close
Komunitas

Pendidikan Sebaya di Komunitas Punk Batam

Batam

Batam adalah sebuah pulau di Provinsi Kepulauan Riau yang menjadi Wilayah Metropolitan Batam bersama dengan dua pulau lainnya, Galang dan Rempang. Walaupun bukan ibu kota provinsi, Batam merupakan kota terbesar ketiga di wilayah Sumatera setelah Medan dan Palembang berdasarkan jumlah penduduk yang mencapai 1.153.860 jiwa pada tahun 2012. Jumlah ini telah meningkat 158 kali lipat dalam waktu 40 tahun terakhir.

Pertumbuhan ekonomi yang pesat, melampaui laju pertumbuhan ekonomi nasional, menjadikan Batam tidak hanya sebagai daerah perlintasan, namun juga lahan pekerjaan sekaligus pemukiman. Lapangan kerja yang terbuka luas di kota ini kerap dijadikan pemikat sindikat perdagangan manusia untuk menjerat korban-korbannya.

Karena letaknya berbatasan dengan wilayah perairan Malaysia dan Singapura, Batam menjadi pintu masuk maupun keluar yang strategis bagi para imigran. Sindikat perdagangan manusia juga kerap menjadikan perempuan Indonesia dan negara lain sebagai pekerja seks di Batam. Diperkirakan terdapat 5.500 pekerja seks di Batam baik yang berada di tempat prostitusi maupun di tempat-tempat hiburan (karaoke, kelab malam, bar, dan panti pijat) pada 2007.

Dinas Kesehatan Kota Batam melaporkan 539 pengidap HIV sepanjang Januari hingga September 2015. Pengidap terbanyak adalah laki-laki pelanggan penjaja seks, yaitu 143 orang. Tahun lalu yang terbanyak dilaporkan adalah ibu rumah tangga. Sementara, berdasarkan kelompok pekerjaan, karyawan atau buruh pabrik merupakan pengidap HIV terbanyak di Kota Batam. Saat ini di Batam terdapat 4.543 pengidap HIV/AIDS.

Persoalan HIV di Batam tidak hanya menjadi perhatian pemerintah. Sejumlah komunitas yang ada di Kota Batam, termasuk yang merupakan ‘komunitas bawah tanah’ seperti punk, juga turut ambil bagian dalam upaya penanggulangan persoalan tersebut. Adalah Rival, seorang anggota komunitas punk di Batam yang kini aktif melakukan pendidikan tentang pencegahan dan perawatan HIV bagi sesamanya.

Mulanya Rival berkenalan dan diajak ikut serta dalam kampanye Support Don’t Punish yang serentak dilakukan secara global pada peringatan Hari Anti Narkotika Internasional tahun 2014. Kampanye ini ditujukan untuk mengimbangi retorika pemberantasan narkoba yang selalu berulang tiap tahun dengan hasil yang sama: “perang melawan narkoba” belum bisa dimenangkan. Keikutsertaan Rival dalam kampanye ini kemudian memperkenalkannya pada aktivis penanggulangan AIDS dan narkoba lainnya di Kota Batam.

Baca juga:  Menjiplak Sukses Gerakan Anti-PKI

Pada awal 2015, Yayasan Embun Pelangi (YEP) mengadakan program pendidikan sebaya (peer driven intervention – PDI) untuk mengurangi risiko penularan penyakit di kalangan konsumen ATS (amphetamine-type stimulant). Program ini dilaksanakan bekerja sama dengan Rumah Cemara melalui proyek Community Action on Harm Reduction (CAHR).

Sabu-sabu dan ekstasi adalah dua ATS yang populer dikonsumsi di Indonesia. Sebagai aktivitas ilegal, konsumen narkoba ATS tentu saja menghindar dan menutup diri. Kalangan ini menjadi sulit diketahui. PDI terutama dilakukan untuk menemui populasi yang tersembunyi ini dan mengetahui kebutuhan-kebutuhan mereka untuk mengurangi risiko konsumsi ATS-nya. Selain itu PDI juga berupaya untuk menurunkan risiko penularan HIV, hepatitis, serta infeksi menular seksual di kalangan konsumen ATS.

Salah satu yang direkrut menjadi pendidik sebaya adalah Rival. Pemuda kelahiran tahun 1992 ini memang cukup dikenal di komunitas punk dan diharapkan mampu menyebarkan pengetahuan pencegahan penyakit menular termasuk HIV di komunitasnya. Anak-anak jalanan dinilai berisiko untuk tertular berbagai penyakit. Perilaku konsumsi narkoba dan hubungan kelamin yang tidak aman akrab di kalangan ini.

Punk sendiri adalah sebuah gaya hidup yang menolak aturan-aturan yang mapan. Dapat dikatakan hampir semua punk percaya akan prinsip anarkis untuk sama sekali tidak menggunakan pemerintah resmi atau penguasa serta menghargai kebebasan dan tanggung jawab individu. Kebebasan hidup di jalanan membuat kebanyakan punk berada di sana.

Rival tertarik dengan gaya hidup ini saat masuk sekolah menengah pertama pada tahun 2003. Beberapa kakak kelasnya kala itu adalah punk yang kemudian mengajarkan tidak hanya dandanan tetapi juga filosofinya.

Bagi Rival, punk bukan hanya sekedar fashion tetapi lebih kepada ideologi dan budaya. Punk menjadi pilihan hidup Rival. Walaupun sudah tidak seortodoks dulu ketika awal-awal bergabung, hingga kini dirinya masih konsisten menerapkan gaya hidup tersebut.

Baca juga:  Penggagas Homeless World Cup Apresiasi Keberagaman Tim Indonesia

Rival pernah menjadi pekerja ilegal di Malaysia beberapa tahun. Pekerjaan serabutan dijalaninya selama ini termasuk sebagai buruh galangan kapal di Batam. Namun komunitas punk memang membuat nyaman dirinya sehingga mengamen, menyablon, merajah tubuh (tattoo), tindik (body piercing), serta pekerjaan seni lainnya hingga kini tetap dijalaninya sebagai sumber-sumber penghasilan.

Dan sepertinya sudah menjadi daya tarik Batam sehingga banyak pula anak punk dari daerah lain yang merantau dan menetap di kota ini. Populasi punk terus bertambah di tanah kelahiran Rival.   

Alasannya tertarik dan bersemangat untuk menjadi pendidik sebaya adalah kepedulian Rival kepada anggota-anggota komunitasnya yang akrab dengan perilaku berisiko tertular HIV. Sebagaimana dengan di populasi umum, tingkat pemakaian kondom di komunitas ini juga rendah. Bahkan pemakaian kondom saat berhubungan kelamin menjadi bahan olok-olok.

Selain itu, cara-cara konsumsi NAPZA yang lebih aman juga masih sulit diterima karena tingkat kerumitannya seperti pemakaian pipa pribadi yang harus di pasang dan lepas pada bong untuk mengisap sabu-sabu. Walaupun bukan merupakan pilihan utama di kalangan punk, sabu-sabu menjadi NAPZA yang sekali-kali dikonsumsi. Hal-hal tersebut menjadi tantangan serius bagi Rival.

Khusus untuk sabu-sabu, salah satu harapan Rival adalah agar teman-temannya tidak terbelenggu dengan konsumsinya. Kebebasan yang diusung punk akan menjadi hilang ketika seseorang terbelenggu oleh konsumsi suatu zat. Sabu-sabu dikonsumsi untuk semangat dan giat bekerja. Khasiat ini yang membuat beberapa konsumennya terus-menerus mengonsumsi dengan harga yang tidak murah dan tidak pasti karena dikuasai oleh sindikat narkoba.

Kejadian tersebut dialami oleh beberapa anggota komunitas punk di Batam. Rival berharap kalau bisa teman-temannya itu berhenti saja, terutama untuk membeli narkoba sampai harus dipaksakan.

Kini Rival tidak lagi sendiri melakukan pendidikan kepada teman-teman di komunitasnya. Empat anggota komunitas punk di Batam hingga November 2015 juga sudah mulai aktif melakukan upaya-upaya penanggulangan HIV dan pengurangan dampak buruk konsumsi NAPZA.

Baca juga:  Menlu RI Tegaskan, Persiapan Indonesia Sudah Matang untuk Menyampaikan Laporan dalam Mekanisme UPR Dewan HAM PBB

Sasaran program pendidikan sebaya yang ditujukan untuk pengurangan dampak buruk konsumsi ATS tidak hanya komunitas punk. YEP juga melibatkan komunitas-komunitas lain di antaranya lelaki yang suka lelaki (LSL) atau gay, pekerja-pekerja kelab malam, serta konsumen ATS lainnya. Tidak semua yang direkrut menjadi pendidik sebaya tersebut akhirnya menjadi seperti Rival yang aktif menemui teman-teman di komunitasnya untuk berbagi pengetahuan.

Pembelajaran dari program ini adalah bagaimana materi-materi pendidikan yang akan diberikan dikemas di kalangan komunitas masing-masing. Pemakaian istilah-istilah, gaya-gaya bahasa termasuk candaan, juga cara penyampaian yang khas membuat sebuah materi pengetahuan tidak dapat begitu saja diterima di komunitas tertentu.

Dari kisah Rival di atas, perlu menjadi catatan bahwa dia juga mendapat penolakan dari teman-temannya sendiri bahkan hingga saat ini. Sebagai pengetahuan baru, apa yang disampaikan Rival kerap menjadi bahan olok-olok sebaya yang ditemui dan diajaknya berdiskusi.

Diskusi di antara teman-teman sesama anggota komunitas untuk menemukan cara dan gaya bahasa sehingga kemasan informasi yang disampaikan sesuai dengan apa yang berlaku di satu kalangan tertentu menjadi penting. Jika tidak, penolakan-penolakan terus terjadi. Sangatlah mungkin jika setelah sejumlah proses dilakukan, dan Rival hanya menjadi satu-satunya punk yang punya pemahaman berbeda mengenai risiko-risiko yang dihadapi komunitasnya sendiri, motivasi dan harapannya akan pupus.

Proses pendidikan sebaya bukanlah sebuah proses penyampaian pengetahuan dengan kemasan baku seperti tongkat estafet yang diberikan dari pelari ke pelari. Penolakan, diskusi, hingga penyesuaian dan perumusan kemasan tanpa mengurangi esensi pengetahuan di suatu komunitas tertentu merupakan pembelajaran utama dari program pendidikan sebaya.

Sebagai hasilnya, Rival tidak hanya memiliki teman diskusi mengenai pencegahan penyakit menular dan risiko konsumsi NAPZA dengan istilah, gaya bahasa, dan cara-cara pengungkapan yang sama. Teman-teman diskusinya tersebut juga kini aktif untuk ‘melahirkan’ Rival-Rival baru, anak punk Batam, yang peduli akan kesehatannya.

Community Action on Harm Reduction Project, 2015

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.