close
Ganja-dan-Bola

Football is a whole skill to itself. A whole world. A whole universe to itself. Me love it because you have to be skillful to play it, freedom! Football is freedom – Bob Marley   

 

Tuhan, berkatilah siapapun penemu permainan sepak bola!

Sepak bola bisa dilakukan di mana dan kapan saja. Anak-anak kecil bisa bermain bola di mana pun, di jalanan, di bawah jembatan, di sawah, kebun, rumah, lahan yang tidak terpakai, bahkan di gang sekalipun.

Bermodal sandal sebagai  gawang dan kapur untuk menandai batas bola keluar, ataupun cukup kesepakatan benda tertentu untuk penanda. Mereka bermain tanpa lelah dan melibatkan skor pertandingan. Yang terpenting adalah mencetak gol lalu bersenang-senang bersama. Eduardo Galeano, seorang jurnalis, penulis, dan novelis dari Uruguay, menyebutkan keceriaan tersebut, “We lost, we won; either way we had fun.”

Pertandingan sepak bola memiliki magnet tersendiri bagi para penikmatnya. Mereka tidak tebang pilih. Pertandingan tim atau negara manapun yang disiarkan televisi, kebanyakan dari mereka akan menontonnya. Piala Dunia, Piala Asia, Copa Amerika, Liga Indonesia (akhirnya ada kompetisi), dan yang terhangat saat ini, Piala Eropa.

Mungkin tidak layak untuk menyebut penggemar sepak bola sebagai umat, cukuplah pecandu. Mereka juga membutuhkan peneguhan kembali akan kecanduan mereka atau mengapa mereka kecanduan. Mengikuti persepakbolaan dalam dan luar negeri sama halnya seperti ritual keagamaan. Keduanya bisa menjadi rutinitas. Jika filsuf komunis, Karl Marx menyebutkan bahwa agama adalah candu, maka bagi para penggemar tersebut, sepak bola adalah candu baru pada abad ke-21.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “candu” adalah getah kering pahit berwarna cokelat kekuning-kuningan yang diambil dari buah Papaver somniferum, dapat mengurangi rasa nyeri dan merangsang rasa kantuk serta menimbulkan rasa ketagihan bagi yang sering menggunakannya. Sebagai kiasan, lema tersebut bermakna sesuatu yang menjadi kegemaran. Sublema “pecandu” adalah pemadat, pengisap candu. Sebagai kiasan, berarti penggemar. “Kecanduan” adalah kata kerja kiasan untuk kejangkitan suatu kegemaran (hingga lupa hal-hal yang lain).

Baca juga:  Indonesia Butuh Dua Kemenangan untuk ‘Aman’ Masuk Babak Piala HWC 2017

Walaupun kerap digunakan sebagai kiasan, lema “candu”, dan sublemanya, memiliki konotasi negatif karena termasuk dalam Daftar Narkotika Golongan I UU RI No. 35 Tahun 2009 (UU Narkotika). Pemanfaatan Narkotika Golongan I di luar kepentingan IPTEK dan reagensia diagnostik serta reagensia laboratorium dikategorikan sebagai penyalahgunaan. Ancaman hukuman maksimal untuk tindakan tersebut adalah 4 tahun penjara.

Narkotika Golongan I tidak hanya candu, ganja (Cannabis sativa) juga termasuk. Pasal 1 Ayat 1 UU Narkotika menjelaskan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Lalu, benarkah ganja menimbulkan ketergantungan?

Menurut Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan ASseorang konsumen ganja dapat berhenti mengonsumsinya dengan mudah tanpa mengalami kesulitan. Ganja tidak menyebabkan ketergantungan fisik. Jika orang mengalami ‘putus ganja’, mereka tidak akan mengalami masalah yang berarti.

Ganja juga terbukti bermanfaat di bidang kedokteran dan medis. Cannabinoid, zat yang terkandung dalam tanaman ganja bermanfaat untuk mengurangi rasa mual dan membangkitkan nafsu makan pasien kemoterapi kanker dan AIDS serta mengurangi tekanan intrakuler pada pengidap glaukoma. Bahkan tahun lalu, NIDA (badan penelitian tentang penyalahgunaan obat-obatan AS) merevisi publikasi mereka dan menyatakan bahwa ganja bisa mengecilkan tumor otak dengan membunuh sel-sel kanker.

Sekarang sudah ada dua obat berbasis ganja yang sudah disetujui oleh FDA, badan pengawasan obat dan makanan AS, untuk pasien kanker yang tersedia di Amerika Serikat (Nabiximols) dan Inggris (Sativex). Bahkan, Sativex pun sudah bisa digunakan oleh pasien kanker di Inggris, Spanyol, Italia, dan Jerman.

Kriminalisasi (pemidanaan) pengisap ganja membuatnya terlalu distigma. Mereka dituding selalu melakukan kejahatan untuk mendapatkan ganjanya.

Sebagian besar konsumen ganja tidak melakukan kejahatan. Mereka yang melakukan kejahatan bukan disebabkan oleh pengaruh ganja, melainkan faktor lain di luar ganja. Studi pada manusia dan hewan yang dilakukan GW Pharmaceuticals, produsen Sativex (2001), menunjukkan bahwa ganja dapat mengurangi agresivitas dan rasa nyeri.

Baca juga:  Pelatihan Advokasi Anggaran Program HIV-AIDS

Dalam aksi stand-up comedy-nya, Pandji Pragiwaksono berseloroh, “Mau gimana bikin onar, yang ada malah cengar-cengir melihat keindahan dunia”.

Bob Marley adalah duta musik reggae dunia. Di Jamaika, negara asal Bob, reggae, Rastafari, rambut dreadlock (gimbal), dan ganja adalah simbol identitas. Tertulis dalam kitab wahyu umat Rastafari, “Sertakan ramuan dedaunan, ramuan itu sudah seperti makanan rohani bagi kita. Ada alasan kami menggunakannya, bukan hanya untuk mabuk. Itu membuat kami tenang, damai, bahagia, dan membangkitkan inspirasi”.

Sejak tahun lalu, kepemilikan kurang dari 2 ons, penanaman ganja untuk konsumsi pribadi hingga 5 tanaman, serta budidaya dan distribusi untuk keperluan medis dan keagamaan tidak dipidanakan di Jamaika.

Selain bermusik, Bob tergila-gila pada sepak bola.

“Aku bermain bola dimana-mana, bermain di mana saja sebisaku,” ucap pemilik nama lengkap Robert Nesta Marley ini. Bob bahkan terus bermain bola ketika jari kakinya mengalami cedera yang mengakibatkan tur ke Amerika harus dibatalkan.

Sepak bola adalah olahraga dengan suporter yang ‘gila’. Mereka rela melakukan apapun untuk mendukung kesebelasannya. Bakdi Soemanto (dalam Handoko, 2008), guru besar FIB UGM, mengklasifikasikan penonton sepak bola menjadi dua golongan. Pertama, penonton yang murni ingin menikmati permainan cantik saja, tidak peduli dari tim mana pun. Kedua, penonton yang berpihak pada tim tertentu yang sering dikenal dengan istilah suporter. Golongan yang kedua sebagian besar lebih emosional dalam mendukung tim kesayangannya untuk menang. Hal ini yang kerap memunculkan berbagai tawuran antarpendukung.

Suporter dikategorikan fanatik ketika memiliki rasa cinta yang lebih sehingga akan berdampak luar biasa terhadap sikap hidup seseorang. Segala sesuatu yang diyakini akan memberikan sebuah kecintaan dan semangat hidup yang lebih pada orang tersebut. Jika kesebelasannya kalah, maka perasaan muram, susah tidur, kesal, marah, dan sikap tidak puas begitu kentara. Sebaliknya saat menang, merasa puas, bangga, senyum-senyum sendiri, dan bahagia.

Baca juga:  Indonesia Tampil Gemilang di Laga Perdana HWC 2019

Berbeda dengan perokok yang bisa memilih rokok kretek maupun filter bahkan tidak masalah merokok rasa apapun, suporter klub sepak bola akan memilki ikatan emosional luar biasa jika sudah memilih satu kesebelasan. Di peringkat berapapun kesebelasannya berada, mereka akan terus mendukungnya.

Benedict Anderson dalam bukunya “Imagined Community” (1982) menjelaskan bahwa ketika komunitas mampu memobilisasi orang untuk “cinta”, maka segala pengorbanan hingga mati pun akan siap dilakukan, walaupun cinta di benaknya tidak selalu menyiratkan kebencian terhadap yang lain.

Ganja dan sepak bola, ikatan keduanya begitu mesra. Namun, ganja distigma karena berada satu golongan dengan candu, narkotika yang konsumennya dianggap pelaku kejahatan. Sedangkan sepak bola dianggap candu yang menyatukan bangsa. Ganja merilekskan otot-otot dengan slogan, “One Love and Peace”, sedangkan fanatisme sepak bola terkadang lebih agresif dengan fisik, slogan maupun yel-yel yang kerap mengejek kesebelasan lawan.

Adalah Jules Rimet, Presiden FIFA pertama yang percaya olahraga bisa menyatukan dunia. Ia menyadari, untuk benar-benar demokratis dan terlibat massa, olahraga internasional harus profesional. Rimet memutuskan untuk menggelar turnamen sepak bola internasional. Piala Dunia pertama di Uruguay pada 1930 digelar untuk mempersatukan seluruh negara dengan misi perdamaian dunia.

Bob Marley berucap, “I don’t really have no ambition you know, I only have one thing I’d really like to see happen. I’d like to see mankind live together, black, white, chinese, everyone. That’s all.

Saya percaya, ganja dan sepak bola adalah formula perdamaian seluruh dunia, baik dengan segala cap negatif yang didramatisir maupun dengan nilai positifnya; sepak bola dengan Piala Dunia dan ganja dengan Legalisasi Ganja Internasional.

Rizky RDP

The author Rizky RDP

Sering menulis dengan tangan kiri, tim rusuh di Rumah Cemara, Tramp Backpacker, passion pada sepak bola dan sejarah. sering berkicau di @Rizky91__

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.