close
Derita-Pasien-Bipolar-di-Bandung
Bipolar (Gambar: Google Images)

Gerimis  sudah hampir tiga jam bertahan sejak azan asar berkumandang di seputaran Jalan Suci, Bandung. Di tengah lalu-lintas akhir pekan Kota Kembang yang super padat, Bani Risset (38) memasuki apotek di sebuah kompleks pertokoan di bilangan Jalan Surapati. Ini adalah apotek kelima yang ia sambangi Sabtu petang itu.

Empat hari sebelumnya, Bani diresepkan tiga jenis obat oleh psikiater setelah sesi konsultasi kesehatan jiwanya. Sejak didiagnosis bipolar pada 2007, ia rutin mengonsumsi tiga jenis pengobatan tersebut. Sayangnya, ketiga jenis obat yang diresepkan tadi tidak tersedia di apotek tempat sang psikiater berpraktik. Stoknya habis. Apoteker dan jajarannya pun tidak bisa memastikan kapan stok obat-obatan itu tersedia lagi di apoteknya.

Sejak pindah ke Bandung September lalu, Bani rutin menemui psikiater yang praktik di sebuah apotek di kawasan Dago tiap Selasa dan Kamis sore. Ia sebenarnya tidak begitu gusar meninggalkan apotek malam itu, karena memang sengaja menemui psikiaternya lima hari jelang persediaan obatnya benar-benar habis.

Namun, Sabtu lalu (25/3), pengusaha online shop dan konsultan media sosial ini diserang kepanikan. Ya, obat yang dia punya tinggal buat besok!

Setelah menunaikan sholat Zuhur, penggemar Radio Head, grup musik asal Inggris era 1990-an, ini keluar dari rumahnya di daerah Buahbatu untuk menebus resep yang ditulis psikiaternya empat hari lalu.

Baca juga:  Pemulihan Adiksi di Mata Orang Tua

Sebelumnya, melalui telepon, apotek tempat psikiaternya praktik mengabarkan masih belum memiliki apa yang dibutuhkan Bani. Ia langsung mengarahkan sepeda motornya ke Jalan Malabar. Berdasarkan infomasi dari beberapa teman, obat-obatan anticemas bisa ditebus di apotek itu. Salah satu dari tiga jenis obat yang diresepkan untuknya adalah anticemas.

Informasi yang diterima Bani, obat-obatan anticemas di apotek itu dijual 30-50 persen di atas harga eceran tertinggi (HET) obat yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RI. Bukan masalah besar, daripada harus ke Jakarta untuk menebus di apotek tempat gue dulu biasa nebus obat, batin pemilik nama asli Budi Rissetyabudi ini.

Sebagai informasi, resep untuk obat-obatan psikotropika dan narkotik tidak bisa dilayani apotek di luar kota tempat sang dokter berpraktik. Ini juga yang menjadi alasan Bani untuk tidak ke Jakarta dan merelakan uangnya untuk menebus salah satu jenis obatnya di atas HET.

“Kita nggak punya,” ucap petugas apotek yang berjaga setelah membaca resep yang diserahkan Bani. Mantap. Bahkan tanpa mengecek persediaan obat di komputer atau bertanya kepada apoteker yang biasanya berada di dalam.

Kesal, lemas, dan masih panik. Itu yang Bani rasakan. Namun, masih ada empat apotek di Bandung berdasarkan informasi yang ia dapatkan yang biasanya tersedia obat-obatan anticemas. Ia harus mendatangi semua dan mendapatkan obat kalau besok tidak mau hidupnya menderita.

Baca juga:  Panduan Keamanan Digital Saat Berunjuk Rasa

Ketiga jenis obat yang harus dikonsumsi Bani sejak didiagnosis bipolar tipe 2 dengan kecenderungan depresi dan menyakiti diri adalah mood stabiliser, anticemas, dan obat tidur. Ya, sudah sepuluh tahun belakangan, ketiga jenis obat tersebut rutin dikonsumsi untuk mengatasi gangguan jiwanya.

Sejak pindah ke Bandung beberapa bulan lalu, masalah yang dialami adalah, ketersediaan obat-obatan di apotek-apotek kota ini padahal ia memiliki resepnya.

Di apotek kelima yang Bani sambangi Sabtu sore itu, ia mengetahui bahwa satu strip Riklona, merek dagang clonazepam untuk meredakan ketegangan, dijual Rp220 ribu. HET-nya Rp92 ribu. Begitu juga dengan obat anticemas lainnya seperti Dumolid, merek dagang nitrazepam dengan khasiat hampir sama, dijual Rp150 ribu padahal HET-nya Rp83 ribu. Di apotek ini, hampir setiap pagi terdapat antrean pemilik resep obat-obatan itu.

Adapun dua apotek yang menjual obat-obat yang biasanya ditujukan untuk gangguan jiwa sesuai HET adalah tempat psikiater Bani berpraktik dan Klinik Medika Antapani. Namun di Medika Antapani, antrean untuk konsultasi dan menebus resep sangat padat. Bahkan hingga dijatahi. Sementara, resep dari dokter di luar klinik ini tidak bisa dilayani. Bani pun pernah berkonsultasi dengan dokter di klinik ini demi mendapat obat yang padahal telah ia miliki resepnya dari psikiaternya yang berpraktik di apotek di kawasan Dago, Bandung.

Itulah sekelumit derita pengidap gangguan jiwa di Bandung. Obat-obatan yang seharusnya dikonsumsi, persediaannya habis karena segelintir pihak yang mengeruk keuntungan berkali lipat dari penjualan obat-obatan yang mereka butuhkan. Belum lagi, seorang psikiater yang berpraktik di Klinik Medika Antapani mengaku kalau sebagian pasiennya kerap menjual obat-obatan yang ia resepkan dan ditebus sesuai HET di klinik tersebut.

Baca juga:  Aliansi Nasional Reformasi KUHP Tolak Pembahasan RKUHP yang Tak Libatkan Masyarakat

Seperti komoditas lain yang dilarang dan dicap buruk, yang paling mendapat untung dari obat-obat psikoaktif ini adalah bandar, sindikat pemasok gelap, dan oknum.

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.