close
FeaturedKomunitas

Arini, Ibu Rumah Tangga yang Bangkit Meski Positif HIV

Arini-Ibu-Rumah-Tangga-yang-Bangkit-Meski-Positif-HIV
Arini bersama suami, membuktikan HIV tidak menghalangi kehidupannya. (Foto: Pribadi)

Arini berhasil bangkit setelah dinyatakan positif HIV, diagnosis yang bagi sebagian orang mungkin bermakna “kiamat”. Dia menyebut dirinya ODHIV (orang dengan HIV), terminologi yang kian banyak dipakai menggantikan istilah yang dianggap usang, ODHA (orang dengan HIV/AIDS).

Perempuan asal Malang bernama lengkap Hayu Ari Setyaningtyas itu didiagnosis mengidap HIV pada 2013. Diagnosis ini bisa dibilang tak sengaja, ketika suaminya jatuh sakit dan harus masuk ICU. Pihak medis melakukan cek darah terhadap suaminya, dan hasilnya positif. Arini pun diminta melakukan tes HIV dengan hasil yang sama.

Mengetahui human immunodeficiency virus (HIV) menyerangnya, Arini berada dalam persoalan sulit. Ia harus merawat dan membiayai ongkos perawatan suaminya, sekaligus harus segera menjalani pengobatan untuk diri sendiri. Virus itu baginya seperti datang dari langit. Selama hidup, ia tak merasa memiliki risiko terinfeksi. Ia berhubungan seks hanya dengan suami setelah menikah. Ia juga tidak nyuntik narkoba dan perilaku berisiko lainnya.

Di tengah situasi itu, Arini mengaku tak sempat bersedih atau terpuruk. “Tak ada waktu untuk down. Saya merasa blank saja,” kata Arini saat saya temui akhir November lalu.

Sebulan sejak masuk ICU, suaminya meninggal. “Dia meninggalkan saya dengan status HIV dan utang perawatan yang sangat besar,” kenang perempun kelahiran Surabaya 48 tahun lalu itu. Biaya berobat suaminya mencapai Rp250 juta, angka yang sangat besar baginya. Ia berusaha  merundingkan biaya tersebut dengan keluarga, namun ongkos berobat selangit itu tetap saja tak bisa tertutupi.

Belum usai masalah utang, ia harus menghadapi momok bagi pengidap HIV, yaitu stigma. Stigma itu tidak datang dari jauh, justru muncul dari pihak keluarga suaminya yang terpandang.

Baca juga:  Bekerja di "Markas" Narkoba dan HIV

“Saya punya status HIV, saya didepak jauh, dikeluarkan dari ‘pondok mertua indah’ 40 hari setelah kematian almarhum,” tuturnya mengenang.

Arini keluar dari “pondok mertua indah” dalam kondisi sakit fisik, mental dan finansial, membawa anak semata-wayangnya, buah selama menikah dengan almarhum suaminya. Ia memutuskan bekerja di rumah agar bisa sambil mengurus anaknya yang masih kecil. Ia juga berterus terang kepada keluarga intinya, orang tua dan kakak-kakaknya. Mereka mau menerima meski diliputi keraguan. Ragu karena HIV sering disebut penyakit mematikan.

Utang yang Membuat Bangkit

Akhirnya setelah dua tahun bekerja keras, ia bisa melunasi utang peninggalan suami. Masalah finansial mulai bisa teratasi seiring meningkatnya kualitas hidupnya. Apa yang membuat Arini bisa bangkit setelah ditinggal suami, menyandang status HIV, dan dijauhi keluarga suaminya? Utang, jawab Arini. Utang yang besar membuatnya harus terus hidup. Ia tidak boleh masuk ke fase AIDS di mana virus dalam tubuhnya berhasil menghancurkan sistem pertahanan tubuh dan mengundang komplikasi penyakit.

“Kalau saya meninggal, saya meninggalkan anak satu-satunya dan mewarisi utang kepada dia. Saat itu motivasi saya untuk sehat itu, utang,” kata Arini yang bekerja sebagai penulis dan motivator gaya hidup sehat.

Waktu itu informasi seputar HIV dan terapi antiretroviral (ARV) masih minim. Bahkan ia tak tahu bahwa di Indonesia sudah banyak ODHIV. Ia mencari informasi sendiri melalui internet maupun komunitas HIV sembari menjalani pengobatan ARV, terapi yang bisa memperlambat dan menekan virus di dalam tubuhnya.

Ternyata diagnosis HIV bukan akhir bagi dirinya—dan bagi ODHIV lainnya. Baginya, HIV adalah penyakit yang bisa menyerang siapa saja, bahkan “korbannya” tidak harus orang dengan risiko tinggi. Buktinya ibu rumah tangga seperti dirinya bisa terserang.

Baca juga:  Pendapat Orang-Orang soal HIV

Terbukti, terapi ARV membuatnya bisa hidup normal kembali. Setiap hari, ia minum obat yang harus dikonsumsi seumur hidup. Obat ini memang tidak bisa membunuh virus HIV, tetapi mampu melumpuhkan keganasan virusnya. Selain itu, ia disiplin menjalankan pola hidup sehat, makan buah dan sayur sebagai sumber nutrisi yang bisa mendukung proses terapinya.

Arini berhasil mencapai kemajuan dalam terapi ARV-nya dengan memperoleh hasil undetectable yang berarti kadar HIV di darahnya sudah sangat sedikit dan bisa dikatakan tidak berpotensi menularkannya. Sementara kualitas hidupnya terus meningkat, ia pun mampu menghidupi anaknya dari menulis. Salah satu bukunya berjudul Hidup Sehat Bebas Gluten 1 & 2 menjadi rujukan orang-orang yang perlu informasi makanan sehat. Saat ini ia tengah menulis jilid ke-3.

Di samping menulis, ia aktif melakukan motivasi dan edukasi gaya hidup sehat kepada berbagai kalangan. Ia membuktikan bahwa seorang ODHIV bisa menjalani hidup normal, sehat, dan berprestasi.

Keberhasilan itu tak lepas dari motivasi awal sejak ia dinyatakan terinfeksi HIV, yaitu ingin melunasi utang dan membesarkan anaknya. Ketika itu anaknya yang masih kelas 4 SD terlalu dini mengetahui HIV. Selain itu, sang anak juga baru ditinggal bapaknya. Tapi anak itu tahu bahwa ibunya tidak boleh lupa minum obat. “Kalau kotak obatnya kosong, anak saya yang mengisi.”

Seiring perjalanan waktu, beberapa pria sempat mendekat. Ia menolak mereka dengan menyatakan langsung bahwa dirinya positif HIV. Namun ada satu orang yang keuekeuh ingin menjadikannya istri. Orang itu mau menerima kondisi Arini apa adanya.

Baca juga:  I-Doser Bukan Narkoba

Pria itu berasal dari Balanda. Dia tidak mempermasalahkan status HIV yang disandang Arini. Akhirnya pada 2007 mereka menikah.

Arini menuturkan, suaminya telah berkonsultasi dengan dokternya di Belanda tentang status calon istrinya, termasuk meminta pandangan soal hubungan suami istri dengan ODHIV. Sang dokter bilang, seseorang tetap aman berhubungan seksual dengan ODHIV tanpa alat pengaman sekalipun apabila ODHIV tersebut virusnya telah undetectable. Arini memenuhi persyaratan itu. “Calon suami saya makin yakin untuk menikah,” ucapnya.

Arini memutuskan untuk membuka status HIV-nya ke publik dengan tujuan memberi edukasi pada masyarakat dan motivasi kepada para ODHIV. Menurutnya, kebanyakan ODHIV merahasiakan status HIV-nya. Padahal baginya setiap orang adalah satu pribadi yang utuh berikut status yang di sandangnya.

“Saya open, saya harap publik tahu orang dengan HIV bisa berprestasi dan hidup normal,” katanya.

Yang penting, kata Arini, orang itu mau melakukan perubahan dalam hidupnya. Tanpa motivasi hidup, orang yang hidupnya normal pun tidak akan bisa hidup sukses dan berprestasi.

“Saya harap teman-teman sesama ODHIV jangan terus bersembunyi karena akan membuat mereka terus tertekan. Mereka jadi ODHA, orang dengan halusinasi akut, takut ini dan itu. Makanya saya tak mau disebut ODHA, saya ODHIV, selain tidak AIDS, saya tak mau berhalusinasi,” ungkapnya sambil berseloroh.

Arini telah berterus terang kepada anaknya sewaktu buah hatinya menginjak kelas 1 SMP. Ia jelaskan bahwa ia tertular HIV dari almarhum bapaknya, bahwa ODHIV tidak boleh terlambat minum obat, dan seterusnya. Tapi ODHIV pun bisa bangkit. *****

Iman Herdiana

The author Iman Herdiana

Jurnalis dan penulis lepas, tinggal di Bandung

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.