close
FeaturedKeterangan PersLayanan

Konsumen Narkoba Bikin Sesak Penjara. Segera Bebaskan Mereka untuk Cegah Covid-19!

Pembebasan Tahanan di Rutan Kudus, Jateng
Pembebasan tahanan di Rutan Kudus, Jawa Tengah (Foto: ANTARA/ Yusuf Nugroho, 2 April 2020)

Bandung (25/4) – Wabah covid-19 harus jadi momentum pemerintah untuk memperbaiki kebijakan narkotika di Indonesia. Pasalnya selama ini, pemidanaan konsumsi narkoba menjadi penyumbang utama kelebihan penghuni di lapas dan rutan. Hal ini disampaikan oleh sejumlah organisasi nonpemerintah termasuk Rumah Cemara secara tertulis pada 25 April 2020.

Per Maret lalu, 270.466 tahanan dan narapidana menghuni lapas dan rutan se-Indonesia yang berkapasitas 132.335 penghuni. Kelebihan huniannya mencapai 104 persen.

Dari 270 ribuan penghuni tersebut, 38.995 di antaranya adalah konsumen narkoba. Mereka merupakan bagian dari 148.756 penghuni dengan kasus tindak pidana narkotika yang kategorinya dibedakan berupa produsen, pengedar, dan konsumen.  

UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memang telah mengatur bahwa pecandu yang notabene adalah konsumen narkoba diutamakan mendapat layanan rehabilitasi. Tapi penerapan ketentuan tersebut, bagaimanapun gagal dilaksanakan. Aparat terkait lebih memilih untuk mengedepankan pidana bagi semua pihak yang terlibat narkoba, termasuk para konsumen.

Pendekatan ini sudah banyak dilaporkan gagal menyelesaikan persoalan narkoba secara global. Penjara memperburuk kehidupan pecandu karena minimnya layanan kesehatan di sana, terlebih di tengah kondisi kelebihan populasi.

Penelitian Stevens (2019), Hughes (2018), dan UNODC (2010) menyimpulkan bahwa ancaman hukuman tidak memilik dampak mengurangi konsumsi narkoba. Negara-negara yang memberlakukan hukuman keras terhadap kepemilikan narkoba untuk konsumsi pribadi, tidak menunjukkan penurunan konsumsi narkoba. Sebaliknya terjadi pada negara-negara yang menerapkan hukuman lebih ringan.

Baca juga:  Episode Lexotan

Laporan Narkoba Dunia 2019 yang dilansir UNODC menunjukkan antara 2009 hingga 2016, masalah konsumsi narkoba secara global cenderung stabil. Peningkatan konsumsi sebesar 30 persen merupakan dampak dari pertambahan penduduk dunia.

Banyak pula kajian yang menyatakan, risiko kesehatan konsumen narkotika lebih besar pascakeluar penjara. Karena itu, pendekatan kesehatan masyarakat bagi para konsumen narkoba berupa pengurangan bahaya konsumsinya (harm reduction) direkomendasikan badan-badan PBB. Pendekatan kesehatan itulah yang seharusnya dikedepankan ketimbang pemenjaraan.

Arah menuju penerapan pendekatan kesehatan masyarakat pun telah disuarakan oleh Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna Laoly beberapa waktu lalu. Karena terlalu membuat sesak penjara, pada 27 Maret lalu, Yasonna Laoly meminta supaya konsumen narkotika tidak dipenjara. Ia bahkan sudah mewacanakan pemberian amnnesti kepada para konsumen pada November 2019.

Pembebasan narapidana dan tahanan tindak pidana narkotika dapat dengan mudah dilakukan pemerintah secara politik karena dalam tataran kebijakan, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, dan persidangan telah diterbitkan aturan yang memberi peluang bagi pecandu dan konsumen narkotika dihindarkan dari penjara.

Tindak pidana narkotika adalah tindak pidana tanpa korban, bahkan banyak pelakunya tidak melakukan kekerasan, pun tidak semua konsumen mengalami ketergantungan atau adiksi sehingga tidak memerlukan rehabilitasi. Kalaupun mengalami ketergantungan, rehabilitasi tidak selalu berbentuk rawat inap. Rawat jalan, kunjungan rutin ke pelayanan kesehatan, konseling rutin termasuk secara daring, dan terapi substitusi merupakan bentuk-bentuk rehabilitasi yang telah diatur institusi penanggungjawabnya.

Baca juga:  Setujui RKUHP Disahkan, Jokowi Abaikan Penanggulangan HIV-AIDS

Penghuni lapas dan rutan harus dikurangi untuk mencegah risiko penyebaran covid-19. Dalam hal ini, kebijakan narkotika jelas menyumbangkan banyak penghuni rutan dan lapas yang seharusnya tidak dipidana. Untuk itu, pemerintah harus menyegerakan pembebasan konsumen narkoba yang jadi tahanan atau narapidana.

Penilaian kesehatan, termasuk penilaian derajat keparahan konsumsi narkoba dan risiko pada semua penghuni lapas dan rutan sebagai hasil dari penerapan kebijakan narkotika yang rancu harus dilakukan. Karena, banyak konsumen narkotika dijerat pasal penguasaan dan kepemilikan dalam UU Narkotika yang mengategorikan mereka sebagai bandar dan divonis hukuman penjara di atas lima tahun.

Setelah melakukan penilaian, pastikan penghuni penjara atas tindak pidana narkotika yang murni sebagai konsumen dilepaskan.

Lalu pastikan penghuni dengan masalah ketergantungan narkoba dilepaskan dengan rujukan ke instutusi layanan kesehatan terdekat untuk rehabilitas atau tindak pengawasan lainnya. Rutan dan lapas bisa bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat untuk pelaksanaan tindakan-tindakan tersebut.

Per 21 April 2020, Kementerian Hukum dan HAM RI telah melepaskan 38.822 penghuni dari sejumlah lapas dan rutan di Indonesia. Hal ini dilakukan demi mengurangi kepadatan hunian yang potensial menyebarkan covid-19 di penjara-penjara. Langkah selanjutnya adalah melepaskan penghuni yang berisiko tinggi terinfeksi covid-19, yakni lansia, ibu hamil atau menyusui, anak-anak, orang dengan penyakit bawaan atau sedang dalam kondisi sakit.

Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.