai akhirnya dia dipenjara dan istrinya meninggal dunia. Itu adalah akibat dari begitu kakunya negara ini menggunakan hukum untuk sebuah tanaman yang oleh sebagian negara di dunia telah dilegalkan. Saya bersyukur ketika mendengar kabar, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), akan menggugat pelarangan ganja untuk medis ke Mahkamah Konstitusi. Saya baca, Lingkar Ganja Nusantara (LGN) pun akan melakukan hal yang sama.
Saya mendukung usulan Rafli, ganja seharusnya bisa dilegalkan untuk kepentingan medis dan farmasi, serta bisa meningkatkan pendapatan warga dan negara jika dikelola dengan baik. Saya juga percaya, dengan pelegalan ganja, para bandar narkotika akan kolaps. Begitu juga korupsi di aparat kepolisian yang terkait dengan pemberantasan narkoba akan berkurang drastis.
Apa sebabnya? Ketika negara mengkriminalkan pengguna ganja dan berbagai jenis narkotika lainnya, di saat yang sama angka prevalensi penggunaan narkotika di Indonesia tidak pernah turun, jika tidak bisa dikatakan terus meningkat. Saat narkotika semakin dilarang, harganya semakin tinggi, dan itu artinya bisnis menggiurkan bagi banyak orang.
Dalam penelitian Patri Handoyo, penulis buku “Menggugat Perang Terhadap Narkoba”, sebelum Indonesia meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika PBB 1961 pada 1976, nilai ekonomi ganja di Indonesia jauh di bawah tembakau dan kopi serta hanya menjadi penghalau hama kedua tanaman itu. Pascapengesahan kebijakan tersebut, ganja mulai dibudidayakan, menjadi tanaman utama, serta bernilai jauh di atas kopi dan tembakau.
Sebagai gambaran, berdasarkan penelusuran Patri, pada 2006, harga kopi Arabika per kilogram di Sumatera Utara Rp22.635, Robusta Rp9.802; daun tembakau per kilogram Rp7.580 ; dan ganja kering per kilogram dari kebun Rp300.000. Di pasar lokal Aceh harga ganja kering bisa menjadi Rp700.000, dan setibanya di pasar Jakarta harganya menjadi Rp2,2 juta. Perbedaan harga tembakau-kopi dan ganja sangat mencolok, sekitar 30 kali lipat.
Nilai ekonominya dibiarkan nol
Jika ganja tidak dilarang dan dibiarkan tumbuh liar, maka nilai ekonominya akan nol. Ketika ganja tidak memiliki nilai ekonomi, dan pada akhirnya sindikat kriminal akan kehilangan pasokan uang yang sangat besar. Dari situasi itu negara bisa memanfaatkannya untuk mengekspor ganja ke negara-negara yang membutuhkan.
Lalu bagaimana jika ganja dijadikan alat rekreasi oleh orang-orang? Itu pertanyaan yang pasti diajukan ketika membahas pelegalan ganja. Pertanyaan itu bisa dijawab dengan sederhana: apa salahnya jika orang ingin bersenang-senang dengan ganja? Karena sampai hari ini pun negara ini tidak pernah melarang orang bersenang-senang dengan kopi, rokok dan minuman beralkohol, padahal tiga zat itu sangat adiktif.
Dari pelegalan kopi, rokok, dan alkohol di Indonesia, kita bisa melihat sendiri tidak semua orang meminum kopi, merokok, atau meminum minuman beralkohol. Saya percaya orang Indonesia sudah dewasa untuk bisa memilih apa yang terbaik untuk diri mereka sendiri. Kampanye-kampanye yang menakutkan tentang ganja sudah saatnya dihentikan, dan di bawa ke meja diskusi secara terbuka. Juga sudah saatnya negara ini secara mandiri melakukan penelitian tentang manfaat ganja—juga dampak buruknya jika ada.
Kembali lagi kepada usulan Rafli, mari kita diskusikan usulan itu dengan pikiran terbuka dan kepala dingin. Walau datang dari kubu yang berseberangan, usulan yang berdampak positif pada kemanusiaan tidak seharusnya diabaikan—apalagi disikapi nyinyir.***