close
im-stich-gelassen-nutzer-von-therapeutischem-cannabis-waehrend-der-covid-19-krise-image-8142
Ilustrasi: Kannabia.com

Penyebaran penyakit akibat virus korona jenis baru sejak Desember 2019 secara meluas dan cepat (disebut pandemi covid-19) telah membuat banyak ilmuwan bekerja keras untuk mengatasinya. Jumlah kematian akibat wabah ini tak main-main. Per 27 Mei 2020, tercatat lebih dari 350 ribu kematian di seluruh dunia.

Atas banyaknya kematian itu, berbagai jenis zat diklaim bisa mengatasi covid-19 baik sebagai obat maupun pencegah meski belum ada yang berani mengklaim telah menemukan vaksinnya. Saya rasa ini hal baik. Bukan untuk saling menyesatkan, tapi untuk menjaga optimisme di tengah situasi yang serba belum pasti ini.

Dalam dunia pengobatan, zat-zat yang dinyatakan mampu mengatasi covid-19 bahkan oleh ilmuwan kaliber dunia pun saat ini wajib kita anggap sebagai klaim yang belum dapat disimpulkan. Sebab untuk bisa digunakan secara luas sebagai obat, suatu zat harus melalui tahapan tertentu. Di Amerika Serikat, rata-rata dibutuhkan waktu hingga 12 tahun perjalanan suatu obat dari laboratorium sampai ke lemari obat di rumah kita. Itupun kalau berhasil lulus di berbagai ujian untuk tahapan-tahapan tadi.

Khusus untuk covid-19, para ilmuwan tengah berlomba mengujicobakan vaksin. Jika berjalan lancar, para ahli memperkirakan vaksin untuk SARS-CoV-2, virus korona penyebab covid-19, bisa tersedia dalam 12-18 bulan ke depan. Calon-calon vaksin itu kini berada di tahap satu hingga tiga uji coba, termasuk di tahap praklinis dari penelitian dan pengembangan.

Ilmuwan di berbagai belahan dunia saat ini mencurahkan segenap kemampuannya menemukan obat maupun vaksin untuk mengatasi pandemi covid-19. Berbagai bahan alami nan tradisional pun tak luput digunakan dalam upaya tersebut, termasuk jahe merah, eukaliptus, dan ganja.

Obat-obat yang sebelumnya digunakan untuk mengatasi penyakit lain seperti ebola atau malaria misalnya, kini juga dipakai untuk pengobatan covid-19. Akhir Maret lalu, pernyataan Jokowi yang memesan tiga juta obat malaria klorokuin ramai diberitakan karena obat itu belum teruji efektif mengatasi covid-19, bahkan efek sampingnya cukup buruk. Di Jerman, uji klinis pertama untuk vaksin SARS-CoV-2 dilakukan dengan kandidat vaksin yang justru dikembangkan untuk penanganan kanker.

Sebuah kajian di Prancis menyatakan nikotin, zat aktif yang dikenal terkandung dalam rokok tembakau, mampu melindungi manusia dari infeksi virus korona.  

Baru-baru ini peneliti Kanada memublikasikan sebuah hasil kajian yang belum diulas oleh banyak ahli secara ketat (peer reviewed), zat aktif pengobatan dalam ganja (cannabidiol [CBD]) dari jenis tertentu bisa memblokir reseptor virus korona di tubuh manusia. Klaim tersebut cukup banyak menghiasi wajah media dalam dan luar negeri. Sebelumnya, Rumah Cemara juga memuat pernyataan Prof. Musri Musman bahwa ganja bisa mencegah peradangan akibat infeksi virus korona jenis baru.

Hingga saat ini setidaknya terdapat dua klaim bahwa ganja bisa atasi covid-19. Pertama, yang diklaim oleh Prof. Musri sebagai antiradang akhir Maret lalu dan kedua, kajian di Universitas Lethbridge, Kanada yang menyatakan ganja bisa menekan jumlah reseptor virus korona dalam tubuh yang dipublikasikan akhir April. Kedua subjek itu juga sedang diteliti oleh Prof. Dedi Meiri dari Institut Teknologi Israel.

Baca juga:  Konsumen Narkoba Bikin Sesak Penjara. Segera Bebaskan Mereka untuk Cegah Covid-19!

Sebelum saya ulas bagaimana cara zat aktif yang terdapat pada ganja bekerja untuk mengatasi infeksi virus korona, penting untuk diingat bahwa klaim semua zat untuk atasi covid-19 masih berada pada tahap awal penelitian. Hendaknya kita, dan para ilmuwan berhati-hati mengeluarkan pernyataan sudah menemukan obat atau penangkal virus korona.

Virus penyebab covid-19 baru diidentifikasi Desember 2019 lalu. Kalaupun ada yang menyatakan menemukan obatnya tahun ini, merujuk waktu rata-rata perjalanan obat di Amerika Serikat dari laboratorium sampai bisa dibeli di apotek, maka baru tahun 2032 obat tersebut bisa kita dapatkan di pasaran. Untuk alasan mengatasi wabah, bisa saja para ahli menjanjikan vaksin alias penangkalnya akan tersedia dalam 18 bulan ke depan.


Ganja sebagai Antiradang

Prof. Musri Musman dari Universitas Syah Kuala di Banda Aceh mensinyalir, CBD sebagai zat antiradang mampu mencegah terjadinya “badai sitokin” yang menyebabkan kegagalan sejumlah organ tubuh hingga sering berujung pada kematian. Klaim ini dikategorikan oleh situs turnbackhoax.id sebagai konten yang menyesatkan pada 20 Maret 2020.

Seperti saya katakan, semua klaim suatu zat mampu mengatasi covid-19 saat ini harus kita anggap belum teruji. Sejumlah ilmuwan yang membuat klaim saya rasa tidak berniat menyesatkan siapapun. Mereka mengklaim dan masih harus melakukan serangkaian uji laboratorium maupun uji klinis pada populasi manusia dalam jangka panjang. Ini termasuk untuk formula berbahan dasar eukaliptus yang patennya didaftarkan Badan Pengembangan dan Penelitian Kementerian Pertanian RI baru-baru ini.

Khusus untuk ganja, ada kekhawatiran bahwa orang-orang akan ketagihan dan mencobanya dengan segala bentuk ganja, termasuk yang dari pasar gelap. Di Indonesia, pemanfaatan ganja kecuali untuk keperluan iptek diancam pidana. Maka tak heran bila penelitian manfaat ganja tidak didukung pemerintah.

Dikutip dari DW.com beberapa peneliti di Inggris menyatakan, kekhawatiran itu terjadi karena adanya kesalahpahaman antara masyarakat umum dan politikus tentang ganja medis. Maka para peneliti harus meluruskan informasi dan menghindari sensasionalisme mengenai subjek tersebut. Penerapan metode penelitian yang terbuka dan transparan adalah cara terbaik yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan itu.  

Terlepas dari adanya sanggahan mengenai klaim ini, peran senyawa-senyawa yang terkandung dalam ganja (cannabinoids) sebagai antiradang, antipembengkakan, atau anti-inflamasi memang telah diteliti sejak lama. Sebuah jurnal kesehatan terkemuka pernah memublikasi penelitian yang juga menyatakan peran senyawa ganja terhadap produksi sitokin oleh sel imun pada 2009. Subjek penelitian sejenis pun sudah banyak dipublikasikan jurnal-jurnal kesehatan setidaknya sejak 1991.

Di situs-situs kesehatan yang lebih populer juga disebutkan, manfaat CBD adalah untuk mengatasi peradangan selain kejang, nyeri, mual, migren, depresi, dan kecemasan.

Baca juga:  Stigma Pasien Narkoba Hambat Terapi Medis

Lalu apa hubungannya dengan covid-19?

Semua benda asing termasuk virus yang menginfeksi sel-sel tubuh akan direspons oleh sistem kekebalan tubuh. Sistem yang melindungi tubuh kita dari serangan mahluk asing ini pada dasarnya bisa membahayakan karena selain menyerang jaringan sel yang terinfeksi, sel imun juga menyerang jaringan yang sehat sehingga perlu regulasi ketat.

Sitokin (cytokines) adalah sekelompok protein yang meregulasi respons peradangan terhadap infeksi atau penyakit yang disekresi atau dikeluarkan oleh sel-sel imun. Ada sitokin proradang dan antiradang.

Infeksi akan merangsang sistem imun untuk memproduksi sitokin yang memerintahkan jaringan tubuh untuk membengkak (meradang) atau mengempis (antiradang). Sayangnya virus korona juga menginfeksi sel imun saat berada di paru-paru untuk menyerang jaringan sel yang terinfeksi. Alhasil, sel imun memproduksi sitokin lebih banyak dari yang dibutuhkan, membuang-buang sumber daya, dan mengakibatkan kerusakan.

Setidaknya terdapat dua jenis “tentara” yang dihasilkan sistem imun melalui perantara sitokin, yakni neutrofil yang membunuh patogen penyebab penyakit termasuk yang berguna untuk tubuh dan sel T pembunuh yang memerintahkan sel terinfeksi untuk bunuh diri. Infeksi virus korona mengakibatkan kebingungan sehingga sel T pembunuh juga memerintahkan sel yang sehat untuk bunuh diri.

Jumlah “tentara” yang berlebih itu disebut badai sitokin. Mereka menumpas baik musuh maupun kawan serta memerintahkan jaringan sehat dan terinfeksi untuk bunuh diri sehingga menyebabkan kegagalan organ tubuh. Kegagalan organ akibat infeksi virus korona yang lebih disebabkan oleh sistem imun kita sendiri diperlihatkan di menit 1:00 sampai 3:25 video ini.

Dalam penjelasannya, Prof. Musri mengatakan bahwa CBD dapat menghentikan badai sitokin tadi karena zat aktif pengobatan dalam ganja itu merupakan antiperadangan. Ia merujuk pada kajian-kajian yang telah diterbitkan di berbagai jurnal kesehatan dengan subjek ganja dan sitokin (cannabis and cytokines).

Hubungan antara sistem imun, sitokin, dan endocannabinoids (senyawa ganja yang diproduksi sendiri oleh tubuh) berperan penting dalam peradangan dan degenerasi. Sudah banyak kajian yang menyimpulkannya.


Ganja sebagai Penekan Jumlah Reseptor Virus

Sejumlah peneliti di Universitas Lethbridge, Kanada mengungkap kemampuan CBD menurunkan jumlah sel reseptor virus korona hingga lebih dari 70 persen.

Penelitian yang dilakukan Dr. Igor Kovalchuck, dkk. itu dibagikan Preprints.org, sebuah situs jurnal ilmiah tempat para ilmuwan bisa memublikasikan hasil penelitian mereka tanpa diperiksa oleh ahli terlebih dulu. Di situ Kovalchuck menulis, jenis ganja yang mereka kembangkan secara khusus bisa mencegah virus korona masuk ke paru-paru.

Lagi-lagi, sebelum mengulas cara kerjanya, penelitian ini merupakan satu dari banyak makalah di dunia yang dibagikan situs web sejenis Preprints.org dalam upaya menyebarluaskan temuan awal calon obat potensial untuk covid-19 tanpa diperiksa para ahli secara ketat.

Virus korona membutuhkan reseptor untuk bisa diinfeksi dan kemudian menjadi tempat bereproduksi lalu menyebar di tubuh makhluk hidup. Reseptor virus korona itu bernama ACE2 yang berada di paru-paru, lendir mulut dan hidung, ginjal, testis, dan saluran pencernaan.

Baca juga:  Kami Berduka: Musa, Ananda Dwi Pertiwi, Pemohon Uji Materi Pasal Pelarangan Narkotika untuk Pelayanan Kesehatan Meninggal Dunia

Dalam publikasinya Kovalchuck berargumen, jika tidak ada ACE2 pada jaringan, virus korona tidak akan bisa masuk.

Analoginya, jaringan diibaratkan sebuah gedung yang luas dan ACE2 adalah pintu-pintunya. CBD mengurangi jumlah pintu di bangunan tersebut hingga lebih dari 70 persen, sehingga jalan masuk virus lebih sedikit dan memperbesar kesempatan untuk menangkalnya.

Jika penelitiannya berhasil, Kovalchuck, dkk. akan menggunakan CBD dari jenis ganja yang mereka kembangkan untuk obat kumur mulut dan tenggorokan serta gel berpenutup untuk inhalasi. Menurut mereka, produk-produk kesehatan tersebut akan lebih murah dan efek sampingnya jauh lebih kecil.

Sejauh ini para peneliti yang bermarkas di Alberta, Kanada itu telah mengembangkan 800-an jenis tanaman ganja dengan kadar CBD yang tinggi. Kandungan CBD tinggi ini penting dalam pengembangan obat-obatan berbahan dasar ganja untuk menghindari kelebihan THC (zat psikoaktif atau membuat mabuk dalam ganja) yang efeknya bisa sangat menyiksa. Dari jenis-jenis itu, mereka juga mengidentifikasi 13 ekstrak yang mampu memodifikasi jumlah ACE2 pada tubuh manusia.

Menariknya, jenis tanaman ganja yang mereka kembangkan untuk kajian ini adalah yang memiliki kandungan cannabinoid antiradang yang tinggi. Itu artinya, baik penelitian manfaat ganja untuk meredakan “badai sitokin” maupun untuk menekan jumlah ACE2 sama-sama mengandalkan efek antiradang tanaman bernama Latin Cannabis sativa ini.

Sambil menulis di rumah, saya membayangkan jika negara ini sungguh ingin mengedepankan dan melestarikan khazanah pengobatan menggunakan rempah dan tanaman yang menghasilkan jamu-jamuan sebagai warisan leluhur, maka semua potensi tumbuhan termasuk ganja akan dimanfaatkan oleh ilmuwan-ilmuwan negeri ini untuk mengatasi covid-19. Sayangnya pemerintah malah menyia-nyiakan potensi tersebut dengan membumihanguskan ladang-ladang ganja yang mereka temukan.

Untuk negara yang dikenal memiliki ladang subur ganja, Indonesia telah kalah beberapa langkah dalam pemanfaatan tanaman itu untuk meningkatkan taraf kesehatan bangsa sendiri. Di tengah wabah yang entah kapan mereda, seharusnya pemerintah mengizinkan dan mendukung segala potensi penanggulangan covid-19 termasuk memanfaatkan zat-zat dari tanaman yang saat ini dilarang melalui UU Narkotika.

Hilangkan pikiran ini: Dilarang saja banyak yang menyalahgunakan, apalagi kalau diizinkan!

Pikiran macam itu hanya akan melestarikan pasar gelap produk-produk potensialnya, memperkaya sindikat kejahatan, dan suap-menyuap aparat demi melindungi tata niaganya saat ini.

Kembali ke penelitian untuk mengatasi covid-19. Ilmuwan-ilmuwan di negara lain sudah berbicara efek ganja terhadap reseptor virus atau kelebihan produksi sitokin yang menyebabkan kegagalan fungsi organ akibat infeksi. Kita, malah berkutat pada klaim yang sudah terbantahkan secara ilmiah kalau ganja sangat merusak mental dan organ tubuh, membuat ketagihan, sampai menyebabkan kematian. Tepok jidat!

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.