close
FeaturedKebijakan

Pemerintah Diminta Mulai Teliti Manfaat Ganja untuk Kesehatan Mental akibat Wabah Korona

How-marijuana-benefits-mental-health-730×474
Ilustrasi: The International Chronicles

Masyarakat yang memanfaatkan tanaman ganja untuk pengobatan di Indonesia terus ditemukan. Media pun memberitakannya lantaran para pelakunya dibekuk polisi karena UU Narkotika kita yang sangat represif dan rentan penyelewengan akibat banyaknya “pasal karet”.

Senin lalu, seorang kader parpol di Kendari, Sulawesi Tenggara diamankan polisi karena tanam ganja di pot pekarangan rumahnya.

MZ (34), begitu si penanam ganja disebut di sebuah portal berita, mengaku sudah empat bulan menanam ganja karena hobi dan sebagai obat. Hal itu disampaikan Direktur Reserse Narkoba Polda Sultra, Kombes Eka Faturrahman. MZ diamankan beserta satu batang pohon ganja setinggi dua meteran, satu karung batang ganja, biji ganja kering, biji yang tengah disemai, dan bungkusan daun ganja.

Pertengahan Desember tahun lalu seorang ibu rumah tangga berusia 57 tahun kedapatan polisi menanam 41 batang pohon ganja di pekarangan rumahnya di Bandung Barat, Jawa Barat. Pelaku berinisial RT mengaku menanam ganja untuk diambil minyaknya dan dijadikan obat kanker.

Fidelis (38), yang dipidana delapan bulan penjara dan denda Rp1 miliar oleh Hakim PN Sanggau, Kalimantan Barat karena menanam dan mengobati istrinya yang mengidap syringomyelia dengan ganja, sempat menghiasi pemberitaan berbagai media, tidak hanya dalam rubrik kriminalitas, tapi juga humaniora. Kisah Fidelis gagal meluluhkan rasa kemanusiaan hakim yang memvonis lebih berat dari tuntutan jaksa, yakni lima bulan penjara dan denda Rp800 juta karena kedapatan menanam 39 batang pohon ganja.

Baca juga:  Pengurangan Dampak Buruk Konsumsi Narkoba

Menanggapi fenomena ini, Jaringan Advokasi Masyarakat Sipil – Narkotika untuk Kesehatan, di mana Rumah Cemara menjadi anggotanya, menganjurkan pemerintah untuk lebih terbuka terhadap ganja untuk pengobatan dengan memulai penelitian-penelitian manfaat tanaman ini. Pemidanaan upaya pengobatan dengan ganja dan narkotika lainnya seharusnya dihentikan, karena negara pun tidak mampu menyediakan layanan kesehatan yang memadai. Penanganan covid-19 menggambarkan ketidakmampuan ini.

Banyak indikator dalam penanganan covid-19 menunjukkan, pemerintah tidak efektif mengendalikan wabah. Ini terlhat dari tingginya angka kematian (termasuk dari kalangan medis), masalah transparansi data, minimnya koordinasi, termasuk dalam jaminan kesehatan. Kita ketahui bersama pengelolaan BPJS kesehatan telah menyebabkan defisit triliunan rupiah hingga memaksa pemerintah menaikkan biaya iurannya setelah dibatalkan Mahkamah Agung Maret lalu.

Pemanfaatan ganja untuk pengobatan di Indonesia memang belum dapat diketahui secara pasti. Belum ada hasil kajian resmi yang dapat dirujuk. Pemerintah, sejak kasus Fidelis mencuat pun belum melakukan tindak lanjut apapun untuk menggali kebenaran adanya manfaat dari kandungan tanaman ganja. Padahal, di banyak negara, tanaman ini telah resmi dimanfaatkan untuk berbagai kondisi kesehatan.

Wabah covid-19 telah meningkatkan angka kecemasan seseorang akibat situasi yang serba tidak pasti. Salah satu manfaat ganja adalah meredakan kecemasaan.

Oleh karena itu, pemerintah seharusnya lebih membuka diri terhadap realitas ini. Pemerintah perlu menggunakan segala peluang untuk menanggulangi dampak covid-19, termasuk dampak terhadap kesehatan mental masyarakat, bukan malah mempertahankan kebijakan “perang terhadap narkotika” yang justru kontraproduktif.

Baca juga:  Petani, HIV, dan Gairah akan Piala di League of Change 2017

Propaganda dan kebijakan “perang terhadap narkoba” sudah seharusnya dihentikan. Penghukuman yang keras terbukti tidak pernah efektif dan malah mendatangkan beban luar biasa pada negara seperti berlebihnya jumlah penghuni rutan/ lapas. Ditambah lagi, pemidanaan narkotika hanya akan menguntungkan pasar gelap. Selain itu, khusus di masa pandemi ini, polisi seharusnya menahan diri agar tidak melakukan penangkapan/ penahanan, mengingat adanya potensi pelanggaran protokol PSBB.

Negara tidak seharusnya menghukum warga yang memanfaatkan ganja untuk pengobatan, terlebih saat ini negara sendiri tidak mampu menyediakan layanan kesehatan yang memadai. Pemerintah harus mulai terbuka terhadap pemanfaatan ganja dan narkotika lainnya untuk pengobatan. Langkah awal yang dapat dilakukan yakni dengan mulai mendorong adanya penelitian-penelitian yang berorientasi untuk melihat manfaat medis dari kandungan tanaman ganja.

Pemanfaatan ganja untuk pengobatan sebenarnya telah diadopsi di berbagai negara. Hingga saat ini, setidaknya ada 40 negara yang telah memberikan akses resmi bagi warganya untuk pengobatan berbagai masalah kesehatan dengan tanaman ganja.

Hal ini tidak terlepas dari banyaknya penelitian di negara-negara tersebut. Penelitian yang didorong untuk menggali manfaat tanaman ganja secara klinis, yang kemudian menjadi landasan membuka akses terhadap ganja medis bagi masyarakat.*****

Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.