Sebenarnya saya bukan orang yang sepakat soal sertifikasi halal suatu produk lantaran terlalu banyak yang harus diberi stempel. Menurut saya, akan jauh lebih efisien jika yang diberi stempel adalah produk-produk haram saja.
Bayangkan betapa merepotkannya kalau semua produk di luar makanan dan minuman harus disertifikasi halal! Hal itu bahkan absurd. Contoh absurd sertifikasi halal diberikan untuk kerudung, detergen, dan kulkas. Ketiganya kan tidak dicerna tubuh, jadi rasanya tidak mungkin membuat seseorang cacingan atau merusak organ tubuh konsumennya.
Saat Ma’ruf Amin, wakil presiden kita meminta MUI mengeluarkan fatwa halal ganja untuk pengobatan baru-baru ini pun, awalnya saya merasa hal itu terlalu berlebihan. Saya khawatir, fatwa tersebut bakal memicu permintaan fatwa serupa buat semua obat. Padahal, sebuah obat tidak akan dikonsumsi kalau seseorang tidak mengalami penderitaan. Dengan kata lain, orang yang sakit tidak dalam posisi memilih.
Dikutip dari pemberitaan, Kyai Ma’ruf meminta fatwa tersebut merespons pernyataan Wakil Ketua DPR RI untuk mengkaji pemanfaatan ganja sebagai obat. Menurut Ma’ruf, selama ini MUI melarang pemakaian ganja tanpa pengecualian.
Saya pun lantas memeriksa laman organisasi kemasyarakatan itu dan menemukan sebuah artikel tentang hukum pemanfaatan ganja.
Artikel berjudul “Hukum Memanfaatkan Ganja” di situs MUI itu menjelaskan, pada dasarnya semua tumbuhan atau produk nabati halal dan boleh dimanfaatkan. Tidak ada ketentuan larangan secara literal (nash) penggunaan ganja dalam Islam. Meski demikian, penyalahgunaannya dilarang. MUI menganalogikan pemanfaatan dan penyalahgunaan pisau. Pisau tentu saja dilarang kalau digunakan untuk mencelakai.
Meski MUI tidak mengharamkan ganja, tapi adanya UU yang melarang pemanfaatannya telah membuat masyarakat mencap buruk tanaman ini. Ilmuwan-ilmuwan di bidang pengobatan pun bahkan mengimani prasangka yang melebihi fatwa dari organisasi keagamaan semacam MUI.
Nila Moeloek, Menteri Kesehatan RI periode 2014-2019 misalnya, menolak penelitian ganja yang izinnya telah ditandatangani Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan pada 2015. Waktu itu Nila beralasan, biaya penelitiannya besar dan banyak hal lain untuk diteliti dibanding ganja.
Irawati Hawari, dokter spesialis saraf cum penasihat di Yayasan Epilepsi Indonesia menyatakan hal senada. Ia bersikeras bahwa masih banyak pengobatan lain selain ganja untuk mengatasi epilepsi.
Bagi saya, pernyataan keduanya bahwa masih ada obat selain ganja merupakan kompromi terhadap arus utama hukum pidana saat ini. Mereka menafikan kesaksian orang-orang yang sudah menjalani berbagai macam pengobatan dengan biaya yang ditanggung sendiri tanpa hasil. Yang belum pernah mereka upayakan adalah pengobatan ganja karena taat hukum. Sebenarnya kalau mau, ganja bisa mereka peroleh dari pasar gelap.
Sementara di negara-negara lain, pengobatan tersebut bisa dilakukan dilengkapi berbagai laporan yang menunjang keberhasilannya.
Sebagai ilmuwan kedokteran, bukti-bukti kemanjuran dan efek samping sebuah obat mutlak jadi pertimbangan sebelum mereka meresepkannya kepada pasien. Argumentasi dari disiplin keilmuan mereka seharusnya tidak terpengaruh oleh prasangka, bahkan harusnya bisa mencerahkan masyarakat. Tapi tampaknya hal itu tidak berlaku. Para ilmuwan ini malah menjadikan prasangka sebagai pertimbangan.
Dalam hal ini Irawati berpendapat, karena belum banyak yang memahami perbedaan antara ganja medis dan rekreasi, persepsi masyarakat perlu diperhitungkan sebelum melegalkan ganja medis.
Fatwa halal ganja jadi penting untuk mengimbangi dominasi prasangka di masyarakat yang menghambat terpenuhinya hak atas pengobatan orang-orang yang membutuhkannya. Fatwa ini akan membuat kalangan medis tidak lagi ketakutan mengutarakan faedah ganja.
Ganja dikampanyekan sebagai tanaman yang buruk supaya masyarakat menjauhi konsumsinya. Propaganda ini dilakukan karena adanya konvensi PBB enam puluh tahunan silam yang diterapkan Indonesia dalam bentuk kebijakan pelarangan. Tidak sedikit yang lantas memberi cap haram pada tanaman ini.
Fatwa halal menjadi sesuatu yang saya anggap bisa menerobos sekat-sekat pemikiran para ilmuwan di Indonesia. Prasangka buruk dan status haram ganja selama ini memang hanya terdapat dalam pikiran, karena ternyata MUI saja tidak pernah menyatakan bahwa ganja haram sesuai ketentuan agama.
Gara-gara anggapan adanya fatwa haram itulah, ilmuwan-ilmuwan di negeri ini mungkin takut dianggap sesat bila mengutarakan manfaat ganja untuk pengobatan secara objektif. Saya kira, situasinya akan berbeda kalau ada fatwa halal MUI. Ya, kan? BTW, sekarang bukannya Kementerian Agama ya yang menerbitkan sertifikat halal?