close
Layanan

Hunian yang Melebihi Kapasitas dan Kondisi Kesehatan di Lapas dan Rutan Kita

SIDAK-WBP-2

“They tell us that the prisons are over‐populated. But what if it were the population that were being overprisoned?” – Michel Foucault

Peningkatan jumlah tahanan dan narapidana kasus narkoba dalam lima tahun belakangan, khususnya yang digunakan dengan cara suntik, turut menyumbang tingginya kasus HIV di kalangan penghuni rumah tahanan negara (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia. 813 kematian napi dan tahanan dimana 70-75 persennya merupakan napi atau tahanan kasus narkotika tercatat pada 2006.

Dilaporkan, kematian napi dan tahanan sepanjang 2004-2006 di wilayah DKI Jakarta banyak disebabkan oleh TBC, radang paru-paru, hepatitis, diare kronik, dan radang otak karena toksoplasma, yang umum menyertai infeksi HIV (Ditjen Pemasyarakatan Depkum & HAM, 2007).

Angka kematian tersebut berkaitan erat dengan berbagai permasalahan kesehatan di dalam institusi pemasyarakatan dan tahanan itu sendiri. Penurunan sistem kekebalan tubuh makin memudahkan napi dan tahanan untuk terjangkit penyakit-penyakit penyerta HIV (opportunistic infections) yang membutuhkan perawatan serius untuk penyembuhannya.

Umumnya, deteksi dini terhadap HIV yang diidap napi dan tahanan tidak terjadi, sehingga banyak dari mereka yang sudah berada pada stadium HIV akhir (AIDS) ketika datang ke klinik lapas atau rutan.

Di lain pihak, klinik lapas atau rutan terbatas dalam hal fasilitas, obat-obatan, maupun SDM-nya. Sehingga pasien-pasien yang membutuhkan perawatan tingkat lanjut membutuhkan rujukan ke rumah sakit di luar lapas dan rutan. Rujukan ini juga tidak selalu dapat dilakukan karena biaya yang dibebankan rumah sakit harus ditanggung oleh napi atau tahanan dan kadang harus ditalangi dulu oleh pengelola lapas atau rutan. Belum lagi urusan pengawalan pasien penghuni lapas dan rutan yang anggarannya sangat terbatas.

Tulisan ini berisi tentang permasalahan kesehatan di dalam lapas dan rutan berikut kebijakan dan sistem yang menggelayuti permasalahan tersebut. Kebijakan tertentu harus diambil oleh sektor-sektor terkait agar permasalahan ini dapat diselesaikan dari hulu ke hilir.

Layanan dan Sumber Daya Kesehatan di Lapas/Rutan

Ketiadaan layanan dan sumber daya di klinik lapas atau rutan berimplikasi pada tidak tertanganinya sebuah penyakit mulai dari pencegahan hingga pengobatannya. Ketiadaan peralatan laboratorium yang dibutuhkan akan menyulitkan upaya deteksi dini terhadap TBC atau HIV misalnya. Sehingga kasus-kasus yang ditemukan kebanyakan sudah berada pada stadium lanjut dan perlu mendapatkan perawatan yang tidak dapat dilakukan di dalam lapas atau rutan.

Fasilitas yang tidak tersedia seperti obat-obatan juga turut memperburuk situasi kesehatan di lapas dan rutan. Sulitnya merencanakan pembelian obat sehingga diserap sebelum masa kedaluwarsanya, menjadi pertimbangan tersendiri bagi pengelola lapas dan rutan untuk tidak melengkapi persediaan obat sehingga tidak perlu lagi membeli obat di luar ketika penghuni membutuhkannya.

Baca juga:  Bongkar Kasus Penyiksaan Hendri Alfred Bakari di Batam!

Jika anggaran kesehatan lapas dan rutan ditujukan untuk dapat menanggulangi seluruh masalah kesehatan penghuni, jumlahnya akan sangat besar. Karena itu berarti harus melengkapi seluruh klinik penjara dengan sediaan obat yang lengkap, laboratorium dan perlengkapannya, tenaga kesehatan, serta peralatan medis yang menunjang seperti layaknya rumah sakit.

Terdapat tiga skema kelengkapan layanan kesehatan untuk lapas dan rutan, yaitu: tidak ada layanan; layanan proporsional; dan layanan lengkap. Tidak ada layanan adalah sebuah skema yang tidak diinginkan siapapun, karena segala bentuk layanan kesehatan harus dirujuk ke luar lapas atau rutan. Dan ini juga berarti tidak ada pengawasan dan/ atau pemeliharaan kondisi kesehatan di dalam lapas dan rutan yang melekat pada sebuah populasi.

Skema kedua adalah layanan proporsional.

Skema ketiga, layanan lengkap, berarti bahwa klinik di lapas dan rutan memiliki fasilitas dan SDM yang setara dengan rumah sakit sehingga mampu mengatasi berbagai penyakit. Namun mengingat besarnya biaya yang harus dihabiskan untuk melengkapi seluruh lapas dan rutan, skema ketiga ini sulit untuk diakomodasi dan akan membutuhkan waktu yang sangat panjang.

Dalam upaya-upaya penanggulangan masalah kesehatan di lapas dan rutan saat ini, berangkat dari tingginya angka kematian dan kesakitan, sejumlah pihak mengimplementasikan dukungannya dengan mengisi kekosongan di skema pertama (tidak ada layanan). Dukungan tersebut, biasanya dalam bentuk bantuan dana dari organisasi internasional, berupa SDM dan fasilitas yang tidak berkesinambungan, sehingga ketika proyek bantuan tersebut selesai maka selesai pula layanan kesehatan di lapas dan rutan.

Ketidaksinambungan ini diakibatkan karena dukungan yang diberikan tidak menyentuh sistem kesehatan baik secara vertikal (internal Departemen Hukum dan HAM) maupun horizontal (dengan sistem kesehatan di wilayah kerja – pemerintah lokal, dinkes, dan rumah sakit).

Untuk mengatasi masalah ketersediaan layanan dan sumber daya kesehatan di lapas dan rutan dengan kondisi saat ini, maka diperlukan upaya-upaya untuk mendorong pemerintah pusat (dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM RI) agar meningkatkan kapasitas petugas kesehatan dan melengkapi sumber daya di lapas dan rutan sesuai dengan kebijakan nasional yang telah ditetapkan, sehingga layanan kesehatan di sana menjadi proporsional.

Selain itu, diperlukan pula penguatan jaringan, khususnya rujukan kesehatan, di wilayah sehingga upaya-upaya kesehatan yang dilakukan di sebuah penjara terintegrasi dengan sistem kesehatan masyarakat setempat. Skema kelengkapan layanan kesehatan untuk lapas dan rutan yang kedua (layanan proporsional) adalah yang harus didorong dan paling realistis dilakukan untuk saat ini dengan pula membangun jejaring layanan sehingga terintegrasi dengan sistem kesehatan masyarakat.

Baca juga:  Anugerah Indonesia Tanpa Stigma 2018

Batasan yang tegas tentang kondisi apa saja yang perawatannya bisa dilakukan di klinik lapas atau rutan dengan kondisi seperti apa yang harus dirujuk ke sistem kesehatan yang ada di luar lapas dan rutan harus dibangun. Hal ini dilakukan agar urusan-urusan kesehatan tetap menjadi tanggung jawab Departemen Kesehatan dan otoritas kesehatan di daerah, sementara jajaran Departemen Hukum dan HAM dalam urusan kesehatan melaksanakan pelayanan sesuai batasan tersebut, tidak mengambil alih tanggung jawab sektor.  

Kebijakan-kebijakan untuk Kesehatan

Sejumlah penyakit memiliki “sakralisasi” penanggulangan yang menghambat upaya deteksi dini dan pengobatannya. Intervensi sebenaranya dapat dilakukan dengan peralatan dan tenaga yang telah tersedia di setiap lapas dan rutan, atau dengan dukungan sederhana dari otoritas kesehatan wilayah dimana lapas atau rutan berlokasi.

Namun, karena sejumlah penyakit dianggap sakral dan memerlukan prosedur yang berliku dan canggih dalam pemeriksaan maupun pengobatannya, pada akhirnya ketiadaan tenaga dan mahalnya biaya perawatan beserta sarana penunjangnyalah yang menjadi alasan untuk setiap kematian yang terjadi di lapas dan rutan.

Rujukan pemeriksaan dan pengobatan yang biayanya harus ditanggung oleh penghuni akibat ketiadaan asuransi kesehatan adalah masalah tersendiri dalam kebijakan kesehatan baik di daerah maupun pusat. Permasalahan di dalam lapas/rutan merupakan refleksi atas keadaan yang sesungguhnya terjadi di masyarakat mengenai mahalnya biaya perawatan vis a vis jaminan kesehatan yang tidak dimiliki sebagian besar warga negara Indonesia.

dengan berlakunya UU Desentralisasi, tidak ada peraturan atau kesepakatan antara otoritas kesehatan dan pemasyarakatan di tingkat pusat untuk layanan kesehatan di lapas atau rutan. Walaupun tumpang tindih anggaran tidak lagi terjadi di tingkat daerah, namun di tingkat pusat tidak pernah dibuat mekanisme penanggulangan masalah kesehatan di lapas dan rutan antara sektor-sektor terkait. Keadaan-keadaan di atas dapat terjadi dikarenakan paling tidak oleh dua hal:

Pertama, komersialisasi kesehatan yang selalu tertuju pada upaya-upaya kesehatan perorangan, tata laksana penanganan kesehatan dibuat serumit dan seberbelit-belit mungkin sehingga berbiaya tinggi;

Kedua, lemahnya perlindungan negara terhadap hak-hak yang dimiliki warganya ditandai dengan tidak adanya tata kebijakan (kalaupun ada, tidak tegas penerapannya) yang mengatur tentang jaminan kesehatan.   

Kebijakan pemerintah ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh warga negara termasuk penghuni penjara. Ini berkaitan dengan penerapan kebijakan desentralisasi yang menyebabkan terbatasnya warga yang tidak terdaftar sebagai warga di mana lapas atau rutan berlokasi untuk dapat mengakses asuransi maupun jaminan atas layanan kesehatan sebagai rujukan di luar lapas dan rutan.

Baca juga:  Takut Ketularan Gegara Pemberitaan tentang HIV

Kebijakan pemerintah juga ditujukan untuk memfungsikan secara efektif seluruh unit kerja pemerintah yang berkaitan dengan kebijakan tersebut dalam rangka menunaikan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah.

Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, maka dibutuhkan sebuah tata kebijakan penanganan kesehatan yang bertumpu pada upaya kesehatan masyarakat, bukan upaya kesehatan perorangan. Komersialisasi sektor kesehatan harus pula diimbangi dengan perlindungan atau jaminan kepada masyarakat sehingga kesehatan yang merupakan hak warga negara secara umum tidak terabaikan.

Tanggung jawab sosial industri kesehatan mutlak dituntut agar tidak semata-mata mengeruk keuntungan baik dari masyarakat langsung maupun dari pembayaran jaminan kesehatan oleh negara.

Kasus Narkoba dan Hunian yang Melebihi Kapasitas

Tingginya tingkat hunian lapas dan rutan hingga melebihi kapasitas mau tidak mau turut berpengaruh pada kondisi kesehatan penghuni. Hingga Februari 2007 terdapat 118.443 penghuni seluruh lapas dan rutan di Indonesia yang berkapasitas 76.550 orang, padahal sejak 2002 hingga 2006 pemerintah telah membangun 13 lapas khusus narkotika baru (Data Kasus Tindak Pidana Narkoba di Indonesia tahun 2001-2006 – Badan Narkotika Nasional, 2007).

Kematian-kematian di dalam lapas dan rutan banyak disumbangkan oleh pelanggar kasus narkoba pengidap HIV. Masih menurut BNN, pada tahun 2006, 28,4 persen dari seluruh jumlah penghuni lapas dan rutan di Indonesia adalah pelanggar kasus narkoba. Walaupun demikian, tidak ada upaya inovatif yang lebih efektif dalam menanggulangi masalah narkoba kecuali gencarnya penangkapan yang kemudian berakhir di lapas dan rutan.

Kematian, penularan HIV, dan masalah kesehatan lain di lapas dan rutan merupakan ekses dari sebuah penerapan kebijakan yang mengedepankan kriminalisasi terhadap siapapun yang terlibat narkoba. Kebijakan yang ditujukan untuk melindungi masyarakat dari peredaran dan produksi narkoba ilegal ternyata malah memenjarakan orang-orang yang seharusnya mendapat perlindungan.

Dari seluruh kasus narkoba di lapas dan rutan, pemakai merupakan populasi terbanyak yang ada di penjara saat ini dengan perincian sebagai berikut: Pemakai 25.283 (74%); Pengedar 8.200 (24%); dan Produsen 683 (2%) sebagaimana dilaporkan Data Kasus Tindak Pidana Narkoba di Indonesia tahun 2001-2006 – Badan Narkotika Nasional, 2007.

Jika tujuan kriminalisasi atau pemidanaan tersebut adalah untuk melindungi masyarakat dari konsumsi narkoba ilegal, maka seharusnya yang banyak berada di penjara adalah produsennya, bukan?

Maka sudah saatnya bagi Indonesia untuk mengkaji ulang kebijakan narkotikanya yang selama ini justru menyebabkan penjara-penjara kelebihan hunian, penurunan kondisi kesehatan di dalamnya hingga pada kematian, dan pada akhirnya terus meningkatkan beban biaya negara untuk upaya-upaya pemberantasan narkoba, pemenjaraan, dan penanganan kesehatan.   

Naskah ditulis bersama Amala Rahmah, 2008 

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

1 Comment

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.