close
20221005_105416
Gambar Ilustrasi: @wopwopwoy

Hasil sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) oleh pemerintah dibahas bersama Komisi III DPR RI kemarin (3/10). Salah satu anggota komisi tersebut, Taufik Basari mengingatkan bahwa saat ini, revisi UU Narkotika juga sedang dalam tahap pembahasan antara pemerintah dan parlemen.

Di rapat dengar pendapat itu, Taufik menjelaskan kalau UU Narkotika yang sedang direvisi bakalan mengedepankan pendekatan kesehatan masyarakat serta sebisa mungkin mengurangi pemidanaan sesuai usulan Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika di mana Rumah Cemara tergabung di dalamnya.

Penjelasan tersebut direspons positif oleh Edward Omar Sharif Hiariej yang hadir sebagai perwakilan Pemerintah RI di rapat kemarin. Wakil Menteri Hukum dan HAM RI itu sepakat untuk mengeluarkan pasal-pasal pemidanaan tentang narkotika dari RKUHP.

Sebagai informasi, dalam RKUHP terbaru yang diusulkan pemerintah, tindak pidana narkotika masih dicantumkan di sejumlah pasalnya. Pasal-pasal tersebut mengatur perbuatan yang juga diatur dalam UU Narkotika yang sama-sama sedang digodok bersama oleh pemerintah dan parlemen. Ketentuan yang sama tersebut di antaranya, menanam, memiliki, menguasai, memproduksi, menyalurkan, mengimpor dan ekspor, membeli, serta menyerahkan narkotika.

KUHP mengatur soal perbuatan-perbuatan pidana. Tentu saja hal ini bertentangan dengan semangat revisi UU Narkotika yang ingin lebih mengedepankan pendekatan kesehatan alih-alih pidana. Penerapan pendekatan kesehatan untuk kebijakan narkoba di banyak negara telah terbukti menjadi solusi atas berbagai masalah yang ditimbulkan dari represivitas “perang terhadap narkoba”.

Baca juga:  Kiprah Komunitas Mengatasi HIV-AIDS di Kota Khatulistiwa

Sejumlah kajian melaporkan, lebih banyak manfaat ketimbang mudarat bagi masyarakat dan pemerintah saat sebuah negara mengalihkan pendekatan kebijakan narkobanya dari pidana ke kesehatan. Manfaat atau solusi bagi negara tersebut di antaranya, mengurai kelebihan populasi penjara, penurunan angka penularan virus darah, menghapus celah bagi aparat hukum untuk turut dalam peredaran gelap, hingga penghematan anggaran negara untuk pemberantasan, proses peradilan, dan pemenjaraan kasus narkoba.

Di negara yang mendekriminalkan kepemilikan narkoba untuk konsumsi pribadi seperti Portugal misalnya, angka kematian akibat overdosis, jumlah yang bermasalah karena ketagihan narkoba, bahkan prevalensi konsumen heroin, sabu, atau ganja lebih rendah daripada negara-negara dengan kebijakan pidana narkoba yang keras seperti Amerika Serikat, Malaysia, atau Indonesia.  

Jika merujuk pada UU Narkotika, maka sebenarnya tidak ada urgensi memasukkan ketentuan tindak pidana narkotika dalam RKUHP karena akan terjadi tumpang tindih pemidanaan di kedua UU tersebut. Penegakan hukum oleh aparat di lapangan pun bakal makin kisruh khususnya dalam menetapkan pasal dari UU mana yang akan disangkakan. Terlebih, pemidanaan dengan jargon “war on drugs” selama lebih dari setengah abad di Indonesia (1971 hingga sekarang) telah banyak menimbulkan persoalan sebagaimana telah kami ulas.

Atas berbagai bukti dari kajian-kajian yang telah dilaporkan banyak negara serta usulan dalam rapat dengar pendapat kemarin, Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika sangat mendukung usulan dari anggota parlemen dan perwakilan pemerintah agar pasal-pasal narkotika dikeluarkan dari RKUHP. Kami pun menekankan agar Pemerintah dan DPR RI menitikberatkan pendekatan kesehatan alih-alih pidana dalam merevisi UU Narkotika, sehingga jaminan ketersediaan narkotika untuk pelayanan kesehatan sebagaimana tujuan mulia dari UU tersebut dapat lebih optimal.

Baca juga:  Mencegah Kerusuhan di Penjara (Bagian 2)

Untuk mengurai kelebihan populasi penjara yang per September 2021 mencapai 201 persen dari kapasitas huninya (jumlah penghuni 266.663 dibanding 132.107 kapasitas huninya), kami telah memberi masukan kepada DPR RI di rapat-rapat dengar pendapat sebelumnya supaya mendekriminalkan kepemilikan narkoba untuk konsumsi pribadi dengan mencantumkan ambang batas jumlah narkoba sesuai definisi kepemilikan untuk konsumsi pribadi yang tegas.

Berkaitan dengan maraknya “jual-beli pasal” dalam penerapan UU Narkotika selama ini, kami meminta agar pasal kewajiban melaporkan konsumsi narkoba dalam rangka rehabilitasi medis dan sosial dihapuskan sebagaimana dengan pasal-pasal yang rentan digunakan aparat untuk bernegosiasi alias “pasal karet” saat menangani tersangka kasus pidana narkotika.

Kevin Mathovani

The author Kevin Mathovani

Seorang mahasiswa di kota Bandung.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.