close
infografis 3.1
Gambar Ilustrasi: @abulatbunga

Ganja atau rami (hemp), bernama Latin Cannabis sativa, dimanfaatkan manusia karena seratnya, bahan obat untuk kondisi fisiologis dan psikologis, kandungan gizi, dan minyak dari bijinya. Tanaman herba ini memiliki beragam jenis dan kegunaan. Beragam pula cara menanam serta waktu panennya, tergantung tujuan penanamannya.

Setidaknya terdapat dua senyawa ganja (cannabinoids) yang terkenal lantaran banyak digunakan untuk tujuan medis maupun rekreasi, yakni delta-9 tetrahydrocannabinol (THC) yang memabukkan atau disebut psikoaktif dan cannabidiol (CBD) yang nonpsikoaktif.

Rami, jenis ganja dengan kandungan THC rendah, ditanam karena serat yang lebih kuat untuk menghasilkan beragam bahan tekstil. Biji-bijinya merupakan sumber makanan yang kaya protein. Bunganya mengandung cannabinoids yang dikonsumsi untuk tujuan rekreasional, medis, dan spiritual.

Kajian terbaru menemukan, tanaman ganja yang dibudidayakan berasal dari Asia bagian timur. Temuan ini membantah klaim sebelumnya bahwa ganja berasal dari Asia Tengah, Selatan, atau lebih spesifik lagi, Himalaya.

Cetakan-cetakan serat ganja di puing-puing keramik berusia lebih dari 10.000 tahun ditemukan di Tiongkok dan Taiwan. Orang-orang Asia Kuno juga menggunakan serat yang sama untuk membuat baju, sepatu, tali, dan kertas. Hingga pertengahan abad ke-14, pakaian dari serat hemp lebih banyak dijumpai ketimbang linen.

Orang-orang Jawa zaman dulu (dan sebagian kini) menyebut “hem” untuk kemeja karena Hemp® merupakan merek baju berkerah yang sangat populer di Jawa saat zaman penjajahan, sebagaimana “odol” untuk pasta gigi. Lema “hem” di Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kemeja.  

Bukti konsumsi ganja dengan mengisap asap hasil pembakarannya dapat ditemukan pada peninggalan Zaman Neolitikum. Biji-biji ganja yang hangus ditemukan dalam tungku pembakaran di situs permakaman di daerah yang sekarang bernama Rumania 5.000 tahun lalu.

Baca juga:  Peringatan Hari Anti-Narkoba 2021: PBB Hapus Stigmatisasi Ganja, Indonesia Lanjut Perangi Narkoba (2)

Orang-orang India Kuno terkenal sebagai konsumen psikoaktif ganja, bernama “ganjika” yang dalam bahasa Sanskerta berarti kepunyaan sungai Gangga. Hal ini tersirat maupun tersurat dalam legenda dan agama, yakni Kitab Weda dan teks-teks suci Hindu yang dikompilasi antara 2000 hingga 1400 SM.

Penduduk Kerajaan Persia melaksanakan upacara pembakaran ganja dalam jumlah besar yang kerap berlangsung hingga 24 jam. Kepulan asap ganja mereka hirup dan terhirup pula oleh suku-suku lain di sekitarnya. Ritual ini tercatat dilakukan pada 500 SM.

Sepanjang 1776 hingga 1937, ganja-rami adalah tanaman utama Amerika. Tekstil umumnya berbahan baku ganja. Namun, Museum Tekstil Amerika, Institut Smithsonian, dan sebagian besar buku sejarah Amerika tidak menyebutkan ganja-rami. “Perang terhadap narkoba” oleh pemerintah telah mengondisikan sensor diri, yakni membuat tabu dan merasa bersalah secara politis saat membicarakan hal positif tentang ganja.

Presiden Amerika Serikat, George Washington dan Thomas Jefferson pun menanam rami, menggunakan produk yang terbuat darinya, dan memuji tanaman ini dalam beberapa tulisan mereka. Bahkan rancangan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat ditulis Jefferson di atas kertas berbahan ganja.

Di kancah medis, ganja diproduksi dan dijual sejak abad ke-19. Konon, Ratu Victoria mengonsumsi ganja untuk mengobati nyeri haid. Ganja pun terdaftar dalam Ikhtisar Farmasi AS pada 1850 dan tersedia luas di toko-toko obat AS kala itu hingga akhir abad ke-20. Tapi dengan berlakunya UU Pajak Ganja pada 1937, ganja dihapus dari ikhtisar farmasi tadi pada 1942.

UU AS Tahun 1970 tentang Pengendalian Zat melarang ganja dimanfaatkan untuk pengobatan dan membatasinya hanya untuk tujuan penelitian. Hal ini juga terjadi di Indonesia sejak diberlakukannya UU Narkotika 1976.

Baca juga:  Bobotoh: Cita-Cita dan Aksi Suporter Klub Sepak Bola

Sebenarnya faedah medis baik THC maupun CBD sama banyaknya. Keduanya dapat mengatasi sejumlah kondisi yang sama, sebut saja mual, cemas, peradangan, hingga nyeri. Tapi karena THC mengakibatkan efek psikoaktif, beberapa pasien lebih memilih memanfaatkan CBD untuk menghindari efek samping tersebut.

Sebuah obat yang dikembangkan perusahaan farmasi Inggris, GW Pharmaceuticals untuk perawatan kontraksi otot karena sklerosis ganda (multiple sclerosis) mengandung 2,7 mg THC dan 2,5 mg CBD. Perbandingannya nyaris 1:1. Nabiximols adalah nama generik obat tersebut, dijual dengan jenama Sativex®. Obat berbentuk semprotan oral ini telah diresepkan bagi pasien sklerosis ganda di Inggris sejak 2010. Kedua ekstrak ganjanya berasal dari tanaman (botanical drug).

Perusahaan yang mangantongi izin penelitian dan pengembangan ganja itu juga membuat minyak CBD bertaraf obat (pharmaceutical-grade). Seizin Badan POM AS, minyak tersebut dijual dengan jenama Epidiolex® pada 2018 untuk diresepkan pada pasien yang resistan terhadap perawatan epilepsi, yakni anak-anak yang mengalami sindrom Dravet dan sindrom Lennox-Gastaut. Bahan baku obat berbentuk cairan tetes oral ini pun tanaman.

Sejak berlakunya Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika 1961 sampai 2 Desember 2020, sebenarnya ganja dikategorikan sebagai Narkotika Golongan I dan IV. Zat yang terdaftar dalam dua golongan sekaligus di konvensi itu dianggap rentan disalahgunakan, berdampak pada kesehatan (ill-effect), dan hanya sedikit bahkan tidak bermanfaat sama sekali untuk pengobatan. Contoh zat yang terdaftar seperti itu adalah fentanil dan heroin

Risiko kematian pemanfaatan kedua obat itu signifikan. Fentanil adalah opioid yang paling banyak tercatat pada kematian akibat overdosis di AS, melebihi heroin pada 2018. Sepanjang 2013-2016, kematian akibat overdosis yang melibatkan fentanil meningkat 113 persen per tahun.

Baca juga:  Mitos dan Fakta tentang HIV-AIDS

Meski demikian, kebijakan pemanfaatan fentanil sebagai pereda nyeri juga obat anestesi berbeda-beda di tiap negara. Di Indonesia misalnya, fentanil merupakan Narkotika Golongan II, didefinisikan UU sebagai zat yang berkhasiat obat, digunakan sebagai pilihan terakhir dalam terapi dengan potensi ketergantungan yang tinggi.

Artinya, tiap negara berdaulat untuk tidak menerapkan konvensi secara mentah-mentah. Maka walaupun PBB mengategorikan ganja sebagai zat yang rentan disalahgunakan, berdampak pada kesehatan (ill-effect), dan hanya sedikit bahkan tidak bermanfaat sama sekali untuk pengobatan, negara penanda tangan Konvensi 1961 bisa menerapkan kebijakannya sendiri.

Atas dasar itu, banyak negara yang memanfaatkan dan mengembangkan obat berbahan dasar ganja, membudidayakan, bahkan membuat konsumsi rekreasionalnya resmi sebelum PBB menghapus ganja dari Daftar Narkotika Golongan IV di Konvensi 1961 pada 2 Desember 2020.

Terlebih kajian WHO yang menjadi dasar penghapusan tersebut menyatakan, zat-zat yang terkandung dalam tanaman ganja memiliki properti pengobatan nyeri, peradangan, ayan atau seizures, hingga sklerosis ganda. Kontras dengan berbagai properti obat tadi, kajian tersebut tidak menemukan indikasi kalau pemanfaatan ganja dan getahnya merugikan kesehatan.

Berikut negara di Asia dan Afrika yang telah meresmikan pemanfaatan ganja untuk pengobatan dan/ atau budi dayanya setelah pemberlakukan Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika 1961: Korea Selatan (2018); Lebanon (2020); Lesotho (2017); Malawi (2020); Maroko (2021); Rwanda (2021); Singapura (2021); Afrika Selatan (2018); Sri Lanka (2008); Thailand (2018); Zambia (2019); dan Zimbabwe (2018).

Tags : Cannabis sativaganjahasishhempmarijuanarami
Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

2 Comments

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.