Seorang pedagang udang di Pasar Ikan Huanan, Wuhan, Tiongkok bekerja seperti biasa pada 10 Desember 2019. Tapi hari itu ia merasa demam. Ia memeriksakan dirinya ke puskesmas terdekat. Setelah diperiksa, perempuan berusia 57 tahun itu kembali beraktivitas di pasar. Saat itulah, ia diyakini menyebarkan virus korona di pasar ikan itu.
Sejumlah surat kabar Barat yang mengulas berita di harian lokal Tiongkok menduga, pedagang udang pemilik nama Wei Guixian itu merupakan “pasien nol” dari wabah korona yang menjangkiti kota Wuhan.
Meski kemudian, penelusuran yang dilakukan pemerintah Tiongkok mengidentifikasi kasus pertama covid-19 dialami seorang penduduk Hubei berusia 55 tahun pada 17 November 2019. Versi berbeda dinyatakan seorang dokter di RS Jinyintan Wuhan yang merawat beberapa pasien awal pengidap covid-19. Ia menyebut infeksi pertama terjadi pada 1 Desember 2019.
Saat itu musim dingin di Tiongkok. Wei Guixian mengaku, tiap musim dingin ia selalu menderita flu. Jadi tidak ada yang istimewa dari demam yang dialaminya hari itu. Hanya saja, ia merasa lelah bahkan setelah kunjungannya ke puskesmas sehari sebelumnya.
Merasa kondisinya tak kunjung membaik, esoknya ia kembali menyambangi puskesmas untuk menerima suntikan demi meredakan demam tinggi yang sudah dua hari dialaminya.
Kondisi kesehatan Wei setelah disuntik tidak berubah. Akhirnya ia pun datang ke RS Nomor 11 Wuhan. Tetapi, dokter di sana tidak mampu menjelaskan penyakit yang diidap pedagang udang ini. Mereka hanya meresepkan pil untuk meredakan gejala penyakitnya.
Bukannya sembuh, kondisi Wei makin memburuk. Ia merasa seperti tidak punya tenaga.
Tak puas dengan pengobatan yang diterima, Wei lantas memeriksakan diri ke RS Persatuan Wuhan, yang merupakan RS terbesar di kota itu, untuk mendapat opini pembanding (second opinion). Dokter di RS ini mengatakan kalau Wei menderita sejenis penyakit ganas. Gejala-gejala yang diderita Wei pun mulai dialami sejumlah orang di Pasar Ikan Huanan.
Pada 15 Desember 2019 atau lima hari pascapemeriksaan demam Wei yang pertama di puskesmas dekat pasar ikan, 27 kasus infeksi dengan gejala demam tinggi dan pneumonia yang kemudian disebut covid-19 dilaporkan. Wei salah satunya. Namun ketika itu, Pemerintah Tiongkok belum melaporkan kasus-kasus tersebut secara resmi. Para dokter bahkan dilarang mengungkapkan informasi tentang penyakit baru ini ke publik.
Li Wenliang (34), dokter mata di RS Wuhan, sampai-sampai dituduh menyebarkan hoaks karena memperingatkan rekan sejawatnya melalui aplikasi berbagi pesan supaya melindungi diri dan keluarga dari penularan virus korona baru. Sebelumnya, ia menerima foto laporan diagnosis seorang pasien dari Pasar Ikan Huanan yang positif terinfeksi SARS-CoV-2 penyebab covid-19. Polisi dan pejabat kesehatan Wuhan lalu meminta Li mengoreksi pernyataannya.
Sehari kemudian, 31 Desember 2019, otoritas kesehatan Tiongkok melaporkan penyakit yang diidap Wei Guixian beserta dua puluhan orang lainnya yang kebanyakan pedagang di Pasar Ikan Huanan ke WHO.
Tiga puluh hari pascalaporan otoritas kesehatan Tiongkok itu, WHO menetapkan status Darurat Kesehatan Masyarakat Global atas penyebaran virus korona di berbagai negara. Status itu kemudian ditingkatkan pada 11 Maret 2020 menjadi pandemi atau wabah yang menyapu populasi secara lebih cepat dengan skala geografis yang jauh lebih luas menyusul temuan lebih dari 118 ribu kasus covid-19 di 114 negara dengan 4.291 korban jiwa.
Otoritas di seluruh dunia merespons wabah ini dengan menerapkan pembatasan perjalanan, karantina, anjuran hingga perintah untuk tetap berada di rumah, penutupan fasilitas umum, dan penerapan sejumlah protokol untuk mencegah penularan penyakit ini.
Saat ini, yang dianggap paling efektif menghambat laju penularan virus adalah dengan menjaga jarak minimal satu meter dari orang lain serta mengenakan masker saat berada di tempat umum, tidak menyentuh wajah sebelum mencuci tangan dengan sabun atau cairan pembersih tangan (hand sanitiser), menghindari kerumunan, dan sebisa mungkin tidak keluar rumah.
Beberapa negara dengan jumlah pengidap dan kematian yang tinggi akibat covid-19 tidak bisa lagi sekadar mengimbau warganya supaya tetap berada di rumah. Kebijakan lockdown yang represif diterapkan untuk memastikan tidak ada warga yang keluyuran atau keluar-masuk kota maupun negara. Alasannya, mereka bisa saja menjadi kurir virus korona bagi orang lain. Militer pun dikerahkan demi menegakkan kebijakan yang hukumannya tidak main-main itu.
Di Tiongkok, Presiden Xi Jinping akhirnya berencana me-lockdown Wuhan dan Provinsi Hubei setelah Zhong Nanshan, ahli pernapasan terkemuka Negeri Tirai Bambu itu, secara khusus diterbangkan ke Wuhan untuk memeriksa wabah di sana. Dalam waktu singkat, Zhong secara terbuka melaporkan kepastian bahwa virus korona baru ini menular dari manusia ke manusia pada 19 Januari 2020.
Wuhan, tempat covid-19 pertama menyebar, akhirnya mengunci wilayahnya pada 23 Januari 2020. Tapi dua hari sebelum diterapkan, hampir 300 ribu warga meninggalkan kota itu dan meramaikan #KaburDariWuhan di Weibo, Twitter-nya Tiongkok. Mereka merasa seolah bebas dari berada di daerah pusat penyakit. Padahal, saat Provinsi Hubei mulai dikunci bersamaan dengan Wuhan, di seantero Tiongkok sudah terjadi 17 kematian dari 571 kasus covid-19 yang secara resmi dilaporkan.
Jadi apa gunanya lockdown?
Tujuan mengunci wilayah untuk melindungi warga di dalamnya supaya tidak tertular penyakit yang dibawa oleh orang dari luar wilayah itu, logis adanya. Sayangnya, sejauh pengetahuan saya, lockdown di saat wabah korona belakangan ini tidak ada yang bersifat demikian.
Saya berikan sejumlah contoh kalau penguncian wilayah alias lockdown bukanlah berdasarkan logika tadi. Italia menutup seluruh wilayah negaranya pada 9 Maret. Jumlah kasus covid-19 yang dilaporkan ketika itu paling banyak setelah Tiongkok, yakni 9.172 dengan 463 kematian.
Spanyol menyusul Italia pada 14 Maret. Saat itu infeksi covid-19 mencapai 6.391 kasus dengan 196 kematian yang tersebar di kelima puluh provinsinya.
Contoh lain saya ambil dari luar Eropa. India, me-lockdown negaranya 24 Maret 2020. Saat itu 10 kematian dari 536 kasus covid-19 telah dilaporkan.
Mungkin idealnya, tujuan penutupan wilayah ialah agar orang yang berada di dalamnya tidak tertular penyakit dari orang luar seperti yang sudah saya ulas. Fenomena seperti itu belakangan banyak dilakukan di kampung-kampung tempat tinggal kita. Pintu masuk permukiman ditutup dan dijaga supaya virus yang terbawa orang dari luar tidak menginfeksi warga yang tinggal di dalamnya.
Perumahan tempat saya tinggal, baru tiga hari lalu menutup portal selama 24 jam penuh di satu-satunya jalan masuk saat terdengar kabar kalau warga kelurahan sebelah, yang letaknya dipisahkan lembah dan bukit, positif terjangkit korona. Sebelum-sebelumnya, portal ditutup pukul 22 hingga 5 pagi. Yang ingin memasuki perumahan dibebani prosedur cuci tangan dan wajib mengenakan masker terutama pedagang keliling. Kurir harus menyerahkan barang kirimannya di pos jaga.
Pertanyaan saya, apakah penutupan wilayah seperti di kampung saya tadi menjamin penduduknya tidak tertular virus korona dari pendatang?
Sebagai tambahan informasi, Provinsi Jawa Barat telah menutup sekolah, kampus, dan kantor-kantor pemerintah sejak 16 Maret 2020. Saat itu, sudah terdapat tujuh kasus positif covid-19 di seluruh Jawa Barat. Warga diimbau untuk tidak keluar rumah, belajar, bekerja, dan beribadah di rumah. Saat itu, imbauan untuk beraktivitas di rumah masing-masing diberlakukan untuk 14 hari ke depan dan bisa diperpanjang sesuai perkembangan.
Waktu yang ditetapkan untuk isolasi mandiri tersebut berdasarkan kajian yang menyatakan, masa inkubasi virus korona jenis baru ini rata-rata 14 hari. Bila seseorang tertular korona dan selama 14 hari tidak mengalami gejala covid-19, maka ia dapat dianggap mampu melawan dan mematikan virus yang menginfeksi tubuhnya. Kalau sistem kekebalan tubuhnya tidak bisa melawan, maka ia akan menderita pneumonia yang harus dirawat intensif di RS.
Kini sudah lewat 30 hari sejak sekolah dan kantor pemerintah ditutup. Warga diimbau untuk belajar dan bekerja dari rumah. Tapi kita melihat masih banyak orang berkeliaran di luar rumah. Dan memang sejak 16 Maret, penambahan kasus infeksi covid-19 terus terjadi dan sayangnya termasuk jumlah kematian.
Bagaimana kalau masa physical distancing terus diperpanjang? Baru 10 April lalu, Pemprov DKI Jakarta menerapkan apa yang disebut Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kebijakan itu berselang 25 hari dari imbauan Pemprov DKI Jakarta agar warga bekerja dan belajar di rumah.
Kebijakan PSBB sebenarnya adalah imbauan untuk mencegah penularan korona dengan tindakan represif. Tindakan represif tersebut di antaranya, polisi berhak untuk memaksa pengendara motor agar mengenakan masker, mengatur posisi duduk penumpang dalam mobil, atau membubarkan kerumunan warga dengan disertai sanksi.
Seperti sebelumnya, PSBB diterapkan untuk 14 hari ke depan dan bisa diperpanjang sesuai perkembangan. Pemerintah RI sejak awal memang tidak akan menerapkan penutupan wilayah atau lockdown seperti yang dilakukan Italia atau Malaysia. Maka, PSBB dipilih supaya warga yang terpaksa harus keluar rumah tidak dikenai sanksi.
Kebijakan PSBB secara sengaja dipilih untuk menyelamatkan ekonomi negara. Padahal dengan mewabahnya covid-19 ini, tidak ada negara yang ekonominya selamat. Secara individu, cara untuk mencegah penularan virus ini adalah dengan tidak meninggalkan rumah, menghindari kontak dekat dengan orang lain, dan sering cuci tangan dengan sabun.
Hal itu berarti kebanyakan penggerak ekonomi seperti pabrik akan menutup operasinya karena para pegawai secara waras akan melindungi dirinya dengan tidak keluar rumah menuju pabrik. Atau, orang-orang akan menghindari bepergian menggunakan transportasi umum. Bisnis transportasi tentu akan runtuh. Belum lagi sektor ekonomi yang bukan merupakan kebutuhan utama seperti pariwisata, gym, bioskop, dll.
Indonesia, dengan pilihan kebijakan anti-lockdown-nya mungkin saja akan bernasib sama dengan negara-negara yang menerapkan kebijakan lockdown. Angka penularan yang dilaporkan akan konsisten meningkat.
Cara-cara menghindari penularan korona dengan beraktivitas di rumah, mengenakan masker dan menjaga jarak aman saat berada di tempat umum, serta sering-sering mencuci tangan memang ditujukan supaya tidak banyak orang yang tertular mengembangkan gejala infeksi menjadi parah. Soalnya, kalau tertular dan jadi sakit parah, maka mereka harus dirawat di rumah sakit. Inilah yang dihindari, penumpukan pasien di RS yang fasilitas perawatan intensifnya sangat terbatas.
Penutupan sekolah dan kantor-kantor mungkin akan terus diperpanjang. Itu sudah terjadi di banyak negara bahkan yang menerapkan lockdown.
Tampaknya Indonesia juga akan melakukan hal serupa. Tapi sampai kapan?
Sejak virus penyebab covid-19 pertama kali diidentifikasi, berbagai negara serius mengembangkan vaksin. Banyak relawan yang bersedia dijadikan agen uji coba vaksin covid-19 yang dikembangkan itu.
Para pengembang vaksin menyatakan, jika terbukti aman dan efektif, uji coba yang lebih besar akan dilakukan untuk melihat apakah vaksin bekerja pada pasien covid-19. Jika berhasil, para pengembang vaksin tersebut berharap bisa menyediakan jutaan dosis dalam 12 hingga 18 bulan.
Dari pernyataan tersebut, wabah covid-19 diharapkan berakhir bukan dalam 14 hari, tapi setidaknya 18 bulan saat vaksinnya diproduksi dan digunakan secara massal.
Untuk melewati waktu selama 18 bulan, terutama yang harus dilakukan adalah menghindari penularan virus korona. Caranya sudah berulang kali disinggung di paragraf-paragraf sebelumnya.
Saya tidak percaya bahwa matahari di Indonesia bisa membuat warganya kebal terhadap penularan korona. Saya pun menganggap kebiasaan orang Indonesia minum jamu tidak lebih baik dari kebiasaan orang yang olahraga 30 menit sehari dalam hal kekebalan tubuh yang dibutuhkan untuk menangkal covid-19.
Oleh sebab itu, inilah saatnya masyarakat baik kaya maupun miskin bergotong-royong untuk sebisa mungkin menjaga supaya tidak banyak yang sakit dan membebani benteng pertahanan terakhir sistem kesehatan masyarakat, yakni ruang perawatan intensif RS beserta tenaga-tenaga medisnya.
Ini adalah maraton. Dan untungnya, yang selama 18 bulan perlu dikerjakan itu tidaklah terlampau berat. Kita tidak diharuskan makan buah kecapi yang konon sudah punah itu sebutir sehari supaya terhindar dari penularan korona sampai vaksinnya berhasil diproduksi.
Yang harus mencari penghasilan di luar rumah pun tetap bisa menjalankan aktivitasnya tanpa harus dikenakan sanksi, sepanjang ikut ketentuan PSBB. Mungkin selama 18 bulan ini nafkah yang dihasilkan tidak sebanyak seperti sebelum wabah, tapi berbagai bantuan penyediaan makan siang atau malam makin banyak ditemukan.
Untuk yang hartanya tidak akan habis sampai ajal menjemput, sumbangkanlah kekayaan kalian buat para pekerja yang terpaksa harus di-PHK. Tentu saja bukan sekadar membagi-bagikan uang kepada mereka, walaupun sedekah juga bisa berguna terutama karena doktrin harta tidak dibawa mati!
Bukalah kesempatan usaha yang keuntungannya tidak lagi menumpuk untuk kalian semata. Sekali-sekali, bikinlah usaha yang keuntungannya dibagi rata ke seluruh pekerja, sehingga bila nanti terjadi wabah lagi, kalian tidak akan menjadi manusia bejat yang harus mem-PHK karyawan. Selain itu, karena pemilik kekayaan perusahaan adalah seluruh pekerja, maka keputusan penting seperti saat menghadapi wabah akan menjadi keputusan kolektif.
Boleh jadi keputusannya adalah menghentikan kegiatan perusahaan. Tapi selama masa itu, tidak ada pekerja yang di-PHK karena mereka semua pemilik perusahaan.
Keuntungan tahunan yang biasanya hanya dinikmati segelintir pemilik perusahaan untuk berlibur ke Maldives atau membeli properti di Dubai, kini bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari seluruh pekerja sepanjang masa PSBB. Ini sangat mungkin berlangsung selama 18 bulan sampai vaksin untuk penyakit baru itu diproduksi dan bisa digunakan secara massal.