close
FeaturedKegiatan

Jurnalisme Warga: Membuat yang Penting Jadi Menarik

P_20180712_111758-1
Yerri, EngageMedia, sedang memberi masukan saat pemaparan storyboard peserta lokakarya di Belitung (Foto: Tri Irwanda)

“Saat orang tahu saya HIV, responnya terkadang lucu. Mereka bilang, oh syukurlah… Mbak sudah tobat ya sekarang,” ucap perempuan itu membuka percakapan.

“Saya hanya tertawa. Disangkanya perempuan seperti saya nggak mungkin kena HIV. Berjilbab. Padahal, jauh sebelum saya terdeteksi HIV, saya sudah seperti ini,” lanjut perempuan itu sambil memegang kerudungnya.

Perempuan berjilbab itu Asti Septiana (48), asal Yogyakarta. Ia bersama sembilan orang lainnya menjadi peserta Lokakarya Jurnalisme Warga yang digelar Rumah Cemara di Denpasar, 24 hingga 27 Juli 2018.

“Saya terbiasa menulis cerpen. Fiksi. Saya tertarik banget ikut kegiatan ini. Alhamdulillah lolos seleksi,” ucapnya tersenyum.

Dua tahun lalu, kesukaannya menulis telah menghasilkan sebuah novel. Buku berjudul Mashed Potatoes, Menikmati Hidup Tanpa Menyesalinya itu berkisah tentang hidupnya sebagai perempuan yang terinfeksi HIV.

“Nantinya saya pingin bisa nulis kayak wartawan, pakai metode jurnalisme. Bisa mengungkapkan fakta seputar HIV-AIDS,” lanjutnya.

Lokakarya di Denpasar itu menutup rangkaian kegiatan serupa yang berlangsung sebelumnya di Belitung (10-14 Juli) dan Jayapura (17-20 Juli). Salah satu tujuan kegiatan itu mengajak para pegiat HIV-AIDS dan komunitas lainnya mengasah keterampilan penulisan jurnalistik dan videografi.

Bekerja sama dengan UNAIDS, lokakarya ini menghadirkan fasilitator dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung dan EngageMedia Yogyakarta. 29 peserta mengikuti rangkaian kegiatan ini. Mereka berasal dari 13 provinsi, yaitu Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Bali, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.

Baca juga:  Cara Hentikan Ketagihan Narkoba

Di tiap tempat lokakarya, fasilitator selalu menekankan bahwa HIV-AIDS adalah isu yang penting untuk diulas.  Tantangan yang dihadapi semua peserta adalah membuat yang penting itu agar menarik bagi publik. Jurnalisme Warga dinilai dapat menjadi metode yang tepat menjawab tantangan itu.

Patri Handoyo, Manajer Media dan Data Rumah Cemara menuturkan, pihaknya membagi kegiatan ke dalam tiga wilayah di tanah air, yaitu barat, tengah, dan timur. Seluruh peserta adalah yang lolos seleksi.

“Kami mengumumkan kegiatan ini secara terbuka, melalui website dan medsos. Mereka yang berminat diwajibkan mengisi kuesioner. Dari sana kami menilai calon peserta,” ungkapnya.

Menurut penulis buku War on Drugs ini, ada lebih dari 110 orang yang mendaftar. Panitia, lanjutnya, perlu melakukan seleksi karena jatah maksimal di tiap wilayah 10 peserta. “Dengan begitu, kami berharap mereka akan serius menjadi jurnalis warga yang aktif membantu penanggulangan AIDS sesuai kapasitasnya,” ujarnya.

Tetap Menjadi ‘Komunitas’, Bukan Jurnalis Profesional

Menulis ala wartawan itu ternyata tidak mudah. Perlu latihan terus-menerus. Itu yang dirasakan Armandho C B Rumpaidus (23), peserta asal Jayapura. Berulang kali ia merangkai kalimat. Sejurus kemudian, ia hapus lagi. Sambil membenahi paragraf demi paragraf, sesekali ia hirup kopi yang tersedia di tempat lokakarya.

“Saya akan terus menulis untuk blog saya, biar nggak kosong,” ucap mahasiswa Universitas Cendrawasih itu. “Saya akan belajar lagi beberapa teknik menulis yang belum sempat diajarkan di sini. Dasar-dasarnya sudah saya dapat,” ujarnya.

Baca juga:  Penting dan Tidak Pentingnya Kasus MZ

Armandho juga mengaku mendapat keterampilan lebih baik dalam membuat video. Baginya, lokakarya ini membuat dirinya terpacu membuat karya untuk kanal YouTube miliknya.

“Di luar itu semua, saya jadi lebih paham HIV-AIDS. Di lokakarya ini kan ada juga teman yang mengidap HIV. Saya bisa berinteraksi dengan mereka seperti biasa saja,” katanya.

Dengan bekal yang diperolehnya, ia akan bercerita agar orang lebih paham tentang HIV-AIDS. “Jangan lagi orang memberi stigma pada rekan kita yang punya HIV,” lanjutnya bersemangat.

Semangat yang sama dimiliki Linda Chayawati, peserta asal Pangkal Pinang. Perempuan berkaca mata ini tampak bersemangat menyusun storyboard video yang akan dibuatnya. Bersama peserta lainnya, ia tempelkan deretan kertas berisi rangkaian cerita di dinding ruangan sesuai instruksi fasilitator.

Ruang pertemuan berukuran sekitar 8 x 10 meter itu seketika disulap jadi mirip kelas belajar. Sisi-sisi dindingnya ditempeli kertas kecil warna-warni storyboard peserta. Pada beberapa bagian, kertas plano ditempel memenuhi dinding ruangan. Kertas-kertas itu bertuliskan berbagai catatan penting yang dibahas dalam lokakarya.

“Ayah saya HIV positif. Saya baru terdeteksi HIV saat berusia 15 tahun. Selama itu pula berarti saya tidak tahu sejak lahir mengidap virus ini,” ujar gadis berusia 21 tahun itu saat memperkenalkan diri di kelas.

“Saya termotivasi untuk ikut acara ini. Saya ingin bercerita lewat medsos saya bahwa, jadi orang dengan HIV itu bukan akhir dari segalanya,” ucapnya lantang.

Baca juga:  Benarkah Ganja di Indonesia Tidak Bisa Dijadikan Obat? (Bagian 2)

Ia melanjutkan, pola hidup sehat dan terapi ARV (antiretroviral atau antiperkembangbiakan virus) yang dijalani telah membuatnya tetap sehat. “Saya tetap bisa kerja di toko milik keluarga saya. Nggak ada masalah,” katanya.

Manfaat obat ARV adalah salah satu topik yang banyak dibahas peserta lokakarya. Obat ini tidak menghilangkan HIV dalam tubuh seseorang, namun dapat menekan perkembangbiakannya. Dengan rajin minum ARV, orang dengan HIV-AIDS (ODHA) dapat hidup dengan sehat.

Komitmen untuk patuh mengikuti terapi ARV disampaikan Zackura (34). Waria asal Sorong ini berharap dapat menjadi contoh bagi rekan-rekannya dalam mengikuti terapi ARV. Apalagi salon tempatnya bekerja sering jadi tempat berkumpul.

“Saya punya komitmen kuat. Medsos saya ingin berisi tulisan tentang pentingnya ARV bagi ODHA,” ujarnya tegas saat mengikuti lokakarya di Jayapura.

Lokakarya Jurnalisme Warga berakhir. 29 peserta telah berlatih membuat tulisan dan video. Tanpa lelah mereka berdiskusi bersama fasilitator setiap harinya. Dari pagi hingga malam.

Mereka adalah komunitas yang diharapkan mengambil peran dalam menekan laju HIV-AIDS. Karya mereka patut kita tunggu bagai oase di tengah kering dan sensasionalnya pemberitaan dari media mainstream.

Kita berharap, mereka jadi warga yang memiliki semangat jurnalisme dalam menyuarakan pentingnya “Indonesia tanpa stigma”. Semoga!

Tri Irwanda

The author Tri Irwanda

Praktisi komunikasi. Mulai menekuni isu HIV dan AIDS ketika bekerja di KPA Provinsi Jawa Barat. Punya kebiasaan mendengarkan lagu The Who, “Baba O’Riley”, saat memulai hari dengan secangkir kopi.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.