close
FeaturedKebijakan

Menuju Jalan Panjang Pelegalan Mariyuana di Indonesia

44539202_303
Foto: Picture Alliance /Empics/5. Kilpatrick

Ketika di banyak negara lain ganja sudah tidak dianggap sebagai narkotika berbahaya, Indonesia masih memandang ganja sebagai sesuatu yang menakutkan.

Opini ini dimuat di Deutsche Welle, 10 Juli 2018

Walau sebenarnya, saya yakin, ketakutan negara dan masyarakat itu bukan berdasarkan ilmu pengetahuan yang jelas dan argumentatif tentang ganja. Malah sebenarnya, ketakutan masyarakat pada ganja bukanlah pada efeknya terhadap kesehatan, tapi pada risiko yang harus dihadapi ketika seseorang menggunakan atau memiliki ganja: dikriminalkan dengan ancaman hukuman penjara yang lama.

Anehnya, ketika negara mengkriminalkan pengguna ganja dan berbagai jenis narkotika lainnya, di saat yang sama angka prevalensi penggunaan narkotika di Indonesia tidak pernah turun, jika tidak bisa dikatakan terus meningkat. Sebabnya, ketika narkotika semakin dilarang, harganya semakin tinggi, dan itu artinya bisnis menggiurkan bagi banyak orang. Seperti layaknya bisnis, untuk mendapatkan konsumen para bandar narkotika pun melakukan berbagai upaya pemasaran—tentunya secara sembunyi-sembunyi. Ini persis dengan era larangan minuman beralkohol di Amerika Serikat di abad lalu. Siapa pun yang pernah membaca sejarah pelarangan minumal beralkohol di Amerika Serikat pada 1920-an, pasti tahu apa korelasinya antara pelarangan, naiknya harga komoditas yang dilarang, dan semakin berkuasanya gangster.

Memang tidak banyak referensi yang bisa dibaca tentang ganja di Indonesia. Satu dari yang sedikit itu adalah buku berjudul War on DrugsRefleksi Transformatif Penerapan Kebijakan Global Pemberantasan Narkoba di Indonesia, ditulis oleh Patri Handoyo, seorang aktivis sosial yang mengkampanyekan pembaruan regulasi narkotika.

Di dalam bagian tentang ganja, Patri menjelaskan sejarah penggunaan ganja oleh berbagai masyarakat sejak beribu tahun lalu, mulai dari India, Tiongkok, Persia, Rumania. Juga dijelaskannya, pada abad 14 serat ganja atau hemp lebih banyak digunakan sebagai bahan kain ketimbang linen. Thomas Jefferson menulis rancangan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat di atas kertas dari serat ganja. Serat ganja juga digunakan Amerika Serikat  sepanjang Perang Dunia II, sebagai bahan untuk seragam, kanvas, dan tali.

Lebih lanjut Patri menjelaskan, nasib ganja sebagai bahan baku berbagai kebutuhan manusia mulai terancam pada akhir 1930-an ketika DuPont, sebuah perusahaan besar di Amerika Serikat, menemukan serat sintetis. Lalu DuPont melobi pemerintah agar ganja masuk ke dalam narkotika golongan 1. Tujuannya untuk menjatuhkan produk-produk berbahan dasar ganja yang kemudian digantikan dengan nilon hasil temuannya. Penggolongan ganja ke dalam narkotika golongan I itu kemudian disepakati secara internasional dalam Single Convention on Narcotic Drugs tahun 1961 bersama dengan opium dan koka. Konvensi itu diratifikasi berbagai negara, termasuk Indonesia. Sejak saat itu pula kepemilikan dan pengunaan ganja—bahkan dalam kuantitas kecil—bisa dikriminalkan dengan hukuman penjara.

Baca juga:  Indonesia Mengikuti Kejuaraan Dunia Sepak Bola Anak-Anak SATUC

Mengutip laporan Murizal Hamzah di koran Sinar Harapan edisi 2 Juli 2008, masyarakat Indonesia mengenal ganja pada abad ke-19, setelah Belanda sengaja mendatangkan tanaman ganja dari India ke Aceh sebagai penghalau hama kopi di Gayo, Aceh Tengah. Ganja juga digunakan untuk melindungi tanaman tembakau dari hama ulat dengan ditanam berdampingan. Sisa daun ganja yang digunakan untuk membalut tembakau agar tetap kering dan tidak berulat ditemukan dibuang begitu saja di Pasar Aceh yang bersisian dengan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh hingga 1945 .

Masyarakat Aceh sendiri memandang ganja sebagai tanaman multiguna untuk mengendalikan gulma, hama, dan penyakit-penyakit pada tanaman utama seperti tembakau, cabai, atau tanaman budidaya lainnya. Oleh karena itu, untuk melindungi tanaman utamanya, seluruh lapisan petani menjadi penanam ganja. Selain untuk menghalau hama, sebagian masyarakat Aceh memanfaatkan biji ganja sebagai bumbu masak untuk jenis masakan tradisional tertentu. Ganja ketika itu tidak dibudidayakan secara khusus sebagai tanaman komersial.

Nilai ekonomi ganja di Indonesia jauh di bawah tembakau

Sebelum Indonesia meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika PBB 1961 pada 1976, nilai ekonomi ganja di Indonesia jauh di bawah tembakau dan kopi serta hanya menjadi penghalau hama kedua tanaman itu. Pascapengesahan kebijakan tersebut, ganja mulai dibudidayakan, menjadi tanaman utama, serta bernilai jauh di atas kopi dan tembakau.

Sebagai gambaran, berdasarkan penelusuran Patri, pada 2006, harga kopi Arabika per kilogram di Sumatera Utara Rp 22.635, Robusta Rp 9.802 ; daun tembakau per kilogram Rp 7.580 ; dan ganja kering per kilogram dari kebun Rp 300.000. Di pasar lokal Aceh harga ganja kering bisa menjadi Rp 700.000, dan setibanya di pasar Jakarta harganya menjadi Rp 2,2 juta. Perbedaan harga tembakau-kopi dan ganja sangat mencolok, sekitar 30 kali lipat.

Dengan nilai jual yang sangat tinggi, ganja menjadi komoditas yang menggiurkan banyak orang, dan kemudian menjadi bisnis sindikat yang melibatkan banyak pihak. Harus diingat sekali lagi, ganja jadi menarik dijadikan bisnis sindikat ketika harganya melambung tinggi karena adanya pelarangan tanaman itu. Ketika hal itu terjadi, potret yang terlihat sangat buram: ribuan orang menghabiskan hidup di penjara antara 5 sampai 20 tahun, karena aktivitas yang berkaitan dengan ganja, baik memiliki, menggunakan, atau menjual. Sebagian besar dari para terpidana itu bukanlah bandar-bandar besar, tetapi orang-orang miskin yang memilih masuk ke dalam lingkaran sindikat kriminal, apakah sebagai penanam atau kurir. Juga perlu dicatat, sebelum ada aturan yang mengkriminalkan ganja, tidak pernah ada catatan sejarah tentang kasus-kasus kriminal besar atau kasus-kasus gangguan kesehatan akibat ganja.

Baca juga:  Stigma Pasien Narkoba Hambat Terapi Medis

Melalui bukunya itu, Patri menyimpulkan, dengan pelarangan dan pemberantasan ganja dengan anggaran yang terus meningkat dari tahun ke tahun, negara bukannya melindungi warganya dari jerat narkoba, malah memberikan kendali perdagangan ganja kepada sindikat narkoba. Seharusnya, usul Patri, negara meninjau ulang aturan tentang ganja, dengan melihat sejarah dan penelitian-penelitian terkini tentang tanaman itu. Salah satu usulnya yang menarik, jika ganja tidak dilarang dan dibiarkan tumbuh liar, maka nilai ekonominya akan nol. Ketika ganja tidak memiliki nilai ekonomi, otomatis ganja tidak menarik lagi dijadikan bisnis, dan pada akhirnya sindikat kriminal akan kehilangan pasokan uang yang sangat besar.

Patri Handoyo adalah satu dari sedikit orang yang berani memberikan argumentasi dan narasi lain tentang ganja, sebagai tandingan narasi dari pemerintah. Selain Patri, ada juga aktivis-aktivis lain yang mengkampanyekan pelegalan ganja, terutama untuk tujuan medis.

Para aktivis itu sempat mendapatkan momentum dalam kasus Fidelis Ari Sudewarto pada  tahun 2017. Saat itu Fidelis ditangkap dan ditahan Badan Narkotika Nasional (BNN) karena menanam ganja di halaman belakang rumahnya. Fidelis memproses ganja itu untuk diambil ekstraknya sebagai obat bagi istrinya, Yeni Riawati yang menderia syringomyelia, yaitu tumbuhnya kista berisi cairan atau syrinx di dalam sumsum tulang belakang. Selama dalam perawatan Fidelis, Yeni bisa bertahan hidup. Ketika Fidelis ditangkap dan Yeni tidak ada yang mengobati, perempuan itu meninggal dunia. Yang paling menjadi korban adalah dua anak pasangan itu, mereka kehilangan dua orangtuanya sekaligus: Fidelis dipenjara karena mengobati Yeni, dan akibatnya Yeni meninggal karena tidak ada yang meneruskan pengobatan dengan ganja itu.

Berbagai upaya advokasi terhadap Fidelis tak membuahkan hasil yang diharapan. Bahkan pejabat-pejabat tinggi negara—misalnya Menteri Kesehatan Nila Moeloek–yang mengatakan tak ada bukti ganja berguna untuk kesehatan seperti diberitakan di Tempo. Tapi di saat yang sama juga tak ada hasil penelitian yang bisa diajukan bahwa ganja berbahaya bagi kesehatan. Atau dengan kata lain, tidak ada penelitian tentang ganja baik tentang manfaat atau mudaratnya.

Baca juga:  Kecanduan adalah Penyakit Kronis Kambuhan seperti halnya Diabetes dan Asma

Lalu bagaimana sesuatu yang tak pernah diteliti dianggap berbahaya dan yang menggunakannya malah dipenjara? Patri Handoyo sudah menjelaskan di dalam bukunya, juga banyak referensi lain yang bisa kita dapatkan secara online tentang sejarah pelarangan ganja, misalnya artikel di Huffington Post .

Pengadilan tetap memvonis Fidelis bersalah dan menghukumnya delapan bulan penjara.

Apa makna hukuman itu bagi kita?

Bahwa ternyata di negara ini, hukum bisa dibuat bahkan disertai sanksi yang berat, tanpa argumen ilmiah. Dan hukum itu pula yang telah mengirim ratusan ribu orang ke dalam penjara—sebagian besar di antaranya adalah pemakai (karena keyakinan mereka bahwa ganja adalah obat dan juga mereka yang menggunakannya untuk rekreasi) dan para perantara atau bandar kecil. Tentang bagaimana seseorang meyakini ganja sebagai obat karena sudah merasakan khasiatnya, juga bagaimana sebenarnya kalangan medis di Indonesia juga menginginkan adanya penelitian tentang hal itu.

Selanjutnya, ancaman negara bukan saja kepada para pengguna, tapi juga kepada mereka yang mengkampanyekan pelegalan ganja. Bahkan tahun lalu Kepala Badan Narkotika Nasional saat itu, Budi Waseso, tegas menyatakan legalisasi ganja untuk keperluan medis tidak boleh terjadi di Indonesia, dan mereka yang mengkampanyekannya dia tuding sebagai pengkhianat bangsa. Pernyataan itu, menurut saya, menunjukkan dua hal: pertama, negara melalui aparatnya menyatakan menutup mata atas kemungkinan-kemungkinan lain dari ganja, kedua aparat mengancam siapa pun yang mengkampanyekan pelegalan ganja baik secara hukum maupun di luar hukum.

Istilah pengkhianat bangsa yang digunakan Budi Waseso mengingatkan saya akan tragedi 1965 di negeri ini. Jargon pengkhianat bangsa ditudingkan kepada siapa pun yang terlibat dengan PKI, dan ujung-ujungnya ratusan ribu orang mati dibunuh bangsanya sendiri, dan ribuan lainnya dipenjara tanpa pengadilan. Apakah itu yang diinginkan aparat negara terhadap para aktivis pelegalan ganja?

Saat saya menulis artikel ini senat Kanada baru saja menyetujui usulan pemerintahan Justin Trudeau untuk melegalkan ganja di Kanada. dan di bulan sebelumnya, Uruguay jadi negara pertama di dunia yang sepenuhnya melegalkan ganja. Saya tidak melihat Indonesia bisa segera membuka mata untuk hal itu. Sebabnya, bukan saja pemerintahnya tidak progresif, tapi juga karena stigma akan ganja sudah kadung diyakini oleh mayoritas warga—yang malas menyimak, juga malas membaca.

Zaky Yamani

The author Zaky Yamani

Kolumnis, novelis, dan spesialis komunikasi

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.