close
WhatsApp Image 2021-06-24 at 12.01.43
Gambar Ilustrasi: @abulatbunga

Sepanjang 2015-2020, BNN melaporkan kegiatan uji narkoba bekerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah, swasta, dan pendidikan serta masyarakat umum. Berikut datanya:

Sumber Data: Siaran Pers Akhir Tahun BNN 2015, 2016, 2017, 2018, 2019, dan 2020

Jika dirata-rata, tiap tahun BNN menguji 225.336 sampel urine untuk mengetahui kandungan narkoba pada masyarakat sepanjang 2016-2020. Hasil positifnya 581 sampel atau 0,25 persen dari rata-rata sampel tahunan.

Pemborosan Anggaran Tes Urine

Sebagai informasi, alat tes menggunakan sampel urine untuk mendeteksi kandungan enam jenis narkoba dibanderol antara 60 hingga 120 ribu rupiah. Enam parameter tes itu mendeteksi kandungan morfin (heroin alias putau dan turunan opioid lainnya), ganja, amfetamina, metamfetamina (sabu-sabu, ekstasi), kokaina, dan benzodiazepin (anticemas, antikejang seperti diazepam, alprazolam). Nilai tengah harga per unitnya, 90 ribu rupiah.

Dari perhitungan di atas, BNN mengeluarkan biaya 20,28 miliar rupiah (225.336 sampel dikali 90.000 rupiah) per tahun untuk melaksanakan kegiatan uji narkoba. Anggaran tahunan negara sebanyak itu dikeluarkan untuk mengetahui 0,25 persen peserta yang mengonsumsi narkoba.

Lantas, apa yang terjadi pada mereka yang tubuhnya positif mengandung narkoba? Sementara, tentunya uji narkoba ini diwajibkan bagi bahkan memaksa (mandatory) pegawai sebuah jawatan atau siswa institusi pendidikan yang bekerja sama dengan BNN. Sanksi pun menanti mereka yang menolak tes.

Di sejumlah negara, uji narkoba, terutama terhadap anak sekolah, sudah banyak ditentang. Human Rights Watch berpendapat, kegiatan ini secara serius mengancam keamanan dan hak atas pendidikan para siswa. 

Mengambil cairan tubuh, baik urine maupun darah tanpa persetujuan, melanggar integritas atas tubuh dan merupakan tindakan sewenang-wenang atas privasi serta merendahkan martabat manusia. Tindakan ini berpotensi menghalangi dan merampas hak siswa untuk bersekolah atau pegawai untuk mendapat pekerjaan layak karena alasan-alasan yang mungkin tidak berhubungan dengan konsumsi narkoba.

Mengeluarkan siswa dari sekolah atau pegawai dari instansinya karena hasil positif uji narkoba merupakan tindakan semena-mena atas hak pendidikan dan pekerjaan yang pemenuhan keduanya dijamin UUD 1945. Tentu terdapat pengecualian bagi mereka yang memang profesinya menuntut tanggung jawab atas keselamatan orang lain seperti pilot atau nakhoda, atau konsumsi narkoba bertentangan dengan profesinya seperti polisi satuan reserse narkoba.

Uji narkoba bukanlah cara efektif untuk menyelamatkan seseorang dari masalah konsumsinya. Pasalnya, banyak zat psikoaktif yang hanya terdeteksi saat konsumen berada dalam pengaruh zat saat tes dilakukan. Terlebih, kebijakan ini dapat mendorong seseorang mengonsumsi narkoba lain yang tidak terdeteksi alat tes dan bisa jadi lebih berbahaya.

Laporan sebuah kajian di Amerika Serikat pada 2013 menemukan bahwa, uji narkoba di sekolah menunjukkan rendahnya konsumsi ganja, tapi konsumsi obat-obatan lain yang lebih berbahaya justru meningkat. Studi lain yang juga dilaporkan pada 2013 menemukan, tidak adanya efek jangka panjang terhadap konsumsi narkoba maupun keinginan untuk mengonsumsinya di masa yang akan datang. Bahkan sebuah studi yang dilaporkan pada 2014 menyimpulkan, uji narkoba tidak ada kaitannya dengan perubahan (naik-turunnya) konsumsi narkoba di sebuah populasi.

Baca juga:  Tahanan di Kantor Polisi Tempat Penyiksaan?

Uji paksa narkoba tidak efektif menekan konsumsi maupun peredaran narkoba di masyarakat. Karenanya, program ini dianggap tidak efisien kalau tidak ingin disebut menghambur-hamburkan uang negara. Kalaupun tidak dibiayai negara lewat anggaran nasional atau daerah, uji narkoba mengutip dana dari peserta dan layak kalau kelak ditengarai sebagai pungutan liar.

Isapan Jempol Kewajiban Rehabilitasi

Pada peringatan Hari Anti-Narkoba Internasional 2015, Jokowi menyampaikan capaian rehabilitasi pecandu berjumlah 18 ribu pada 2014. Ia pun menargetkan 100 ribu pecandu terlayani program rehabilitasi pada 2015 dan 200 ribu pada 2016.

Berikut capaian balai rehabilitasi ketergantungan narkoba pemerintah se-Indonesia:

Sumber Data: Siaran Pers Akhir Tahun BNN 2015, 2016, 2017, 2018, 2019, dan 2020

Tidak satupun angka yang dilaporkan menyentuh 100 ribu sebagaimana target 2015, apalagi target 200 ribu pada 2016. Boro-boro mendekati, capaiannya bahkan menurun!

Meskipun capaian rehabilitasi jauh di bawah target yang diikrarkan Jokowi, tapi BNN tidak pernah melaporkan alasan rendahnya capaian tersebut ke publik. BNN tidak pula menjelaskan kenapa capaian rehabilitasi menurun sejak 2018.

Lalu meski capaian tahunan layanan rehabilitasi yang dilaporkan secara tertulis pada 2014 jumlahnya kurang dari seribu, yakni 988 orang, tapi lagi-lagi Jokowi memaparkan data yang entah dari mana tentang capaian rehab pada tahun itu saat berpidato di Hari Kekalahan Perang Narkoba 2015, yakni 18 ribu peserta.

BNN juga menetapkan 2014 sebagai tahun bersejarah di bidang rehabilitasi. Selain mencanangkan sebagai Tahun Penyelamatan Pengguna Narkoba, BNN juga menandatangani Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi. Peraturan itu ditandatangani bersama Ketua MA, Kapolri, Jaksa Agung, Menteri Kesehatan, Sosial, serta Hukum dan HAM RI, 11 Maret 2014.

Sebelumnya, BNN meluncurkan proyek percontohan tim asesmen terpadu untuk implementasi PP No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika di 16 kota.

Tim tersebut melayani 1.575 atau 3,69 persen dari 42.649 tersangka tindak pidana narkoba untuk dirujuk ke program rehabilitasi pada 2019. Angka ini mengonfirmasi minimnya capaian rehabilitasi yang dicanangkan dengan peraturan bersama dan peluncuran tim asesmen untuk mendukung program pemerintah tersebut lima tahun sebelumnya. Belum lagi kalau membandingkan 50.008 penghuni penjara kasus konsumsi narkoba dengan 2.456 peserta rawat huni dari total 13.320 peserta rehabilitasi yang dilaporkan akhir 2019.

Baca juga:  Babad Kebijakan Narkoba di Indonesia

Jaminan pengaturan upaya rehabilitasi sebagai tujuan UU Narkotika, yang sejak 2014 diperkuat tim asesmen terpadu berdasarkan peraturan bersama tujuh kementerian dan lembaga negara, boleh jadi hanya berlaku bagi tersangka berkantong tebal atau kasusnya dianggap high profile. Sementara, kebanyakan tersangka konsumsi narkoba harus mendekam di penjara karena terabaikan layanan tim asesmen terpadu.

Padahal dengan prioritas program rehabilitasi, anggaran uji narkoba 20,28 miliar rupiah bisa dialokasikan untuk asesmen terpadu puluhan ribu tersangka konsumen tiap tahunnya. Saya rasa kegiatan tersebut lebih bermanfaat agar minimal hunian penjara tidak melebihi kapasitasnya ketimbang anggarannya dihabiskan untuk uji narkoba yang kajian-kajiannya telah membuktikan ketidakefektivannya.

Memosisikan Ganja

Pada Januari 2019, Komite Ahli Ketergantungan Narkoba WHO merekomendasikan pembenahan penggolongan ganja dalam konvensi PBB. Rekomendasi tersebut ditindaklanjuti oleh Komisi Obat-Obatan Narkotika (CND) pada sidang tahunannya yang ke-63, Maret 2020. CND adalah pengelola daftar penggolongan narkotika dan psikotropika yang dirumuskan pada sidang tahunan tersebut, karenanya komisi ini memutuskan melakukan pemungutan suara.

Karena kompleks, CND menjadwal ulang pemungutan suara untuk mengesahkan pembenahan penggolongan ganja dalam konvensi PBB, yakni 2 Desember 2020. 

Rekomendasi yang ditujukan kepada Sekjen PBB itu berisi, ganja dan getahnya dihapus dari Golongan IV Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika 1961, tapi tetap berada di Golongan I. Dasar rekomendasi, komite ahli tidak menemukan indikasi kalau ganja dan getahnya merugikan kesehatan seperti pada zat lain yang terdaftar pada Golongan IV Konvensi 1961. Malah, kandungan dalam tanaman ganja memiliki properti pengobatan seperti untuk mengatasi nyeri, epilepsi, dan multiple sclerosis.

Narkoba yang terdaftar di dua golongan sekaligus dalam Konvensi 1961 dianggap rentan disalahgunakan, berdampak pada kesehatan, dan hanya sedikit bahkan tidak bermanfaat sama sekali untuk pengobatan. Contohnya, heroin dan fentanyl. Keduanya adalah opioid yang menyumbang hampir 50 ribu kematian akibat overdosis narkoba di Amerika Serikat pada 2019. Dari jumlah itu, 73 persen di antaranya melibatkan opioid sintetis seperti fentanyl.

Oleh sebab itu, ganja seharusnya ditempatkan pada tingkat pengendalian yang dapat mencegah dampak merugikan akibat pemanfaatannya, misalnya pemenjaraan. Namun, penempatan ini jangan sampai menghalangi pemanfaatan serta penelitian dan pengembangan zat-zat turunan ganja untuk keperluan medis.

PBB secara resmi mengakui khasiat medis ganja melalui pemungutan suara pada 2 Desember 2020. Sejak hari itu PBB tidak lagi menetapkan ganja sebagai narkoba yang rentan disalahgunakan dan membahayakan kesehatan sebagaimana disepakati 97 negara anggotanya enam dekade lalu.

Baca juga:  Menyingkap Panti Rehab Abal-Abal

Ini merupakan kemajuan dalam kebijakan narkoba global mengingat sebelumnya negara-negara di Asia seperti Thailand dan Lebanon meresmikan budi daya ganja untuk keperluan medis, begitu pula Zambia dan Zimbabwe di Afrika. Bahkan Afrika Selatan tidak lagi memidanakan penanaman ganja sepanjang tidak untuk dijual, menyusul Kanada dan Uruguay.

Mengetahui akan diadakan pemungutan suara untuk membenahi penggolongan ganja dalam Konvensi 1961, Pemerintah RI memutuskan untuk tidak menyetujui rekomendasi WHO itu akhir Juni 2020.

Keputusan itu merupakan hasil rapat koordinasi antara BNN, Polri, Kementerian Kesehatan, Luar Negeri, serta Hukum dan HAM RI. Menurut mereka, ganja yang tumbuh di Indonesia berbeda dengan ganja di Eropa dan Amerika. Ganja di Indonesia mengandung 18 persen zat psikoaktif delta-9 tetrahydrocannabinol, sementara kandungan zat nonpsikoaktif cannabidiol yang mereka tengarai potensial sebagai bahan obat hanya 1 persen.

Karena kandungan zat psikoaktifnya (pengubah kesadaran atau kondisi psikologis) lebih tinggi, maka kebanyakan konsumsi ganja di Indonesia adalah untuk rekreasi bukan medis.

Pemerintah menyampaikan, klaim tersebut berdasarkan hasil penelitian. Oleh karena itu bila pemanfaatan ganja dilegalkan, bakal terjadi peningkatan angka orang sakit dan kematian akibat maraknya konsumsi tanaman ini.

Menyikapi hal itu, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan telah meminta secara resmi kepada pemerintah supaya klaim yang mengatasnamakan hasil penelitian itu diungkap. Hal ini sesuai dengan UU RI No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang menjamin hak setiap orang memperoleh informasi publik seperti hasil penelitian yang mendasari sikap Pemerintah RI untuk tidak menyetujui rekomendasi WHO soal ganja.

Menyusul tidak ditanggapinya permohonan pengungkapan informasi publik tersebut, koalisi pun menyengketakan hal tersebut ke Komisi Informasi Pusat, 30 September 2020.

Pengungkapan informasi yang mendasari penolakan pemerintah atas rekomendasi WHO agar ganja dapat dimanfaatkan untuk keperluan pengobatan merupakan wujud tanggung jawab negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hal atas pelayanan kesehatan. Hak ini melekat pada setiap warga negara sebagaimana dimandatkan UUD 1945.

Hal tersebut akan membuktikan sikap Pemerintahan Jokowi dalam keterbukaan informasi setelah sebelumnya rezim ini kandas dalam menjunjung perlindungan HAM dengan menolak grasi dan mengeksekusi mati 18 terpidana kasus narkoba. Telah diulas pula, rezim ini teledor memaparkan data, berkinerja jauh di bawah target yang ditunjukkan oleh capaian rehabilitasi ketergantungan narkoba, serta lebih memilih menghamburkan anggaran untuk kegiatan yang sudah banyak terbukti tidak efektif seperti tes urine dan pemejaraan konsumen narkoba.

Di peringatan Hari Kekalahan Perang Narkoba tahun ini, ada baiknya Pemerintahan Jokowi khusyuk bertafakur akan hasil perang terhadap narkobanya yang garang tapi minim capaian, selagi masih berkuasa. PBB saja sudah insaf mengategorikan ganja sebagai zat berbahaya nirfaedah, malah kini membuka akses terhadap tanaman itu untuk kepentingan pengobatan!

Tags : BNNCBDCNDganjaHari Anti-Narkoba InternasionalJokowinarkobaperang narkobarehabrehabilitasiTHCuji narkobaUUD 1945WHO
Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

1 Comment

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.