Penangkapan Kasat Narkoba Polres Karawang, Jawa Barat di sebuah apartemen dengan barang bukti tiga bungkus sabu seberat 101 gram pekan lalu menambah daftar polisi yang terlibat bisnis narkoba. Media mencatat, ratusan anggota Polri ketahuan menjadi konsumen bahkan berbisnis narkoba tiap tahun. Itu baru yang diketahui media.
Banyak pihak yang menyayangkan kasus semacam itu. Bukankah polisi hendaknya tidak terlibat konsumsi apalagi bisnis narkoba? Mereka itu aparatur penegak hukum. Kalau mereka terlibat, siapa yang akan memberantas narkoba?
Saya tidak bisa menyalahkan harapan masyarakat tersebut. Di sisi lain, saya pun tidak akan menyalahkan polisi bila kemudian mereka turut menguasai bisnis narkoba. Pasalnya, kebijakan narkoba di negeri ini terlalu mengandalkan hukum pidana di mana polisi merupakan garda terdepan penegakannya. “War on drugs” adalah jargonnya yang kadung masyhur.
Berikut argumentasi saya tentang polisi yang memang rentan terlibat bisnis komoditas ini.
Pelarangan membuat bisnis narkoba sangat menguntungkan
Premis ini tentu saja tidak lantas menjadi pembenaran bagi polisi untuk turut berbisnis narkoba. Tujuan berbisnis adalah mendapat laba. Siapapun, termasuk polisi, harusnya bisa memilih selain narkoba untuk bisnis yang akan digeluti. Tapi jika dibandingkan dengan yang lain, bisnis ini labanya fantastis.
Freddy Budiman, terpidana mati kasus narkoba pada 2016 mengaku, bisa menjual sebutir pil ekstasi hingga 300 ribu rupiah yang dibelinya seharga 5 ribu rupiah. Keuntungannya mencapai 6.000 persen.
Aparat intelijen AS dalam sebuah wawancara menyatakan, ongkos produksi sabu per kilogramnya antara 300-500 dolar dan dijual eceran di jalanan Amerika sampai 60 ribu dolar. Labanya lebih besar lagi, 12.000 persen!
Saya tanya Anda, bisnis apa yang keuntungannya bisa sampai belasan ribu persen??
Para pengusung pelarangan narkoba meyakini bahwa “perang terhadap narkoba” akan menekan hingga melenyapkan narkoba, baik dari segi permintaan maupun pasokannya. Tapi ternyata, keyakinan itu gagal mencapai tujuannya. Setelah lebih dari setengah abad diterapkan secara global, pelarangan dan penghukuman malah mendorong narkoba lebih dalam ke pasar gelap.
Di pasar gelap, sebuah komoditas diproduksi tanpa adanya standar. Tidak ada otoritas yang diamanatkan mengawasi mutu produknya. Para produsen bisa membuatnya dengan bahan baku semurah mungkin agar labanya berlipat ganda.
Harga jual baik grosir maupun eceran ditentukan semena-mena untuk mengompensasi para penjahat dan tindak kejahatannya seperti suap hingga kekerasan. Ini termasuk kompensasi atas narkoba yang berhasil disita aparat dalam proses penegakan hukum.
Saat menyelundupkan jutaan butir ekstasi ke Indonesia, Freddy Budiman mengaku menyuap aparat BNN 450 miliar rupiah dan pejabat di Mabes Polri 90 miliar rupiah.
Robert Stutman, mantan polisi narkoba AS (DEA) menerangkan, organisasi perdagangan narkoba bisa saja kehilangan 90 persen barang dagangannya karena disita aparat dan masih tetap cuan.
Bila bisnis narkoba diselenggarakan di pasar resmi yang terang benderang, maka produksinya akan menggunakan bahan baku standar yang mutunya diawasi otoritas terkait. Lalu untuk urusan peredaran, tindak kejahatan berbiaya tinggi tentu tidak perlu dilakukan. Nilai ekonomi buat konsumen bisa ditetapkan secara transparan sesuai ongkos produksi dan distribusinya.
Saat harga jual narkoba ditentukan oleh ongkos produksi dan distribusi yang transparan, maka organisasi kejahatan yang beroperasi di pasar gelap tidak lagi bisa menentukan harga semena-mena dan menggunakan bahan baku tidak bermutu. Mereka akan kalah bersaing dengan produk narkoba resmi.
Di rezim pelarangan, bisnis narkoba tidak hanya bisa membuat seseorang kaya raya. Keuntungan dari bisnis ini bahkan digunakan untuk kepentingan politik suatu negara. Melalui operasi intelijen, AS tercatat pernah mempersenjatai kelompok pemberontak dari hasil perdagangan kokain demi meruntuhkan komunisme di Nikaragua pada 1980-an. Operasi serupa juga dilakukan di Afganistan dengan mengandalkan bisnis heroin.
Pemilik sabu pasti berurusan dengan polisi, bukan aparat kesehatan
Produksi narkoba tentu butuh ongkos. Tapi untuk membuat narkoba sintetis macam sabu, ongkosnya jauh lebih murah karena tidak membutuhkan ladang tanaman penghasil bahan baku seperti misalnya daun koka untuk kokain.
Aparat intelijen AS memercayai, pangsa pasar narkoba sintetis seperti ekstasi dan sabu akan makin besar dengan keuntungan yang lebih besar pula. Sebagai perbandingan, harga kokain di Kolombia 1.500 dolar per kilogram yang dijual eceran di jalanan AS, 66.000 dolar. Selisihnya 4.400 persen. Sedangkan untuk sabu, perhitungannya sudah saya sampaikan dengan selisih laba mencapai 12.000 persen.
Karena terdaftar sebagai narkotika golongan satu dalam UU di Indonesia, sabu dilarang dimanfaatkan untuk layanan kesehatan. Tidak ada ruang bagi kepemilikannya untuk berurusan dengan aparat kesehatan. Setiap orang yang memilikinya pasti berurusan dengan polisi sebagai garda terdepan penegak hukum pidana.
Polisi akan memproses hukum siapapun yang kedapatan memiliki sabu.
Di sejumlah kasus, polisi diberi peran oleh pengedar sebagai pelindung bisnisnya. Mereka terima setoran. Celakanya, kasus macam ini cukup banyak tercatat.
Apa yang dilakukan petugas di Ditnarkoba Polda Maluku Juni lalu merupakan salah satu contohnya. Perannya antara lain, mengajak anak buahnya sesama polisi yang tak tahu apa-apa untuk mengambil kiriman sabu di kantor kurir setempat. Ya, si polisi-beking-pengedar itu sengaja diminta untuk ambil paket supaya aman, tidak dicurigai kalau paket yang dikirim itu adalah sabu. Boro-boro dicurigai, pegawai kantor kurir juga mungkin jadi takut karena yang datang dan ambil paket dua orang polisi berseragam.
Tapi karena laba bisnis ini bisa mencapai belasan ribu persen, ada juga polisi yang ingin terlibat langsung dalam aktivitas jual beli sabu. Mereka ingin menikmati laba fantastis itu. Inilah yang terjadi pada Edi Nurdin Massa, Kasat Narkoba Polres Karawang yang kedapatan berbisnis sabu pekan lalu.
Karena merupakan tindak pidana, urusan produksi-distribusi-konsumsi sabu diserahkan sepenuhnya pada polisi. Mereka pun diberikan anggaran dan penugasan lebih untuk menindak para pelaku. Dengan anggaran dan penugasan khusus tadi, ruang gerak polisi untuk mengetahui, mengendus, memata-matai, menjerat, hingga pura-pura berteman dengan pemilik sabu amatlah besar. Mereka bisa tahu siapa saja konsumen sampai produsennya.
Pengetahuan tentang jaringan peredaran sabu di wilayah kerjanya ini menggoda polisi narkoba untuk turut berbisnis dengan tujuan mendapat laba fantastis penjualan sabu. Terlebih karena merupakan aparat penegak hukum, mereka tentu lebih aman untuk mengedarkannya. Mereka pun tidak perlu bayar suap ke aparat penegak hukum untuk melindungi bisnisnya. Labanya jadi makin banyak.
Ada juga polisi yang mencuri barang bukti sitaan untuk mereka jual. Yang model begini, profitnya dobel. Selain modalnya berasal dari pengedar yang barang buktinya mereka sita, mereka juga dapat kredit atas prestasi penangkapan tersebut. Kasus macam ini yang sempat tercatat, terjadi Januari lalu di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Salah satu pelakunya kepala unit narkoba polres setempat.
Sebuah laporan mengenai korupsi polisi yang berkaitan dengan narkoba di AS memang salah satunya adalah menjual narkoba hasil sitaan. Jadi bukan hanya Polri, gejala ini juga terjadi di negara maju.
Yang berani berbisnis sabu pasti penjahat. Negara ngapain?
Meski para pendukung pelarangan meyakini kebijakan yang mereka usung bakal mencerabut bandar dari bisnis gelap narkoba, tapi praktiknya justru mengundang para penjahat untuk terlibat di dalamnya.
Saya juga telah menyinggung bahwa cita-cita pelarangan narkoba adalah memusnahkan pasokan maupun permintaannya meski setelah setengah abad lebih pemberantasannya, permintaannya tak jua punah. Untuk memenuhi permintaan tersebut, maka pasokan dilakukan melalui pasar gelap atau ilegal dengan risiko penghukuman.
Siapa yang berani ambil risiko hingga masuk penjara dalam berbisnis? Jawabannya tentu saja penjahat.
Penerapan pidana dengan berbagai pemberitaan tentang penangkapannya sewajarnya membuat orang jera dan ciut nyalinya untuk berbisnis narkoba. Untuk penjualan sabu misalnya, UU mengancam pelaku dengan penjara maksimal 20 tahun dan denda sampai 10 miliar rupiah. Bila melebihi batasan berat tertentu, pidana mati bisa dijatuhkan.
Bisnis narkoba harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Para penjual kudu berhati-hati. Salah-salah, mereka menjajakan narkoba kepada polisi yang sedang menyaru lalu ditangkap. Beragam sandi dibuat untuk menyamarkan komunikasi bisnis ilegal ini.
Kejahatan pun harus dilakukan secara terorganisasi, kartelisasi. Sejumlah peran mulai dari produsen hingga pengecer harus diamankan supaya tidak terjerat hukum atau dijatuhkan kartel narkoba saingannya.
Dalam mengamankan bisnisnya, kartel narkoba kerap meminta perlindungan aparat penegak hukum. Di titik ini, hubungan antara polisi dan penjahat yang mengoperasikan bisnis narkoba lazim terjadi. Hubungannya tidak melulu positif. Boleh jadi, sebuah kartel narkoba menjadi musuh polisi yang jadi pelindung kartel lainnya.
Terlepas dari ada tidaknya beking polisi terhadap kartel narkoba, pihak terdepan yang berurusan dengan penjahat dan tindak kejahatannya adalah polisi. Melalui sistem kerjanya, polisi akan mengetahui siapa saja yang terlibat dalam sebuah kejahatan terorganisasi. Dalam bisnis narkoba, tentunya polisi mengetahui siapa saja dan apa peran setiap orang dalam kartel mulai dari produsen bahkan sampai konsumennya.
Berbekal pengetahuan akan seluk-beluk kejahatan termasuk bisnis narkoba, sejumlah polisi tamak memanfaatkan pengetahuan tersebut dengan terjun langsung menggeluti bisnis ini. Labanya fantastis, jaringannya mereka kuasai, dan mereka tak khawatir dengan hukuman karena merekalah penegak hukumnya.
Saat polisi sudah menjadi bagian dari bisnis, maka akan sulit bagi institusi ini untuk melawan kartel narkoba. Bila ada anggota kepolisian yang menolak suap, mereka berisiko menerima ancaman kekerasan, termasuk kepada keluarganya.
Tidak tertutup kemungkinan kasus-kasus macam itu terjadi di banyak negara dan institusi penegak hukum selain kepolisian. Dalam sebuah laporan, Arturo Zamora Jiménez, pengacara cum senator di Meksiko menyatakan sulitnya menegakkan UU dengan menuntut kartel narkoba karena mereka telah menyusup dan merusak institusi yang seharusnya menghukum mereka.
Hal-hal tersebut niscaya terjadi lantaran narkoba diperlakukan layaknya setan yang harus dimusuhi.
Narkoba telah ribuan tahun dimanfaatkan dan memiliki dampak terhadap kesejahteraan manusia. Alih-alih memberantasnya dengan pendekatan pidana yang malah melambungkan laba bisnisnya, negara wajib memperlakukan narkoba sebagai komoditas yang seluruh aspek ekonominya bisa dikelola secara transparan, supaya polisi istikamah melindungi, mengayomi, dan melayani.