Dion, begitu ia meminta dirinya disebut, tak pernah menyangka jika human immunodeficiency virus (HIV) yang ada dalam tubuhnya bisa membuatnya kehilangan pekerjaan. Bukan lantaran produktivitasnya menurun karena sakit. Ia justru diberhentikan ketika grafik kinerjanya meningkat.
Awalnya, penulis mendapat cerita dari seorang kawan mengenai pengalaman pahit pria kelahiran 1993 tersebut. Dion dikabarkan tidak bisa melanjutkan kerja karena kedapatan terinfeksi HIV. Penulis kemudian meminta nomor kontak Dion yang kini dikabarkan tinggal di Jakarta. Setelah berhasil menghubungi Dion melalui sebuah aplikasi percakaan di ponsel, penulis mengajaknya untuk bertemu.
Awalnya Dion menolak untuk ditemui. Namun setelah penulis memberinya jaminan tidak akan membuka identitasnya dalam produk jurnalistik yang akan dibuat, Dion akhirnya bersedia untuk diwawancara.
Kami akhirnya sepakat untuk bertemu di sebuah kafe di pusat perbelanjaan Kota Kasablanka, Jakarta Selatan, awal Oktober 2018 lalu. Dion meminta penulis untuk datang tepat pukul 11:00 dan duduk di area merokok.
Penulis sempat ragu Dion akan hadir saat itu. Waktu telah menunjukan pukul 11:45 dan Dion sama sekali tidak merespon pesan dan telepon dari penulis. Dion sendiri akhirnya tiba di lokasi pukul 11:50 bersama dua orang temannya. Ia mengaku sudah tiba di lokasi tepat waktu namun merasa ragu untuk menemui penulis.
Saat ini Dion bekerja sebagai tenaga marketing independen di sektor properti. Ia tidak terikat dengan satu perusahaan atau agen properti. Ia bekerja sendiri dengan cara menjadi penghubung antara pemilik properti yang akan menjual atau menyewakan rumah, apartemen, atau gedung perkantoran mereka dengan calon konsumen. Jika propertinya terjual atau tersewa, pemilik properti akan memberinya sejumlah uang komisi yang besarannya telah disepakati sebelumnya.
Dalam satu bulan, Dion mengaku bisa meraup lebih dari 10 juta rupiah. Namun sejumlah uang itu belum tentu bisa ia dapat setiap bulan. Pada Juni dan Juli 2018 lalu misalnya, ia mengaku mendapat banyak permintaan dari pemilik properti untuk mencarikan calon pembeli atau penyewa. Namun, tak satupun produk properti yang ia tawarkan berhasil ia jual.
“Ya gitu deh. Namanya juga kerja sendiri, gak ada penghasilan bulanan tetap. Kalau kayak kemaren itu sih ya pinter-pinter akunya aja buat saving dari penghasilan bulan sebelumnya,” ujar Dion.
Dion mendapatkan ilmu pemasaran dan penjualan dari pengalamannya bekerja sebagai tenaga pemasaran produk jasa keuangan di sebuah perusahaan di Bogor. Ia mengaku sempat bekerja selama dua tahun di perusahaan tersebut. Selama itu, Dion mengingat dirinya tak pernah sekalipun gagal memenuhi target. Hingga setelah kontrak dua tahunannya akan berakhir, Dion ditawari untuk menjadi pekerja tetap di perusahaan itu. Namun hasil tes kesehatan yang disyaratkan perusahaan dalam proses pengangkatan pegawai tetap membuat Dion tersingkir.
Januari 2018 lalu, kontrak kerja Dion selama dua tahun di sebuah perusahaan di Jakarta baru saja berakhir. Sesuai kontrak kerja, perusahaan memiliki dua opsi. Mengangkat Dion menjadi pekerja tetap atau memberhentikannya.
Dion menceritakan bagaimana ia tak jadi direkrut sebagai pegawai tetap di perusahaan tempatnya bekerja dulu. Tiga bulan jelang kontrak kerja berakhir, ia mengaku mendapat panggilan dari bagian Human Resources Development (HRD). Saat itu, seorang staf HRD menemuinya dan menanyakan apakah Dion masih ingin berkarier bersama perusahaan. Dion menjawab ya. Staf HRD tersebut mengatakan kinerja Dion selama masa kontrak terbilang baik dan ada kemungkinan untuk dipertahankan.
Dion mengaku sangat gembira ketika mendapat sinyalemen diangkat menjadi pegawai tetap. Namun kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Staf HRD memberikan beberapa persyaratan yang yang harus ia penuhi. Salah satunya adalah pemeriksaan kesehatan. Ia langsung teringat pada status HIV positif yang disandangnya. Ia sangat khawatir jika hal itu akan mengganjalnya diterima menjadi pekerja tetap di perusahaan itu.
“Takut aja. Dulu ada senior aku yang leukimia (kanker sel darah putih). Udah pasti lanjut jadi karyawan tetap. Terus tes kesehatan di lab, dan gak jadi diterima. Denger-denger kalo ada penyakit berat pasti gakan (enggak akan) bisa jadi karyawan tetap,” kenangnya.
Dion menjalani hari terakhir di perusahaan itu Juni 2018 lalu. Sebelum pulang, ia dipanggil ke ruangan HRD. Di sana, ia menerima instruksi untuk dirumahkan selama satu bulan sebelum dapat bekerja kembali dengan status pekerja tetap. Di kesempatan yang sama, ia juga menerima surat pengantar untuk tes kesehatan.
Awalnya Dion mengaku ragu untuk menjalani tes kesehatan. Ia hampir 100 persen yakin HIV yang ada di tubuhnya akan terdeteksi dan menjadi pertimbangan perusahaan untuk batal merekrutnya menjadi pegawai tetap.
Tapi, semangatnya bangkit setelah ia berdiskusi dengan konselor kesehatannya. Sang konselor mendorong Dion untuk tetap menjalani tes kesehatan. Ia meyakinkan Dion, perusahaan tidak boleh menjadikan status HIV sebagai alasan tidak menerima seseorang menjadi pekerja tetap.
“Oke lah aku ikut aja saran dia. Dia nyebut beberapa aturan perundangan gitu. Hahahah, aku mana paham lah soal itu. Tapi kalau kita ga coba kan gakan pernah tahu,” ujarnya.
Dengan percaya diri, Dion mengikuti semua proses tes di sebuah lab kesehatan yang ditunjuk kantornya. Ia pun kemudian menunggu panggilan dari kantornya. Pada awal Februari 2018, Dion mendapat telepon untuk datang ke bagian HRD.
“Jawaban kantor belum bisa nerima dulu karyawan tetap karena kondisi keuangan gak memungkinkan. Kalau dibutuhkan, bakal dipanggil lagi. Aku gak kaget, udah prediksi dari awal kok,” kenang Dion.
Ia menambahkan, alasan yang diberikan tidak masuk akal. Enam rekan seangkatannya mulus melenggang menjadi pegawai tetap. Belum lagi, Dion mendapat kabar bahwa perusahaan itu kembali merekrut tenaga pemasaran baru.
Mendengar kabar itu, Dion mengatakan, konselor kesehatannya marah besar. Ia meminta Dion untuk menanyakan alasan perusahaan secara spesifik. Kalau itu dikarenakan hasil pemeriksaan kesehatan yang mendeteksi HIV di tubuhnya, sang konselor menyarankan Dion untuk menempuh langkah hukum.
“Aku biasa aja, malah konselor aku yang jadi kebakaran jenggot. Dia nyaranin ke LBH Jakarta, nanti dia temenin. Aku bilang enggak ah. Status (positif HIV) aja aku belum berani open. Kalau nanti jadi rame kasusnya malah bisa-bisa aku yang frustasi,” ujar Dion.
Diskriminasi terhadap orang dengan HIV di dunia kerja tidak hanya dialami oleh Dion. Denis (bukan nama sebenarnya) merasa malas jika menerima panggilan kerja dari perusahaan yang mewajibkan tes kesehatan di awal perekrutan. Bukan tanpa alasan, pria kelahiran 1995 yang baru saja menyelesaikan studi diploma di sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung itu mengaku khawatir jika proses seleksi menyertakan tes HIV.
“Udah pasti lewat (tidak diterima), soalnya aku positif (HIV),” ujar Denis ketika ditemui di sebuah kafe di bilangan Jalan DR Setiabudi, Kota Bandung, Rabu (17/10).
Denis mengetahui ada virus HIV di dalam tubuhnya setelah mengikuti tes pada Maret 2018 lalu. Awalnya ia merasa janggal dengan kondisi fisiknya yang sering kali drop tanpa sebab yang jelas. Kondisi ini ia rasakan sejak Juni 2017 lalu.
Ia kemudian mencoba mencari informasi di dunia maya. Dari artikel kesehatan yang ia baca di sebuah blog, Denis kemudian menilai dirinya mengalami stres. Artikel yang ia baca menuliskan, kondisi psikologis yang terganggu dapat berpengaruh pada kondisi fisik seseorang. Saat itu Denis menduga, stres karena dituntut menyelesaikan studi diplomanya. Ia mengaku proses pengerjaan tugas akhir (TA) sangat menyita waktu serta menguras tenaga dan pikirannya.
Selama menyelesaikan TA, pola hidupnya pun berantakan. Ia sering telat makan dan begadang untuk membereskan naskah tugas akhir. Beragam suplemen ia konsumsi agar kondisi fisiknya tidak mudah lelah atau mudah terserang flu, sakit tenggorokan, dan demam.
Namun Denis merasa janggal, kondisi fisiknya masih juga lemah setelah ia dinyatakan lulus pada sidang TA. Ia merasa sangat tidak nyaman dengan kondisi ini.
“Padahal udah gak sering gadang. Pola makan juga udah normal lagi lah. Tapi masih aja sering sakit-sakitan. Males juga harus sedia parasetamol ama obat masuk angin di tas. Terus kalo beli suplemen terus-terusan ancur juga dompet,” keluh Denis.
Awal Maret lalu, Denis merasa kondisi fisiknya benar-benar drop. Biasanya, demam atau sakit kepala akan hilang dalam satu atau dua hari. Namun saat itu kata Denis, sudah hampir satu pekan ia melahap tiga hingga empat tablet parasetamol 500 miligram per hari. Saat itu, ia juga hampir tak bisa beranjak dari tempat tidur karena merasa lemas.
Denis kemudian meminta teman indekosnya untuk mengantar ke klinik. Di klinik, dokter mendiagnosis Denis mengalami gejala tifus. Denis kemudian memberi informasi tambahan pada sang dokter mengenai kondisi tubuhnya yang sering drop sejak pertengahan 2017.
“Jadi udah diperiksa, aku ngajak ngobrol gitu. Orangnya enak (diajak bicara), cewek masih agak muda. Aku konsultasi jadi kayak curhat gitu. Dia nanya soal riwayat kesehatan aku dari kecil kayak gimana. Sempet curiga dan aneh juga sih pas si dokternya nanya pernah melakukan hubungan seks atau ditato. Waktu itu aku jawab enggak,” terang Denis.
Setibanya di rumah, Denis kembali mengingat pertanyaan sang dokter. Meski diutarakan dengan nada gurau, pertanyaan itu terus terngiang di pikirannya. Denis seharusnya menjawab ya ketika sang dokter bertanya mengenai hubungan seks tanpa kondom.
Setelah memberi resep tadi, sang dokter memberikan kartu nama. Denis kemudian mencoba menghubungi sang dokter melalui aplikasi percakapan di ponsel. Singkat cerita, Denis kembali menemui sang dokter ketika kondisi kesehatannya membaik, satu pekan setelah kunjungan pertama. Ia mengaku sang dokter memberi informasi terkait HIV dan AIDS (sindrom akibat kekebalan tubuh yang melemah – acquired immuno-deficiency syndome) setelah Denis memaparkan pengalaman seksualnya.
“Dia nawarin tes. Aku beraniin ikut tes. Hasilnya, aku positif HIV. Awalnya aku kaget, terus konsultasi agak lama. Dari situ aku tenang, gakan langsung mati kok. Aku dirujuk ke satu komunitas sama ke RSHS (Rumah Sakit Hasan Sadikin),” ujar Denis.
Denis kini menjalani terapi antiretroviral (ARV). Dari Klinik Teratai RSHS, Denis mendapat beberapa teman. Menurutnya, hal ini sangat membantu melawan ketakutan akan dampak HIV pada tubuhnya. Terapi membuat kondisi tubuhnya membaik. Kini, Denis mengaku tak perlu lagi membawa obat sakit kepala dan obat masuk angin ketika bepergian.
Namun, Denis mengaku sempat kaget ketika bertemu kawan satu kelas di kampusnya dulu di Klinik Teratai. “Takut infonya nyebar ya. Takut aku dijauhin sama temen kalo mereka tahu aku HIV. Orang tua juga belum tahu. Tapi aku cukup deket sama orang ini waktu di kampus, jadi lumayan percaya lah. Cuma dia lulus duluan, jadinya jarang ketemu lagi,” kenang Denis.
Ketakutan Denis tidak terbukti. Mereka berdua saling menutup rapat status HIV positif yang mereka sandang. Mereka pun menjadi akrab kembali. Satu sama lain kerap kali mengingatkan waktu minum obat ARV dan pola hidup yang sehat.
Hingga suatu saat, kawan satu kampus Denis itu bercerita mengenai pengalaman pribadinya yang sulit untuk mendapat kerja. Sang kawan bertutur bahwa ia curiga status HIV-lah yang membuatnya selalu gagal dalam seleksi penerimaan kerja.
“Aku tanya, kok bisa? Dia jawab soalnya ada tes kesehatan yang sampe diambil sampel darah. Dia curiganya itu sih,” kata Denis.
Denis mengaku, awalnya ia tidak mempercayai hal itu. Apalagi, saat itu ia baru saja mengirim beberapa surat lamaran kerja. Kabar ini membuatnya cukup terpukul.
Sang kawan kemudian memperkenalkan Denis dengan beberapa ODHA (orang dengan HIV-AIDS) yang memiliki pengalaman sama. Semua memiliki keyakinan yang sama, gagal diterima kerja karena hasil pemeriksaan kesehatan menyatakan mereka mengidap HIV.
Namun ada salah seorang di pertemuan itu kemudian menceritakan pengalamannya. Ia mengaku pernah melamar kerja di sebuah hotel di Bali pada 2014 lalu. Saat itu, ia menjalani tes kesehatan disertai tes HIV. Ia awalnya tak yakin akan diterima karena sudah mengetahui jika dirinya mengidap HIV. Namun, ia diterima bekerja di hotel itu.
Di hari pertama bekerja, ia diminta untuk menghadap ke ruang personalia. Di sana, ia bertemu dengan kepala personalia dan dua orang yang mengaku dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). Manajer personalia kemudian memberi tahu bahwa ia dinyatakan positif HIV.
“Dia ngakunya sempet kaget. Tapi manajernya bilang engak masalah kok, bisa terus kerja di hotel. Malah manajernya jamin bakal support sama jaga rahasia. Dia sendiri resign Februari kemaren (2018) karena harus jaga ibunya yang sakit di Bandung,” ujar Denis.
Menurut Denis, kawannya itu tak pernah lagi lolos seleksi penerimaan karyawan semenjak pindah ke Bandung. Sang kawan juga pernah beberapa kali melamar ke beberapa perusahaan di Jakarta, hasilnya sama, tidak diterima.
“Malah pernah ada yang manggil dia karena tau, kerjaan dia waktu di Bali bagus. Sempet percobaan tiga bulan kata dia. Hasilnya bagus, terus mau diangkat. Tapi sebelumnya ada tes kesehatan, ada tes HIV sama narkoba segala. Akhirnya dirumahkan dulu. Katanya nanti bakal dipanggil lagi. Ampe sekarang gak ada panggilan lagi,” jelas Denis.
Penulis bertanya, mengapa Denis dan beberapa kawannya meyakini bahwa HIV membuat mereka tidak bisa mendapat pekerjaan? Bukankah tes HIV harus dijalankan secara sukarela? Dan kalaupun hasil tes pelamar kerja menyatakan positif HIV, itu tidak boleh menjadi parameter diterima atau tidaknya seseorang.
Denis kemudian bercerita mengenai sebuah hoaks yang sempat viral di media sosial atau aplikasi percakapan beberapa waktu lalu. Konten hoaks itu berisi tentang perusahaan buah kalengan Tiongkok yang mempekerjakan buruh dengan HIV atau AIDS. Buruh-buruh itu kemudian sengaja melukai tangan dan memasukan darah mereka ke dalam kaleng. Tujuannya, agar orang yang memakan produk buah kaleng produksi perusahaan itu tertular HIV.
Cerita buah kalengan yang dapat menyebarkan HIV itu memang terbukti bohong. Denis pernah mengonfirmasi cerita itu ke konselornya di Klinik Teratai. Namun menurutnya, hoaks tersebut cukup ampuh untuk merusak reputasi produk buah kalengan dari Tiongkok. Meski tidak pernah melihat data penjualannya, Denis yakin ada konsumen yang termakan hoaks tersebut sehingga menahan diri untuk membeli produk buah kaleng dari negeri tirai bambu itu. Apalagi ia merasa pemahaman mengenai HIV-AIDS belum tersebar rata pada 230 juta penduduk Indonesia.
“Coba bayangin kalau ada perusahaan sini yang kena hoaks itu. Dijamin gakan laku produknya. Kalau tes kerja gak boleh wajibin (mewajibkan) tes HIV. Coba datang ke job fair,” ungkapnya.
Akhir Oktober 2018 kemarin, Denis menghadiri sebuah acara bursa kerja di Kampus Institut Teknologi Bandung. Ia mendaftar melalui situs resmi penyelenggara bursa kerja agar dapat mengikuti kegiatan tersebut. Bursa kerja tersebut digelar selama dua hari, Sabtu dan Minggu, 27-28 Oktober 2018. Ia memilih hadir di hari pertama.
Denis datang ke kegiatan tersebut bukan untuk mencoba peruntungan. Datang dengan kemeja dan celana katun dan beberapa map berisi surat lamaran di dalam tas, Denis berniat untuk melakukan eksperimen sosial. Ia menyimpan smartphone-nya di saku kemeja dengan posisi aplikasi video terus merekam gambar.
Satu per satu stan perusahaan ia datangi. Di beberapa stand perusahaan, Denis menanyakan apakah ada tes kesehatan pada proses rekruitmen. Beberapa perusahaan mengiyakan pertanyaan Denis. Bahkan ada yang dengan jelas menyebut tes HIV dan narkoba menjadi bagian dalam proses perekrutan. Semua itu terekam jelas dalam video yang ia tunjukkan pada penulis beberapa hari setelah kegiatan bursa kerja.
Denis maupun Dion tidak sendiri. Dari Laporan Situasi Perkembangan HIV-AIDS Triwulan Pertama 2018 yang dirilis Kementerian Kesehatan RI, temuan HIV dan AIDS didominasi oleh orang yang berada pada usia produktif seperti Dion dan Denis, yakni 15-60 tahun.
Di 2018 saja, tercatat ada 10.506 temuan HIV baru dari Januari hingga 19 April 2018. Sebanyak 10.143 kasus atau 96,54 persennya adalah orang yang berada pada usia produktif, yakni di atas 15 tahun. Untuk AIDS, Kemkes RI mencatat, 4.298 kasus AIDS baru yang ditemui pada medio Januari hingga Maret 2018. Mayoritas kasus ditemukan pada orang berusia 15-60 tahun, yakni sebanyak 4.055 kasus atau 94,34 persen.
Badan Pusat Statistik menyebut penduduk berusia di atas 15 tahun sebagai penduduk usia kerja. Dari penduduk usia kerja ini, sebagian masuk dalam kategori “angkatan kerja”, “bukan angkatan kerja”, “bekerja” atau “pengangguran”, dan lain-lain.
Ada Regulasi Perlindungan ODHA di Dunia Kerja
Denis dan Dion sempat menuturkan harapan agar orang dengan HIV-AIDS yang masuk dalam kategori penduduk usia kerja mendapatkan perlindungan agar tak mendapat perlakuan diskriminatif. Dipecat atau tidak diterima kerja karena kedapatan ada HIV dalam tubuhnya misalnya.
Negara ini sebenarnya memiliki beberapa regulasi yang melindungi ODHA di dunia kerja. Kebijakan antidiskriminasi terhadap ODHA di Indonesia dibidani oleh tripartit yang digelar antara perwakilan serikat buruh, asosiasi pengusaha, dan pemerintah pada 25 Februari 2003 silam. Tripartit itu menghasilkan beberapa kesepakatan. Salah satunya, semua pihak sepakat untuk mendorong dan mendukung penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap buruh/ pekerja yang hidup dengan HIV-AIDS.
Menindaklanjuti hasil tripartit, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi saat itu, Jacob Nuwa Wea kemudian mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 68 tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanganan HIV-AIDS di tempat kerja.
SK ini dibuat berdasarkan beberapa pertimbangan. Di antaranya deklarasi internasional mengenai HIV-AIDS, standar perlindungan buruh dengan HIV-AIDS milik International Labour Organization dan beberapa kebijakan nasional mengenai penanggulangan dan pencegahan HIV-AIDS.
Pasal 5 SK Menakertrans Nomor 68 tahun 2004 itu menyebut, pengusaha atau pengurus (serikat buruh -Red) dilarang melakukan tes HIV untuk digunakan sebagai prasyarat suatu proses rekrutmen atau kelanjutan status pekerja/ buruh atau kewajiban pemeriksaan kesehatan rutin.
Jika perusahaan mau tunduk terhadap regulasi ini, ODHA tidak akan kehilangan kesempatan kerja.
Lalu bagaimana penegakan regulasi ini di lapangan? Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Barat, Ferry Sofwan Arif mengatakan, pihaknya siap untuk menegakkan regulasi ini. Ferry mengaku siap untuk menerima aduan dari ODHA yang kehilangan kesempatan bekerja karena status HIV positif mereka.
Menurut Ferry, pihaknya memiliki Bidang Pengawasan yang bertugas mengawasi pemenuhan hak normatif buruh oleh perusahaan. Selain melakukan pengawasan secara aktif, bidang ini juga dapat menerima laporan pelanggaran hak normatif dari buruh. Termasuk pelanggaran Pasal 5 SK Menakertrans Nomor 68 tahun 2004.
Pihaknya juga menyadari jika ada ODHA yang enggan statusnya diketahui orang lain seperti Dion dan Denis. Oleh karena itu pihaknya telah membuat mekanisme khusus bagi ODHA yang ingin melaporkankan pelanggaran yang dilakukan perusahaan. Ferry mengatakan pihaknya akan merahasiakan identitas dan data si pelapor. Meski pengaduannya tanpa menyertakan nama pelapor, laporan akan tetap diproses.
“Nanti kepala UPTD (unit pelaksana teknis daerah) memerintahkan pengawas untuk memeriksa situasi yang ada di perusahaan tersebut,” ujar Ferry ketika dihubungi melalui telepon, akhir Oktober 2018 lalu.
Ferry menambahkan, ada lima UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan di Jawa Barat yang bisa diakses oleh publik. Wilayah 1 di Jl. K.S. Tubun, Bogor, Wilayah 2 di Grand Taruma Karawang, Wilayah 3 di Jl. H.R. Dharsono, Cirebon, Wilayah 4 di belakang Kantor Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung, dan Wilayah 5 di Kota Tasikmalaya.
Terkait masih adanya diskriminasi terhadap ODHA, Ferry menilai ini dikarenakan masih ada stakeholders yang belum paham HIV dan AIDS. Soal penyertaan tes HIV pada proses rekrutmen misalnya, ia menilai masih ada perusahaan yang beranggapan HIV-AIDS adalah penyakit berat yang dapat membuat produktivitas ODHA tidak sesuai dengan yang diharapkan perusahaan.
“Kalau misalnya bersifat dorongan produksinya terkait kreativitas, digital, ekonomi kreatif misalnya, saya pikir bisa,” ujarnya.
Oleh karena itu lanjut Ferry, pihaknya gencar melakukan sosialisasi penanggulangan dan pencegahan HIV-AIDS. Termasuk perlindungan terhadap pekerja dengan HIV-AIDS. Sosialisasi juga ditujukan untuk menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA di dunia kerja.
ODHA Harus Berani Melawan
Hardiansyah, advokat HT Law and Human Rights Office mendorong ODHA untuk berani melawan diskriminasi terhadap mereka di dunia kerja. Apalagi katanya, regulasi yang ada di negeri ini cukup memberikan jaminan bagi ODHA di dunia kerja.
SK Menakertrans Nomor 68 tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanganan HIV-AIDS di tempat kerja misalnya. SK ini memuat larangan bagi perusahaan melakukan tes HIV untuk digunakan sebagai prasyarat suatu proses rekrutmen atau kelanjutan status pekerja/ buruh atau kewajiban pemeriksaan kesehatan rutin.
Dengan dasar ini, Hardiansyah mendorong ODHA yang mengalami diskriminasi mau melawan. Pertama kata dia, ODHA yang mengalami diskriminasi seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) harus menanyakan alasan pemecatan kepada pihak perusahaan.
Untuk kasus yang dialami Dion misalnya, Hardiansyah mendorongnya untuk mempertanyakan kembali alasan perusahaan batal mengangkatnya menjadi buruh tetap. Apalagi menurut penuturan Dion, pihak perusahaan secara lisan telah memberi sinyalemen bahwa Dion akan diangkat sebagai buruh tetap.
Pembatalan pengangkatan sebagai buruh tetap setelah dilakukannya tes kesehatan menurut Hardiansyah patut dicurigai. Jika memang perusahaan berdalih Dion batal direkrut menjadi buruh tetap karena hasil tes kesehatan menunjukan ia terinfeksi HIV, Hardiansyah mendorong Dion untuk meminta perusahaan mempertimbangkan kembali hal itu.
“Apakah tidak lanjut itu karena penyakit yang berat? Toh selama ini berdasarkan pengakuan Dion, kinerjanya baik-baik saja selama dua tahun bekerja,” ujar Hardiansyah beberapa waktu lalu.
Jika perundingan dengan perusahaan mengalami deadlock, Hardiansyah mendorong Dion untuk mengadukan kasusnya ke dinas tenaga kerja di tempat tinggalnya. “Nanti di disnaker bisa minta pertemuan tripartit. Kalau tidak selesai, bisa mengajukan perselisihan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial,” lanjut Hardiansyah.
Untuk membentengi diri dari driskriminasi dan stigma, Hardiansyah juga mendorong buruh dengan HIV-AIDS untuk mau bergabung dengan serikat buruh. Menurutnya, bergabung dengan serikat buruh dapat memberikan daya tawar yang lebih bagi ODHA terhadap perusahaan.
menarik
Saya sendiri mengalami nasib yang serupa,
Mengalami diskriminasi ditempat kerja akibat dari status ODHA.
Suatu ketika, atasan saya menanyakan tentang ketidakhadiran saya di perusahaan, dengan janji akan merahasiakan semua hal yg dianggap privacy kepada pihak management perusahaan.
Namun tidak demikian, ketika saya sudah berterus terang kepada atasan saya perihal status ODHA saya, dia malah mengumbar status saya kepada pihak management perusahaan, dan alhasil setelah itu saya diminta untuk mengundurkan diri dari perusahaan.
Padahal saya sudah jelaskan berkali-kali kepada pihak perusahaan bahwa ketidakhadiran saya diperusahaan selama 3 hari itu hanya untuk serangkaian test pemeriksaan awal dan adanya reaksi berlebihan atas Terapi ARV di awal mula terapi, dan saya jamin 100% bahwa HIV itu tdk akan menular melalui kontak sosial di perusahaan. Namun mereka tetap tidak percaya dengan semua penjelasan yg telah saya berikan.
Salam
sekarang bagaimana dengan karirnya mas. Saya kok masih seret sudah jalan 2 tahun
Saya sendiri merasakan apa yang dialami dion dan denis. Sebagai seorang lulusan universitas terkemuka di Depok pun tidak serta merta membuat saya mudah mendapatkan pekerjaan karena saya adalah seorang ODHA dan mayoritas perusahan melakukan tes kesehatan yg melibatkan tes darah. Berbagai perusahaan telah saya coba dan hampir semuanya melakukan tes darah yang mungkin di dalam nya terdapat tes antigen HIV, hal ini merupakan sebuah diskriminasi. Melamar sebagai spg pun ditolak dengan alasan ijazah saya terlalu tinggi. Terus aku kudu piye?
Terima kasih sharingnya
Salam
Saya pun pernah merasakan seperti itu, pada tahun 2017 lalu saya udah rencana mau kerja keluar negeri dan saat itu pendaftaran dan berkas semuanya udah saya taro disalah satu PT di jakarta, dihari berikutnya saya dan calon TKI yg lainya harus medical cek up, dan dihari berikutnya hasil test medical itu dikasih tau ke saya dari pihak PT kalo saya tidak lulus (unfit) dan saya pun kaget “qo bisa saya ga lulus” pas saya dikasih surat didalam amplopnya ternyata saya terkena ODHA dan disitu pula pun rasanya hidup saya hancur, kaya ada petir disiang bolong, pokoknya udah ga bisa di ucapkan dengan kata” apapun.. Hancur rasanya hidup saya ini, semua yg saya cita”kan untuk kerja keluar negeri itu pupus sudah, belum lagi saya berasal dari keluarga broken home.. Haaahhhh rasanya udah jatuh tertimpa tangga…. Dan satu lagi status saya sebagi ODHA pun sampe sekarang ga ada yg tau apa lagi keluarga karna saya belum siap…
Ya seperti itulah singkat cerita pengalaman yg pernah saya lalui sebagai ODHA…
Salam kenal buat semua yg baca comment saya, dan mari kita berteman..
081218579331 ..!!!!
Tetap semangat, terima kasih sharingnya
Salam
Halo, saya juga mengalami hal seperti ini di awal tahun 2020. Saya diberhentikan karena status saya dan tanpa mendapat pesangon sedikitpun. Bagaimana cara melaporkan masalah seperti ini ya?
Selamat pagi.
Ceritanya sangat mirip dengan kisah hidup saya. Bahkan sampai saat ini saya belum mendapatkan pekerjaan. sudah lewat 2 tahun. Ingin buka usaha juga terkendala modal. Sampai-sampai tindakan negativ sempat ingin saya lakukan. Tapi gak tau kenapa selalu gagal. Saat ini coba menunggu hasil CPNS. Semoga di lancarkan dan tidak dijadikan sebagai suatu halangan untuk lolos hingga tahap akhir. Barangkali ada saran dari pembaca atau penulis silahkan koment ya. Terima kasih